Jumat, April 26, 2024

Persoalan Masa Depan, Lulusan SMA/K, dan Upaya-Upaya Solutif

MohAlfarizqy
MohAlfarizqy
Political sociology student who interested in the nexus of social movements, democracy and education | IG @moh.alfarizqy

 

Setelah anak-anak mampu dalam membaca, menulis, dan menghitung, maka jenjang pendidikan yang ditempuh berikutnya akan memiliki standar kompetensi yang lebih tinggi; mereka meneruskan ke Sekolah Dasar (SD), diteruskan lagi ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan diteruskan lagi ke Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/K). Pada akhirnya, ujung dari petualangan pembelajaran itu adalah lulus dari SMA/K.

Berdasarkan kepada itulah, kelulusan didefinisikan sebagai status di mana setiap siswa harus memiliki gambaran akan karirnya; mereka, mau tidak mau, harus mempertimbangkan keterampilan/ilmu yang dibutuhkannya, perguruan tinggi/perusahaan yang akan dipilihnya setelah lulus, dan semacamnya. Sebab, secara desain alur persekolahan, setiap lulusan akan dihadapi dengan dua pilihan: (1) bekerja, dan/atau (2) melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Maka, mau tidak mau, kelulusan harus memiliki gambaran langkah berikutnya.

Sayangnya, lulusan yang masa depannya sejelas itu tidak banyak ditemukan. Sebaliknya, tidak sedikit ditemukan bahwa siswa SMA/K membingungakan masa depannya. Mereka bingung akan karirnya. Jangankan karir, mereka saja bingung dengan apa-apa yang hendak dilakukannya tepat setelah lulus. 

Tidak sedikit dari pelajar SMA yang bingung akan jurusan apa yang akan ditempuhnya nanti di Perguruan Tinggi. Mereka bingung akan hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan ketika hendak memilih jurusan. Mereka bahkan bingung bidang apa yang akan digelutinya. Lantas, bagaimana dengan sekolah? Bukankah ia memperjelas gambaran masa depan itu?

Segelintir siswa, yang beberapa langkah lebih jelas karirnya daripada mereka tadi, justru cenderung tidak “berterimakasih” kepada sekolah. Mereka justru menganggap peranan sekolah dalam proses mendesain masa depan sangatlah minim. Sekolah justru dianggap sebagai sesuatu yang cenderung berisi hal-hal idealistik dan nonpraktek; sekolah hanya sekedar “berteori” dan tidak sesuai dengan apa yang ada secara aktual. Kemudian, mereka “menampar keras” posisi sekolah dengan menganggap bahwa pihak luar sekolah jauh lebih berperan dalam memperjelas masa depan.

Keluarga dianggap lebih berperan dalam mendorong, menginspirasi, dan membatasi pilihan masa depan mereka. Teman-teman bermain mereka dianggap lebih mampu menjelaskan kenapa suatu jurusan lebih baik tidak diambil, dan sebaliknya. Bahkan, ironisnya, lembaga bimbingan belajar, yang biasanya difungsikan untuk membantu siswa dalam bersekolah, kini justru menggantikan peranan sekolah. Lembaga itu dianggap jauh lebih baik dalam menemukan potensi diri, informasi mengenai perguruan tinggi, serta perencanaan masa depan daripada sekolah.

Keberlangsungan sistem persekolahan yang demikian ini, apabila dibiarkan tanpa penyikapan yang tepat, akan semakin mengancam masa depan nasional. Bukan hanya orang tua yang gelisah karena menemukan anaknya masih bingung dengan karirnya. Bukan pula sekedar habisnya tabungan orang tua dalam membiayai anaknya untuk lebih giat belajar di les-lesan. Melainkan, ini tentang banyaknya sumber daya manusia yang akan tidak berdaya atas dirinya sendiri dan tidak diberdayakan dengan optimal. Ini tentang kayanya potensi alam yang sekedar dibangga-banggakan, namun cenderung dieksploitasi oleh pihak asing, dan hanya menguntungkan negara sebesar beberapa butir pasir. Ini tentang munculnya disfungsionalitas suatu lembaga masyarakat, dan semacamnya.

Fenomena perusakan alam, alienasi, ketidakjelasan karir, atau bahkan munculnya pejabat-pejabat tidak berkualitas sehingga merusak tatanan sosial-politik akan menjadi hal yang “lumrah”. Pada akhirnya, bukan tatanan kehidupan yang sejahtera dan adil yang muncul. Justru, yang muncul adalah orang-orang yang bangga yang telah merusak tatanan kehidupan seraya menyambut hangat kamera-kamera yang meliputnya, serta orang-orang malang yang tidak dapat berdaya atas dirinya dengan optimal maupun tidak memahami permainan sosial-politik apa yang sedang dilakukan oleh sekelompok serigala berbulu domba.

Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu tindakan yang tepat atas hal ini. Dibutuhkan suatu tindakan yang tidak sekedar mengulang pembelajaran di kelas serta membantu para siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya. Kita, sebagai warga negara yang memahami dampak negatif yang muncul dari minimnya peranan sekolah bagi masa depan siswa, harus segera mengambil tindakan yang dapat menyelesaikan permasalahannya. Baik itu jangka pendek, menengah, ataupun panjang.

Sebagai solusi jangka pendek, kita bisa melakukan gerakan sosial terkait pembinaan karir. Kita perlu membentuk kelompok yang memiliki visi yang sama, yaitu membantu para siswa menemukan gambaran karirnya. Kalau perlu, bantulah mereka menemukan bentuk konkrit dari karir yang akan digelutinya. Lengkap bersama perencanaan pembelajaran dan/atau pekerjaan setelah lulus dari persekolahan. 

Kelompok yang demikian ini saya nilai sebagai jangka pendek, sebab mereka tidak menyelesaikan masalah intinya. Mereka hanya berupaya menyelesaikan permasalahan yang muncul dari sistem persekolahan yang ada.

Sebagai solusi jangka menengah, kita bisa membentuk organisasi pendidikan ataupun persekolahan sendiri yang mana berusaha menutupi lubang-lubang yang ada pada perskeolahan kita. Persekolahan ini harus benar-benar dirancang untuk mengantarkan siswa kepada kejelasan masa depan. Kejelasan gambaran, dan bahkan, perencanaan karir. Sehingga, tercetaklah pemuda yang siap menghadapi kehidupan sebagai mana aktualnya.

Organisasi pendidikan atau pun persekolahan swasta ini saya nilai jangka menengah karena meski tidak menyelesaikan masalah intinya, namun pengaruhnya hampir serupa. Melalui solusi ini, kuantitas pemuda yang jelas akan masa depannya akan jauh lebih besar, tertata rapi, serta dapat lebih diperdalam daripada solusi jangka pendek. Apalagi jika ia memiliki cabang-cabang di berbagai daerah.

Sebagai solusi jangka panjang, kita perlu masuk dan mengubah sistem pendidikan kita melalui jalur politik. Artinya, akan ada waktu di mana kita bersinggungan dengan politik. Akan ada waktu di mana kita akan berhadapan dengan orang-orang yang menukarkan kesejahteraan ratusan ribu orang dengan sekontainer lembaran merah. Akan ada waktu di mana kita akan berhadapan dengan orang-orang yang peduli dengan tatanan kehidupan, namun berada dalam tekanan rekan-rekan, serta petinggi-petinggi yang korup. 

Inilah waktu di mana revolusi terjadi. Tidak lagi dengan cara keras. Inilah waktu di mana suatu sistem berubah secara mendasar. Kita perlu bersama-sama untuk menduduki jabatan politik yang berkenaan dengan pendidikan nasional, dan merumuskan apa-apa yang sekiranya perlu di rumuskan ulang. Kita dapat menitikberatkan kegiatan-kegiatan sekolah kepada kegiatan yang mengantarkan siswanya menuju kejelasan masa depan. Dengan ini, kita telah memecahkan inti permasalahan persekolahan nasional tadi.

Sangat disayangkan apabila sekolah, satu-satunya wadah yang terbaik untuk mendidik anak-anak dalam skala nasional, justru kurang mampu menghasilkan penerus yang jelas masa depannya. Kepada siapa lagi nasib kita diserahkan, jika bukan kepada penerus? Saatnya bertindak!

MohAlfarizqy
MohAlfarizqy
Political sociology student who interested in the nexus of social movements, democracy and education | IG @moh.alfarizqy
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.