Sabtu, November 22, 2025

Personal Branding: Menutupi Ketidakmampuan dengan Pencitraan?

Muhammad Dzikriyyan
Muhammad Dzikriyyan
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Setiap orang berlomba-lomba membentuk citra yang tampak ideal, mulai dari media sosial, forum profesional, hingga ruang lingkup pekerjaan. Namun, kita tak bisa menutup mata dari satu kenyataan. Tidak sedikit dari mereka yang menciptakan personal branding bukan untuk mencerminkan jati diri, tapi untuk mengelabui orang-orang.

Di balik pencitraan, mereka menyembunyikan kapabilitas kosong yang belum pernah benar-benar mereka isi. Tidak salah kalau tujuannya baik. Memotivasi orang lain atau setidaknya mencoba meyakinkan kepada diri sendiri bahwa diri kita mampu mewujudkan visi besar itu. Namun, kerap kali segelintir orang terjebak untuk kepentingan tertentu, membuatnya menjadi palsu.

Beberapa orang sibuk mencari validasi, mengorbankan kejujuran, diciptakan melalui rangkaian kebohongan. Berharap bahwa orang lain akan menilainya baik, berharap tujuannya akan tercapai, namun sebenarnya ia sedang berputar pada siklus kebodohan.  Membuatnya terjebak di dalam ekspektasi, terlena dengan realitas yang sebenarnya, dan ia hanya akan terlihat seperti orang tanpa identitas. Sebab ia terlalu sibuk membuat dirinya terlihat seperti ini, bukan menjadi seperti ini.

Ketika seseorang membangun personal branding dari kepalsuan, maka energi yang terpancar pun akan terasa kosong. Sebaliknya, saat seseorang selaras antara pikiran, hati, dan tindakannya, maka tanpa harus bersuara banyak, orang-orang akan merasa terinspirasi dan terkoneksi dengannya. Inilah mengapa ada orang yang tidak sibuk memanipulasi citra, tidak memakai topeng, bahkan tidak berusaha mengesankan siapa pun namun tetap diakui. Karena yang berbicara bukan citranya, melainkan energinya.

Sesuatu yang tidak bisa berbohong yaitu energi. Terkesan subjektif namun benar adanya, tidak bisa diuji secara ilmiah namun terlihat secara empiris. Kita merasakannya, namun tidak bisa dilihat oleh mata.

Apakah kepalsuan mampu mewujudkan validasi disaat diri sendiri belum memiliki kapabilitas untuk dipuji? Sangat ironi tapi sering kali dilakukan oleh orang-orang yang berpikir bahwa semua hal bisa didapatkan dengan cara manipulatif, sampai ia lupa bahwa tindakan manipulatif berbanding lurus dengan ketidakmampuan.

Semakin seseorang merasa tidak mampu, semakin besar keinginan untuk terlihat mampu. Jalan pintas untuk menutupi ketidakmampuan adalah dengan menunjukkan kemampuan palsu. Maka lahirlah upaya pencitraan yang membesarkan hal yang kecil, pencapaian yang direkayasa, narasi yang tidak sesuai dengan realita.

Fenomena pencitraan palsu juga merambah ke kalangan pejabat publik atau orang yang ingin menjadi tokoh publik. Banyak dari mereka yang seolah hadir sebagai sosok visioner dan penuh integritas di depan kamera, namun di balik layar justru abai terhadap tanggung jawabnya atau bahkan tidak paham tugas pokok dan fungsi dari jabatan tersebut. Sangat merusak, tapi demikianlah faktanya.

Sedangkan pada dimensi lain, ada orang-orang yang tampaknya hidup sebebas-bebasnya. Ia tidak repot membentuk citra, tidak sibuk memakai topeng, apalagi mencoba mengesankan semua orang. Tapi anehnya, orang-orang tetap mengakuinya.

Bahkan, tanpa usaha manipulatif, ia justru diterima banyak kalangan, mampu mewujudkan ekspektasi banyak orang bukan karena pencitraan palsu, tapi karena ia otentik. Di situlah letak rahasianya yaitu energi. Energi yang lahir dari pikiran positif, kapabilitas yang kompeten dan kepribadian yang baik.

- Advertisement -

Energi adalah cerminan dari struktur pola pikir, kemampuan dan kepribadian dalam diri seseorang. Jika yang disusun di dalam penuh kepalsuan, maka energi yang terpancarpun terasa hampa. Tapi ketika di dalamnya positif dan tulus maka tanpa perlu banyak bicara, orang akan merasakannya.

Maka, sebelum sibuk bersentuhan dengan banyak orang, mungkin kita perlu duduk sejenak dan bertanya, “Energi apa yang sedang saya pancarkan hari ini?”.

Seperti siklus, energi adalah hasil dari kristalisasi pola pikir, kemampuan dan kepribadian. Apabila tiga hal tersebut baik maka dengan sendirinya diri kita akan memancarkan energi yang positif. Energi semacam ini yang akan menghadirkan identitas diri tanpa perlu manipulasi. Baik atau buruk. Terlihat baik belum tentu baik. Terlihat buruk belum tentu buruk.

Jadi jangan sampai ingin terlihat baik tapi dibangun dengan cara manipulatif, lebih-lebih dengan rangkaian kebohongan yang meyakinkan. Terlihat buruk tidak selalu buruk, bisa jadi itu hanya fatamorgana pikiran. Sebab kepribadian tidak pernah salah memancarkan kebaikannya.

Maka, personal branding terbaik bukanlah tentang seberapa kamu terlihat hebat, tapi seberapa jauh kamu mampu membentuk value diri dan mencerminkannya pada dunia nyata.

Personal branding bukan seni menciptakan topeng, melainkan seni memperlihatkan siapa dirimu yang sebenarnya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Jika terasa masih kurang, maka solusinya adalah tingkatkan value diri, bukan mencari jalan pintas untuk terlihat keren. Tak perlu palsu untuk terlihat luar biasa. Jadilah otentik, maka dunia akan melihatmu dengan cara yang tak perlu dipaksakan

Muhammad Dzikriyyan
Muhammad Dzikriyyan
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.