Selasa, Maret 19, 2024

Persona, Shadow dan Kita

Sebastian Mehitabel
Sebastian Mehitabel
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Kita hidup dalam realitas, entah itu menyakitkan atau pun menyenangkan. Di antara itu kita harus memilih sebuah topeng yang tepat untuk bisa bertahan.” 

Pernahkah Anda menyadari sebuah perbedaan perilaku saat melihat teman Anda di tongkrongan dan saat Anda berdua dengannya? Mungkin Anda pernah merasakannya dan bertanya-tanya, apa sebenarnya itu? Itulah yang disebut sebagai sebuah topeng, bukan topeng secara harfiah melainkan sebuah sisi dari kepribadian kita yang kita tunjukkan dalam bersosialisasi. Topeng ini ada di setiap manusia dan akan selalu berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Inilah yang dinamakan sebagai Persona.

Persona, kata keren dari topeng

Menurut teori yang dicetuskan oleh Carl Gustav Jung, persona adalah sebuah topeng atau wajah yang “dipakai” ketika menghadapi publik. Lebih jelasnya, persona merupakan sisi kepribadian seseorang dan aspek-aspek pribadi yang ditunjukkan pada dunia. Jung percaya bahwa setiap manusia pasti terlibat dalam sebuah peranan tertentu yang dituntut oleh realitas (Feist, 2009).

Sadar atau tidak, kita semua mengaplikasikan persona dalam kehidupan sehari-hari. Iya, kita semua menggunakan topeng sesuai dengan karakter yang sedang kita perankan. Melalui topeng tersebut, kita bisa menutup diri kita yang asli agar tidak terlihat dalam kehidupan bermasyarakat.

Contoh yang paling sederhana adalah cara kita berbicara kepada orang yang kita suka tentu akan berbeda dengan cara kita berbicara pada teman kita, atau cara kita berpakaian untuk pacaran akan berbeda dengan saat kita berkuliah. Persona mulai ada sejak kita masih anak kecil, karena adanya kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan keinginan serta harapan orang tua, teman, guru, dan masyarakat.

Dari kecil kita belajar bahwa jika sikap kita diterima maka akan menghasilkan persetujuan, sementara jika sikap kita tidak diterima maka akan menghasilkan cemooh atau hukuman. Sehingga kita belajar untuk cenderung membangun sifat yang bisa diterima oleh masyarakat ke dalam sebuah topeng dan menyembunyikan sifat yang tidak bisa diterima.

Satu koin memiliki dua sisi yang berbeda

Jika sebuah koin dilempar hanya akan ada satu sisi yang terlihat, sisi yang lain akan tertutup. Seperti itulah gambaran dari persona, sebuah sisi yang akan terlihat saat kita “melempar” dalam kehidupan realitas ini. Sisi yang kita perlihatkan akan berusaha untuk selalu mewujudkan hal positif yang ada dalam diri.

Kita semua takut untuk menunjukkan sisi yang tertutup itu karena kita tidak mau orang lain mengetahui hal tergelap dari diri kita. Sisi yang tertutup itu disebut juga sebagai shadow. Baik persona maupun shadow, keduanya sangat berhubungan erat. Shadow merupakan sebuah counter-persona. Dalam hal ini, shadow dapat dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini dapat berupa kelemahan kita, trauma masa lalu, emosi negatif dan berbagai hal negatif lainnya.

Sebuah kelainan atau memang kepribadian?

Persona itu bukan merupakan hal yang buruk atau sebuah kelainan, kita boleh saja kok mempunyai ideal self kita sendiri dan sangat wajar apabila kita ingin terlihat “sempurna” di mata orang lain. Persona berbeda dengan fake people. Fake people biasanya akan melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan satu hal dengan tujuan untuk mendapat pengakuan.

Dalam persona kita tetap menjadi diri sendiri, meskipun peran yang kita mainkan berbeda-beda. Namun apa yang ditampilkan tetap dari dalam diri kita sendiri hanya saja disesuaikan dengan keadaan saat itu. ketika kita memainkan peran, kita bebas memilih untuk menjadi orang yang seperti apa. Apakah kita ingin menjadi orang yang kalem, cerdas, ceria, dan masih banyak lagi. Peran yang kita mainkan ini berfungsi sebagai “pelindung” bagi ego kita dan “pembebas” bagi diri kita.

Jadi, sebagai seorang manusia kita sangat membutuhkan persona agar kita dapat bertahan dalam segala kesempatan. Bukan hanya untuk memberi sebuah kesan pertama yang baik, tetapi juga untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan. Jangan hanya terjebak atau merasa nyaman dengan satu persona saja, karena hal ini akan menyulitkan kita untuk bisa bertahan di antara dua realitas.

Sebastian Mehitabel
Sebastian Mehitabel
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.