Ketika memasuki kelas 4 Sekolah Dasar (SD), saya pernah menemukan sebuah layang-layang yang tersangkut di pohon pete dekat teras rumah. Layang-layang itu saya ambil dengan alat pengambil buah mangga dan lantas menyimpannya. Saya pun riang gembira punya koleksi layang-layang baru. Karena memang waktu itu sedang musim layang-layang. Anak-anak satu kampung saban sore menerbangkan layang-layang di pojok-pojok latar rumah, dan beberapa di tanah lapang yang agak luas.
Esok harinya, saya ceritakan temuan layang-layang di pohon pete itu pada seorang kawan dekat rumah, terhitung masih saudara juga. Dia rupanya tahu siapa pemilik layang-layang itu. Setelah mendengar cerita, dia rupanya justru menyuruh saya untuk mengembalikan layang-layang itu pada pemiliknya.
Jelas, saya tidak mau. Sudah susah mengambilnya, suruh mengembalikan lagi. “Enak saja!”, pikirku. Tapi, kawan ini tetap saja ngengkel (ngotot) memaksa untuk mengembalikan layang-layang itu.
Karena jengkel, sore harinya saya main ke rumah kawan lain yang juga masih tetangga. Saya ceritakan kejengkelan itu, karena disuruh mengembalikan layang-layang yang saya temukan di pohon pete kemarin hari. Tentu, cerita kejengkelan itu sudah sedikit saya tambahi sehingga agak mendramatisir.
“Jangan temenan lagi sama dia!”, ujarku pada sore itu. Dia pun mengiyakan hasutanku. Terlihat raut mukanya berubah sedikit jengkel juga padanya. “Iya, dia memang begitu, sudah tidak usah temenan”, imbuhnya, menambah suasana jengkel.
Setelah dewasa, dan saya pikir-pikir, rupanya kala itu saya sedang berpolitik. Meskipun waktu itu tidak tahu kalau itu adalah perilaku politis, karena hanya melakukannya demi mempertahankan temuan layang-layang yang tersangkut di pohon pete dekat teras rumah. Namun, ketika mengingat lagi tingkah laku itu, “ah, dasar politik bocah!” haha.
Namun begitu agaknya saat ini memang begitulah adanya. Para pelaku politik, baik yang menggunakan kendaraan partai politik maupun yang non-partai, kerap kali menggunakan hasutan busuk untuk mempertahankan keinginannya, mengamankan jumlah suarannya, dan tentu saja, menumbangkan lawan politiknya. Tentu kita tidak bisa over-generalized, tapi tidak bisa juga di bilang perilaku demikian tidak mayoritas.
Para pelaku politik ini tidak tahu lagi bagaimana cara yang digunakan. Maksudnya baik buruknya sudah tidak lagi dipikirkan dengan hati bening. Semuanya dilakukan dengan kedongkolan dan kesombongan.
Rakyat dipolarisasi dan dihasut dengan dua kutup. Golongan Muslim dan golongan non-Muslim. Golongan Muslim diwakili oleh, misalnya, PKS, Gerindra, PKB, sedang golongan non-Mulim misalnya PDIP.
Padahal, kalau boleh jujur, yang terpolarisasi kepada golongan non-muslim jelas beragama Islam juga. Sedang yang terpecah ke dalam golongan muslim sejujurnya juga tidak sepenuhnya beragama Islam. Ini kan hal yang lucu.
Dalil-dalil suci agama dipaksa, digiring ke dalam gelanggang politik yang tidak tahu mana yang baik, mana yang buruk. Bahkan, mungkin, diksi “kebaikan” sudah tidak lagi ada dalam kamus perpolitikan. Atau mungkin, juga ada adagium, “bahwa orang yang masih membicarakan kebaikan, sudah tidak lagi pantas menyatu dalam perkawanan politisi”.
Bahkan, saya pernah dengar ada yang bilang: “Politik ya begini, kalau mau baik ya di Masjid saja”. Lah, ini kan lucu. Bagaimana mungkin justru mengamini kalau politik itu memang buruk. Seharusnya, perilaku moral universal dan agama yang memang dianggap sebagai pedoman hidup, bisa dihadirkan ke dalam ruang publik.
Dibawa sebagai pedoman pendamai pertikaian konflik kepentingan yang tiada ujung. Dalam pada ini, punya kepentingan itu tidak salah kok. Asal—“yang perlu dicatat”—cara yang digunakan untuk membawa pada kepentingan itu yang harus baik. Jangan ugal-ugalan.
Mimbar-mimbar rumah ibadah yang selalu memberikan informasi tentang adanya rahmat Tuhan kepada seluruh umat manusia, harusnya dipindahkan di lapangan politik, yang kadang kala orang sudah amnesia tentang berita itu.
Saking lupanya, orang-orang ini bahkan sampai membawa agama dan moral universal untuk didesain ulang, sehingga berbalik menjadi alat justifikasi perilaku yang fakir adab.
Orang-orang ini, memakai segala cara, agar bagaimana definisi kebenaran bisa berbalik arah seratus delapan puluh derajat. Buktinya, mereka berhasil. Kebenaran, kali ini ditentukan dari seberapa banyak orang yang sepakat dengan suatu ihwal tertentu. Semakin banyak, semakin kuat kebenaran itu.
Padahal, dalam filsafat sederhana, kebenaran itu hanya bersumber dari apa yang disebut teori pragmatisme, korespondensi, dan koherensi (konsistensi). Dan, bagi kita yang beriman mengenal kebenaran wahyu ilahi.
Ya, kita memang dengar bahwa Pilkada serempak 27 Juni lalu berjalan dengan damai. Hasil hitung cepat (quick count) sudah membocorkan informasi siapa saja kandidat yang akan jadi. Namun, saya juga mendengar, kawan sendiri menjadi tujuan money politics. Di lembar sarat pencoblosan, diselipkan brosur salah satu pasangan.
Di ujung yang lain, kita masih mendengar kampaye-kampaye hitam (black campaign) yang membunuh karakter lawan politik. Tentu ini menjadi PR besar bagi kita warga Indonesia yang telah sepakat memilih demokrasi, apalagi di Pilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti, yang tentunya akan berjalan lebih ketat.
Di Pilpres, tentu saja akan semakin banyak ceruk-ceruk baru yang berpotensi menimbulkan tingkah laku fakir adab. Kalau narasi agama dan moral universal tidak dihadirkan ke ruang publik, celaka jadinya. Baku hantam demi mempertahankan kepentingan dan sorak sorai penumbangan lawan politik akan jelas tersaji.
Jika begini, apa kalau bukan permainan politik bocah? Kayaknya memang ini permainan politik bocah. Cuman, bedanya, saya sudah melakukannya sejak kelas 4 SD lalu, dan ketika itu memang saya sedang seorang bocah. Lah sekarang, para politisi ini baru ketika dewasa bermain politik bocah. “Ini kan lucu!” haha.