Jumat, April 19, 2024

Pers Masa Pergerakan: Sinar Djawa dan Sinar Hindia

Irvan Hidayat
Irvan Hidayat
Lulusan Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta, dan Penulis Lepas

Surat kabar Bumiputera pertama adalah Soenda Berita yang didirikan oleh R.M Tirtoadisuryo tahun 1903. Namun, surat kabar ini tak bertahan lama. Pada 1905-1906, Soenda Berita mengalami krisis finansial yang kemudian harus berhenti cetak.

Tapi langkah Tirtoadisuryo tidak berhenti di situ, ia kemudian mendirikan Medan Prijai tahun 1907, di kemudian hari surat kabar ini lebih dikenal, karena dianggap lebih radikal dalam mengkritik pemerintah.

Dengan terbitnya surat kabar yang diasuh sendiri oleh Bumiputera, terlebih dengan semangat kesadaran akan kesetaraan, mampu membentuk kesadaran nasional dengan jalan menjadikan orang sadar akan nasib orang lain. Surat kabar juga membentuk ruang publik (public sphere) yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah dan priyayi saja.

Keterbukaan ruang publik ini memberikan dampak positif terhadap posisi Bumiputera sebagai kaum terjajah saat itu. Informasi tentang kebijakan pemerintah bisa diakses oleh masyarakat luas yang bisa membaca, kendati pemerintah memberlakukan aturan ketat terhadap semua pers yang terbit di Hindia-Belanda.

Medan Prijai menandai langkah awal Bumiputera dalam pers perjuangan. Dari sinilah bermunculan surat kabar yang dimotori oleh rakyat Bumiputera sendiri. Dari sekian banyak surat kabar, dalam tulisan ini hanya akan dibahas dua surat kabar yaitu, Sinar Djawa dan Sinar Hindia, namun sebelum lebih jauh, harus dipahami sebenarnya surat kabar tersebut adalah sama hanya kemudian mengalami pergantian nama.

Sinar Djawa dan Sinar Hindia di Tangan Sarekat Islam Semarang

Perlu dipahami sebelumnya, penerbitan surat kabar Bumiputera saat itu lekat dengan organisasi kemasyarakatan, seperti yang terjadi dengan Sinar Djawa dan Sinar Hindia. Secara resmi, akhir tahun 1913, Sarekat Islam (SI) Semarang membeli perusahaan percetakan milik orang Tionghoa, yaitu Hoang Thai and Co. Perusahaan inilah yang menerbitkan Sinar Djawa sejak 1899 di bawah pimpinan Sie Hien Liang.

Nama Sinar Djawa tetap digunakan sampai 1 Mei 1918 saat berganti nama menjadi Sinar Hindia. Di tangan SI Semarang, Sinar Djawa pertama kali terbit 4 Januari 1914. Sinar Djawa terbit setiap hari, kecuali Minggu dan hari raya.

Di tangan SI Semarang, tepatnya saat Muhammad Joesoef menjadi redaktur, Sinar Djawa memilih untuk bersikap kooperatif dengan pemerintah. Dampak dari Hal tersebut, Sinar Djawa tidak diakui sebagai surat kabar yang kritis dan radikal. Hal tersebut disampaikan oleh penasihat urusan Bumiputera, D.A Ringkes.

Hal lain terjadi setelah Semaoen diangkat menjadi Presiden SI Semarang pada 8 Mei 1917. Enam bulan kemudian, 19 November 1917, dia masuk jajaran redaksi Sinar Djawa sebagai redaktur politik. Sejak masuknya Semaoen, penulisan dalam Sinar Djawa berubah menjadi lebih radikal atau nonkooperatif dengan pemerintah. Hal ini terjadi karena kondisi sosial makin merugikan Bumiputera, ditambah ideologi Marxisme-komunisme yang dianut oleh Semaoen.

Semaoen meneguhkan sikapnya dengan menjadikan Sinar Djawa bersuara lebih lantang dan berani menyuarakan derita rakyat Bumiputera, sehingga pada 1 Mei 1918 berganti nama menjadi Sinar Hindia. Inilah kutipan keputusan Semaoen:

“Telah dipoetoeskan di Aandeelhouder vergadering Sinar Djawa kemarin, boelan jaitoe atas permintaan saudara Semaoen, maka nama soerat kabar kita Sinar Djawa diganti Sinar Hindia.” (Sinar Djawa, 30 April 1918)

Selain lekat dengan organisasi kemasyarakatan, surat kabar juga tidak bisa lepas dari konteks sosial masyarakat di mana Surat kabar itu terbit. Hal itu juga terjadi pada Sinar Djawa dan Sinar Hindia yang terbit di Semarang.

Semarang, di awal abad ke-20, dikenal sebagai salah satu kota terpadat di Jawa. Hal itu lumrah terjadi karena Semarang juga menjadi pusat industri, salah satunya industri gula. Aktivitas industri dan kepadatan penduduk membuat permasalahan sosial terjadi di mana-mana, seperti kelaparan dan wabah penyakit pes.

Kelaparan dan wabah penyakit disebabkan oleh perbudakan yang dilakukan oleh setan uang (meminjam kata dari Sinar Hindia untuk menyebut kapitalis). Kala itu, rakyat Bumiputera diberi upah kecil yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Awal abad ke-20 juga menjadi awal perjuangan politik Bumiputera. Takashi Shiraishi menyebutnya zaman bergerak di Semarang.

Wacana Politik dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia

Wacana politik dimulai dari diskriminasi atau disebut juga politik apertheid oleh Ong Hok Ham. Surat kabar tersebut pernah mewartakan tindakan diskriminasi oleh pemerintah Belanda. Misalnya, setiap pegawai rendahan Bumiputera dilarang menggunakan bahasa Melayu saat berkomunikasi dengan atasannya.

Pegawai rendahan hanya boleh menggunakan bahasa Jawa Kromo saat berkomunikasi dengan atasannya. Perlakuan seperti itu mendapat perlawanan dari penulis di Sinar Djawa:

“Wahai, saudara-saudara kita! Djanganlah kamoe takoet akan sesoeatoe manoesia jang hendak mengindjak-indjak kita. Tampakanlah keberanianmoe!” (Sinar Djawa, 30 Agustus 1917)

Diskriminasi menjadi masalah mendasar yang kemudian mencakup banyak aspek kehidupan rakyat Bumiputera. Selain pembedaan derajat antar indvidu, perbedaan juga terjadi pada hak politik Bumiputera. Pemerintahan sendiri (zelfbestuur) menjadi pembahasan dominan dalam wacana politik ini.

Zelfbestuur mengharuskan Hindia mempunyai dewan rakyat (Volksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif. Tidak semua orang bisa memilih perwakilannya untuk duduk di kursi dewan rakyat tersebut. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah berpenghasilan f 50/bulan dan bisa berbahasa Belanda. Dari sekian banyak Bumiputera, hanya ada 1% yang memenuhi syarat tersebut.

Semaoen menyebut volksraad dibuat pemerintah untuk meredam pergerakan kaum Bumiputera. Di samping volksraad, ada hal lain yang menjadi pembahasan penting Sinar Djawa dan Sinar Hindia, yaitu Indiewerbaar (milisi Bumiputera).

Indiewerbaar tak lain hanyalah politik yang akan menjerat Bumiputera, dengan alasan pekerjaan Bumiputera sudah berat makin berat jika menjadi Indiewerbaar. Di bagian lain, tokoh seperti Semaoen menganggap Indiewerbaar sebagai pelindung pemerintah dan kaum kapitalis.

Wacana Ekonomi dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia

Tahun 1918 adalah masa-masa akhir dari Perang Dunia I. Meski tidak terlibat langsung, Hindia merasakan kelangkaan pasokan sembako dan peralatan sekolah. Masalah tersebut membuat banyak kaum Bumiputera mengalami kelaparan.

Derita makin menjadi saat kaum buruh bekerja dengan upah sangat kecil, misalnya juru tulis (klerk) di Sumatra hanya digaji f 40/bulan. Bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan, lebih memilih untuk menjadi pengemis.

Persaingan antara pengusaha kecil Bumiputera dengan industri tekstil berskala besar juga terjadi, dari dari sektor pertanian Bumiputera juga terancam oleh pembukaan lahan tebu besar-besaran pemerintah dan kapitalis. Lahan persawahan yang berkurang memengaruhi penghasilan rakyat, dan kebutuhan pokoknya.

Sumber Primer: Koran Sinar Djawa dan Sinar Hindia Edisi 1917-1918

Irvan Hidayat
Irvan Hidayat
Lulusan Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta, dan Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.