Pernikahan anak merupakan salah persoalan besar terkait perlindungan anak dan perempuan di Indonesia. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, angka pernikahan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-8 tertinggi di dunia dengan jumlah sekitar 1,2 juta.
Data tersebut merupakan suatu pencapaian yang memprihatinkan dan tentu saja tidak bisa dibanggakan. Data tersebut justru menunjukkan bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, angka tersebut justru mengalami kenaikan selama masa pandemi.
Ada beberapa penyebab mengapa angka pernikahan anak di Indonesia mengalami peningkatan selama masa pandemi. Pertama, persoalan ekonomi yang kemudian mendorong orang tua menikahkan anaknya di usia dini. Berbagai macam pembatasan aktivitas selama pandemi berdampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk hilangnya pekerjaan sebagian masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengalami kesulitan ekonomi karena tidak adanya pemasukan sementara berbagai kebutuhan tetap harus dipenuhi.
Hal ini membuat banyak orang tua yang kemudian menikahkan anaknya (terutama perempuan) untuk mengurangi beban finansial mereka. Mereka beranggapan bahwa ketika anak perempuan menikah maka kewajiban finansial mereka beralih kepada suami anak perempuan mereka. Anak dalam hal ini juga masih dianggap sebagai objek yang dapat ditukar dengan mas kawin dari calon suaminya sebagai pengganti seluruh biaya hidup yang dikeluarkan oleh orang tuanya.
Pernikahan anak dalam jangka pendek mungkin dilihat sebagai jalan keluar ekonomi bagi keluarga yang melakukannya. Namun, praktik tersebut sesungguhnya hanya akan membawa dampak sistemik yang lebih luas di kemudian hari. Pasangan yang melakukan pernikahan di usia anak hampir semuanya adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan tidak lagi melanjutkan pendidikannya.
Tingkat pendidikan yang rendah akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Hal ini pada akhirnya hanya akan menjadi lingkaran setan kemiskinan yang akan terus berlangsung jika praktik pernikahan anak ini tidak dihentikan.
Selain berhubungan dengan tingkat kemiskinan, pernikahan anak juga berkorelasi dengan aspek kesejahteraan sosial lainnya, yaitu tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap meningkatnya angka pernikahan anak di Indonesia. Mereka yang hanya berpendidikan sampai sekolah dasar sangat berisiko untuk melangsungkan pernikahan di usia dini. Hal ini terjadi karena mereka belum memahami bagaimana pernikahan yang baik dilakukan dan dampak dari pernikahan yang dilakukan pada usia dini.
Penyebab lainnya adalah kejenuhan yang dialami akibat pembelajaran daring. Pandemi mengubah metode pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring. Tidak jarang guru hanya memberikan tugas kepada siswa yang kemudian membuat siswa jenuh. Di samping itu, anak perempuan juga kerap kali memiliki tugas tambahan di rumah untuk melakukan tugas domestik di rumah seperti menyapu, mencuci, dan memasak. Hal tersebut semakin menambah beban yang dimiliki oleh anak.
Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia masih sangat patriarkis dengan menganggap bahwa pekerjaan domestik adalah ranah perempuan. Akibat kejenuhan tersebut, menikah menjadi pelarian yang dilakukan oleh beberapa anak dari rutinitas pembelajaran daring dengan tugas-tugas yang diberikan. Beberapa kasus pernikahan anak akibat kejenuhan pembelajaran daring bahkan pernah viral di media massa.
Ironisnya, inkonsistensi hukum juga menjadi salah satu penyebab persoalan pernikahan anak ini. Di satu sisi, Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak yang melarang terjadinya pernikahan di usia anak. Undang-Undang Perkawinan yang terbaru pun mensyaratkan usia 19 tahun sebagai usia minimal dilangsungkannya pernikahan. Akan tetapi, di dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat celah yang dapat memberikan izin pernikahan usia anak melalui dispensasi yang diberikan oleh Pengadilan Agama. Celah inilah yang menjadi salah satu penyebab tak kunjung selesainya persoalan pernikahan anak di Indonesia.
Praktik pernikahan anak jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak seperti yang termuat di dalam Convention on the Rights of the Child 1989. Hak-hak yang dilanggar akibat adanya pernikahan anak adalah hak untuk bermain dan mendapatkan rekreasi, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual, dan hak-hak lainnya.
Di dalam lingkup hukum Indonesia, praktik tersebut juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Akan tetapi, pada faktanya justru orang tualah yang menjadi pihak pendorong terjadinya pernikahan anak. Kuasa yang dimiliki oleh orang tua sering kali digunakan untuk melangsungkan pernikahan anak.
Praktik pernikahan anak membawa banyak dampak negatif, baik bagi yang bersangkutan maupun masyarakat luas. Dalam aspek kesehatan, pernikahan anak meningkatkan risiko penyakit menular seksual, kanker serviks, kemungkinan lahirnya bayi prematur, dan komplikasi selama mengandung. Secara psikologis, pernikahan anak juga berdampak pada ketidaksiapan mental pasangan dalam menjalani rumah tangga. Ketidaksiapan tersebut dapat melahirkan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan trauma.Dampak tersebut akan melahirkan dampak lain berupa terjadinya perceraian.
Praktik pernikahan anak tidak seharusnya terjadi karena melanggar ketentuan undang-undang dan merenggut hak-hak anak. Anak tidak seharusnya mengemban tugas rumah tangga sebelum waktunya. Pemerintah dalam hal ini seharusnya menghilangkan dispensasi pernikahan yang ada di dalam Undang-Undang Perkawinan karena hal tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam menekan angka pernikahan anak.
Pemerintah juga perlu untuk lebih memperhatikan kesejahteraan sosial masyarakat karena hal tersebutlah yang menjadi penyebab pernikahan anak masih berlangsung hingga saat ini. Terakhir, perlu adanya edukasi terkait dampak pernikahan usia anak kepada masyarakat luas agar pemahaman terkait dampak negatif pernikahan anak masyarakat meningkat.