Dalam memahami konteks perjuangan kaum buruh hari ini, perlu dipahami pentingnya momentum May day sebagai pembuka aspirasi bagi buruh untuk bersuara. Nasib buruh hari ini memiliki perlindungan hukum yang jelas seperti pengaturan batas kerja maksimal 8 jam sehari, diluar 8 jam kerja termasuk kerja lembur dan mesti dibayar, hal tersebut tercantum dalam UU Tenaga Kerja no 13 tahun 2003.
Disamping May day sebagai tempat aspirasi kaum buruh, May day juga merupakan momentum bagi buruh untuk mengonsolidasikan ikatan serikat buruh agar kekuatan mereka mampu mengalahkan kekuatan dari perusahaan, menjadi persoalan lagi apakah buruh mampu menekan perusahaan untuk memenuhi hak-haknya?
Dalam konteks korporasi industri di Indonesia yang sudah bertaraf internasional seperti pabrik Nike, MIGAS dan sebagainya posisi perusahaan memiliki power yang sangat kuat bahkan negarapun ikut manut pada perusahaan tersebut dengan pertimbangan perusahaan memiliki sumbangsih besar terhadap peningkatan GDP Indonesia, dan lebih parahnya lagi jika NGO seperti CSR, LSM dan organisasi sosial lainnya sudah tidak berpihak pada kepentingan buruh, keberpihakan kepada pemilik modal inilah yang menjadi suatu bagi ancaman buruh yang selalu kalah dalam menuntut haknya.
Buruh yang melakukan aksi demonstrasi harus memiliki tuntutan yang jelas untuk memulai aksinya, aksi May day tidak hanya diekspresikan memalui serangkaian seremoni demonstrasi saja namun melalui proses advokasi kepada lembaga hukum demi ke berlangsungan pemenuhan tuntutan buruh.
Buruh akan merasa termarginalkan jika upah yang mereka dapat tidak layak atau upah yang dibawah UMR, seperti kasus penuntutan penghapusan PP.no 78 Tahun 2015 yang dinilai merugikan buruh karena kerentanan peralihan posisi kerja yang berakibat sulitnya pengangkatan buruh tetap dan gaji yang tidak sesuai dengan UMR.(Tirto.id, 2019)
Maka May day ini bukanlah ajang momentum bagi buruh untuk mendapat panggung dan orasi di depan publik saja,namun May day harus dipahami lebih dalam sebagai bentuk protes kaum buruh kepada para aktor kapitalis yang terus mengeksploitasi buruh melalui jam kerja yang diatas 8 jam, upah yang rendah, dan korporasi yang tidak memberikan jaminan sosial.
Apa itu Pekerja Rentan dan Siapakah pekerja rentan tersebut?
Dalam era Globalisasi ini, dengan masifnya pembangunan industri di tanah air membuat banyak tenaga kerja yang mesti diserap, idealnya dengan banyak industri yang dibangun akan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia yang itu merupakan visi ideal dari neoliberalisme untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan meminimalisir intervensi pemerinah (Laisse Faire).
Namun jika kita melihat fakta di Indonesia yang dulunya masyarakat memiliki sektor dominan dalam pertanian, sedikit demi sedikit mulai beralihnya ke sektor pengelola industri. Transisi tersebut dipengaruhi oleh akumulasi primitif yang dilakukan perusahaan dengan mencerabut kuasa tanah yang dimiliki petani, hal ini dilakukan karena ekspansi kapitalisme bermula dengan penguasaan lahan produksi. (Dede Mulyanto, 2008).
Para petani yang kehilangan fungsi akibat kerusakan ekologi dari limbah yang dibuang sembanrang sehingga mereka terpaksa menjualnya, fenomena inilah menjadi objek analisis oleh Scott mengenai kerentanan petani yang kuasa produksi mereka dicabut sehingga mereka tidak berdaulat atas tanah yang mereka miliki.(Scott, 1983). Mereka terpaksa menjadi buruh industri yang posisi mereka bukanlah lagi sebagai borjuasi kecil namun mereka menjadi kaum proletariat.
Menyingung masalah keretanan buruh dalam pasal 52 ayat 1 UU Tenaga Kerja tahun 2003, mengenai sistem tenaga kerja banyak dijadikan sebagai legitimasi perusahaan untuk memberlakukan sistem kerja kontrak yang singkat, seperti sample yang diambil penulis mengenai perusahaan PT. Kahatex, PT Cola-Cola Amaintail, PT Five Stars yang memberlakukan kontrak kerja hanya tiga tahun kepada buruhnya.
Hal inilah yang membuat posisi buruh industri tersebut menjadi rentan karena upah yang mereka dapat lebih rendah dibandingkan buruh tetap, mereka tidak diberikan jaminan sosial dan jam kerja yang sama bahkan lebih dari pegawai tetap.
Siapakah posisi pekerja rentan tersebut?
Posisi kerja rentan tersebut oleh Guy Standing dikelompokan sebagai kelas Prekariat yang dibawah posisi kelas pekerja tetap, seperti yang dikutip dari bukunya Precariat The New Dangerous Class:
“Kemunculan Kelas Prekariat menjadi masalah baru dalam angkatan kerja di era globalisasi ini, mereka bekerja seperti halnya pekerja tetap namun tidak memiliki hak keamanan, jam kerja dan harapan hidup. Mereka terperangkap dalam jejaring kemiskinan dan mereka mewakili sebagai kelas yang menuntut kesejahteraan sosial”.
Dalam era teknologi dan Informasi ini, kelas prekariat merupakan kelas baru yang jumlahnya sangat banyak ketimbang dari kelas pekerja biasa. Kelas prekariat tidak hanya buruh kontrakan saja, bahkan fenomena Ojek Online yang menyerap banyak tenaga kerja namun tidak memberikan jaminan sosial maupun keselamatan kerja termasuk kedalam kelas prekariat. Kerentanan dalam bekerja yang membuat posisi buruh tidak aman inilah semakin banyak terjadi dalam perusahaan konvensional maupun perusahaan Ojek Online di Indonesia.
Maka posisi mereka bisa lebih termarginalkan dari buruh tetap karena mereka disamping tidak mendapat upah yang layak, jaminan keselamatan kerja dan juga jam kerja yang berlebihan. Posisi mereka inilah yang harus juga menuntut hak-hak mereka sebagai buruh untuk dapat perlakuan yang layak dan kesejahteraan hidup yang itu sudah diatur dalam UUD Pasal 34 dan negara bertanggung jawab untuk melaksanakan amanah UUD tersebut.
Apa tuntutan Mereka?
Kelas prekariat, memiliki kesamaan hak dengan buruh tetap yaitu upah yang layak, jaminan sosial dan jam kerja yang manusiawi. Namun kelas prekariat ini jumlah sanga banyak dan lebih sulit dideteksi karena mayoritas posisi mereka bekerja dalam sistem digital.
Salah satu fenomena Ojek Online yang semestinya mereka bisa ikut dalam menyeruakan tuntutanya dalam May day inipun terlihat dan kebanyak aksi May day ini banyak diikuti oleh buruh kontrakan ataupun mereka yang terkena Outsourcing yang mereka banyak bekerja dalam bidang Manufaktur.
Maka penulis menyampaikan bahwa May day ini merupakan suatu ekspresi dari buruh untuk menuntut keadilan agar mereka mendapat perlakuan yang layak demi mendapat kesejahteraan.sosial, yang dimana kelas prekariat ini merupakan bagian dari buruh yang juga memiliki hak yang sama untuk dapat mengakseskelayakan hidup yang seimbang dengan kerja yang mereka curahkan.
Refensi
Basari, H. (1983). Moral ekonomi petani : pergolakan dan subsistensi di Asia. Dalam J. C. Scott, The economic moral of the farmers: upheaval and subsistence in Asia. Jakarta : LP3ES.
Harris, J. (2010). The Precariat teh new Dangerous Class. United Kingdom: Bloomaburry Academic.
Mulyanto, D. (2008). Konsep Proletarisasi dan Akumulasi Primitif dalam Teori Kependudukan Marxis. Jurnal Kependudukan Padjadjaran, 81 – 99.
Thomas, V. F. (2019, Mei 1). Tolak PP Pengupahan, KPBI: Dulu Upah Naik 40% dan Sekarang Turun 8%. Diambil kembali dari tirto.id