Tidak lama dari ini, kita disaksikan dengan sejumlah tontonan yang menyita perhatian publik menyangkut komersialisasi hak cipta pada industri musik. Sejumlah musisi tanah air mulai gencar memersoalkan sejumlah royalti, khususnya bagi para pengarang lagu yang tidak mendampatkan hak ekonomi atas karyanya.
Konflik Ahmad Dhani dengan Once Mekel salah satu menjadi contoh. Mantan rekanan pada Band Dewa 19, kini berseteru tegang karena pentolan Dewa 19 tersebut melarang mantan sang vokalis kembali membawakan lagu-lagu Dewa 19, karena masalah royalti yang tidak pernah dibayarkan setiap aksi pertunjukannya.
Bahkan aksi larang-melarang ini tidak jarang diarahkan kepada para penyanyi yang telah andil mempopulerkan lagu tersebut. Seperti Ari Lasso yang dilarang membawakan lagu Penjaga Hati oleh Piyu Padi selaku pencipta lagu, termasuk Anji, Sammy Simorangkir, dan Andre Taulany yang kini juga ikut dilarang dalam membawakan lagu oleh band yang telah membersarkan namanya itu.
Nyatanya hal ini tidak bisa sebatas menyalahkan pengarang ataupun pembawa lagu tersebut dalam membawakan karya ciptaan. Pasalnya hal ini juga menjadi catatan bagi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif nasional (LMKn) untuk serius dalam memastikan pengelolaan, penyaluran dan pendistribusian royalti bisa tersampaikan dengan baik bagi pencipta atas karya cipta yang dikomersialkan.
Peristiwa yang ada saat ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia berada pada fase peralihan menuju transisi industrial, yang semula berpaham komunal dan tradisionalis, beralih menjadi masyarakat yang individualis dan kapitalis. Memang tidak dipungkiri, rezim hak cipta ini terlahir dari kesadaran negara-negara maju yang lebih dulu memperhatikan kesejahteraan pencipta atas karya ciptaannya.
Tidak sebatas oleh lagu ataupun musik, karya cipta yang menjadi bagian dari hak kekayaan intelektual memiliki esensi yang sama dengan kepemilikan suatu benda seseorang, dimana hanya pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang diperuntukkan memiliki hak dalam mengekploitasi karya ciptaannya, karena didalamnya terdapat hak moral dan hak ekonomi yang dilindungi oleh UU 28/2014 tentang hak cipta.
Hak cipta merupakan bagian dari hak asasi manusia, yang harus mendapatkan perlindungan atasnya. Sebab Pasal 27 ayat (2) Universal Declaration of Human Right mengatur bahwa “Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.” Hak ini merupakan hak eklusif pencipta yang timbul secara otomatis ketika pencipta mengumumkan hasil karya ciptaanya ke publik.
Faktanya, Indonesia sudah mengenal sejak lama mengenai pengaturan akan perlindungan hak cipta. Dimulai sejak adanya pengaturan kolonial Belanda melalui Auteurswet 1912, yang kemudian dinasionalisasikan dengan UU 6/1982 tentang hak cipta hingga mengalami perubahan yang terakhir pada UU 8/2014 tentang hak cipta.
Yang menjadi perhatian atas pengaturan hak cipta di Indonesia tidak hanya sebatas lagu ataupun musik. Melainkan juga terdapat ciptaan yang menjadi perlindungan UU 8/2014 terhadap bidang ilmu pengetahuan, seni lainnya, dan juga karya sastra seperti drama, lukisan, karya fotografi, bahkan hingga pidato seseorang, yang rentan atas pembajakan.
Sejatinya seseorang yang ingin mengeksploitasi karya ciptaan demi tujuan komersial harus memiliki izin dari pencipta ataupun pemegang hak cipta. Izin menjadi keharusan dalam pemanfaatan karya ciptaan seseorang, sebagaimana Pasal 9 ayat (3) UU 28/2014 yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”
Islam sebagai agama mayoritas, bahkan terbesar di dunia tentu memiliki peran penting dalam keberlangsungan negara. Tidak jarang semuanya dipertimbangkan dalam persfektif keislaman, dari soal makanan-minuman, pakaian, kebijakan politik, bahkan praktik niaga tertentu memerlukan legitimasi dari sudut pandang agama mayoritas.
MUI sendiri pernah memberikan suatu fatwa pada tahun 2005 terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual, melalui Fatwa No. 1/MUNAS VII/MUI/5/2005, yang tercakup didalamnya juga perlindungan atas hak cipta. Namun MUI juga kembali mengeluarkan Fatwa secara khusus pada tahun 2013 yang membahas mengenai permasalahan hak cipta, yang dimohonkan oleh Asosiasi Industri Rekaman Indonesia.
Melalui Fatwa MUI No. 1/2013, menyimpulkan bahwa pentingnya akan kesadarn hak cipta, dengan mengutip pendapatnya Prof. Wahbah Az-Zuhaili pada fatwa tersebut, yang mengatakan bahwa hak kepengarangan atau ciptaan termasuk hak yang dilindungi dalam syara’ (hukum Islam). Pelanggaran hak cipta berdasarkan fatwa tersebut merupakan suatu bentuk kezaliman yang seharusnya dihindari oleh umat manusia.
Apakah dengan berjalannya waktu hingga saat ini, masyarakat Islam Indonesia sudah berperilaku menghargai atas suatu karya ciptaan, menjadi pertanyaan besar. Lagu religi di Indonesia memiliki pasar yang diminati publik apalagi pada bulan tertentu seperti ramadhan, dengan melihat banyaknya pemutaran atas karya tersebut di pusat perbelanjaan, mall, café-café, sosial media, ataupun konser musik, apakah semuanya telah membawakan manfaat secara ekonomis kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas karyanya yang diekploitasi tersebut.
Munculnya sejumlah musisi atau penyanyi yang bertemakan religi ditengah masyarakat sebut saja Sabyan Gambus atau musisi dengan genre sejenis mulai giat mengcover sejumlah lagu bertemakan relegi dan juga melakukan aransemen ulang. Hal ini mendapatkan sambutan hangat, karena banyaknya antusias para musisi untuk ikut meramaikan cover lagu religi di sejumlah platform sosial media mainstream seperti youtube dan mendapatkan apresiasi ratusan ribu hingga jutaan viewer.
Hal tersebut tentu membawa manfaat bagi si creator cover dengan adanya adsense, penawaran manggung, endorsement, atau kepopuleran yang justru membawa keuntungan yang lebih dibandingkan pemilik ataupun pemegang hak cipta yang sah atas karya tersebut. Hal ini tentu menjadi perhatian bersama, dimana perlindungan atas industri musik religi menjadi keharusan, atau justru di cap sebagai perbuatan yang itung-itungan.
Hak cipta saat ini memiliki posisi penting, karena baru-baru ini putusan pengadilan memutuskan hak royalti atas karya lagu dapat menjadi harta gono-gini (vide kasus perceraian virgoun dengan Inara Rusli). Dikarenakan mantan istri dan anaknya terlibat secara tidak langsung menjadi inspirasi pada sejumlah lagu yang diciptakannya.
Faktanya perlindungan hak cipta merupakan sebagai bentuk apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta atas suatu karya ciptaannya. Hal ini tentu akan mendorong para pekerja di industri kreatif untuk tetap berkarya melalui ciptaannya, dan terlebih lagu islami bisa menjadi ladang dakwah atas penyebaran agama bagi tiap penganutnya.
Oleh karenanya, kesadaran atas karya cipta menjadi kewajiban bagi masyarakat ekonomis saat ini, penikmat tidak hanya menikmati karya melainkan juga terlibat mengapresiasi karya ciptaan, dengan tidak melakukan ekploitasi secara komersial dengan tanpa hak atas karya ciptaan tersebut.