Rabu, Oktober 16, 2024

Perlukah Dibuat Film G30S/PKI Versi Baru?

Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang
Penulis, mantan wartawan, alumnus FE Unila.

Film Penghianatan G30S/PKI dalam beberapa tahun terakhir memicu pro dan kontra di masyarakat. Ada yang berpendapat alur cerita di film tersebut adalah fakta dan  benar adanya. Tidak ada yang ditambahkan dan tidak ada yang dikurangi. Namun ada pula yang meragukan keabsahan cerita di film tersebut.

Pihak yang mempercayai menilai bahwa skenario dibuat berdasarkan fakta dan berdasarkan pengakuan dari saksi sejarah/saksi hidup yang mengalami langsung kejadian demi kejadian pada tanggal 30 September 1965.

Adapun, pihak yang meragukan punya alibi yang kuat pula. Ada beberapa argumentasi yang memperkuat keraguan tersebut. Pertama, karena film tersebut diproduksi di zaman Orde Baru, maka film Penghianatan G30S/PKI ini cenderung mengkultuskan seseorang yang Soeharto. Artinya, Soeharto menjadi pahlawan yang mampu memberantas kekejaman PKI.

Kedua, mengapa Mayjen Soeharto, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, tidak termasuk perwira tinggi yang jadi target PKI atau pasukan Cakrabirawa. Ini jadi menimbulkan misteri.

Ketiga, karena Soeharto tidak ikut dibantai bersama dengan ketujuh pahlawan revolusi, muncul kecurigaan bahwa jangan-jangan justru Soeharto lah yang jadi dalang dari gerakan PKI tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pro kontra film Penghianatan G30S/PKI merupakan bagian dari dinamika politik yang terjadi saat ini. Beda pendapat mengenai mash perlu atau tidaknya film tersebut ditayangkan dilakoni oleh dua kelompok yang berseberangan. Kelompok pertama adalah yang pro pemerintah, sedangkan kelompok kedua adalah pihak anti pemerintah.

Dihentikan Yunus Yosfiah

Film Penghianatan G30S/PKI diproduksi oleh Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984, disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer serta diproduseri Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan di era Presiden Soeharto. Arifin membutuhkan waktu dua tahun untuk memproduksi film tersebut dengan menghabiskan anggaran Rp 800 juta.

Setelah selesai, film berdurasi 3 jam itu menjadi tontonan wajib masyarakat Indonesia dan ditayangkan setiap tahun menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober. Setelah diputar terus menerus selama 13 tahun, pamor film ini akhirnya memudar menyusul lahirnya Era Reformasi.

Pada tahun 1998, tepatnya empat bulan setelah lengsernya Soeharto, Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, memutuskan tidak lagi menayangkan film Penghianatan G30S/PKI.

Alasan penghentian penayangan film itu, menurut Deppen, karena film tersebut terlalu sering ditayangkan. Yunus Yosfiah berpendapat pemutaran film yang bernuansa mengkultuskan tokoh sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi. Oleh karena itu, sejak 30 September 1998 stasiun TVRI dan TV swasta tidak menayangkan lagi film Penghianatan G30S/PKI.

Selain Yunus Yosfiah, tokoh penting yang turut berperan dalam penghentian pemutaran film Penghianatan G30S/PKI adalah Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan Mersekal Saleh Basarah, mantan Kepala Staf Angkatan Udara.

Perlu Riset Mendalam

Jika film Penghianatan G30S/PKI dianggap tidak sesuai dengan fakta, dan guna menyudahi pro dan kontra mengenai film tersebut, sebaiknya pemerintah segera memproduksi film Penghianatan G30S/PKI versi terbaru.

Film versi terbaru ini penting demi memberikan informasi sejarah yang benar bagi generasi penerus sehingga mereka mendapatkan informasi yang benar-benar valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk menghasilkan informasi yang benar, bahan skenario film harus melalui riset yang mendalam. Tim riset harus terdiri dari orang-orang yang independen yang tidak terkait dengan kepentingan politik apapun. Tim harus mampu mengumpulkan data dan fakta dari semua pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Tim harus mampu mendapatkan fakta baru yang belum diungkap olah film versi terdahulu. Fakta baru inilah yang sebenarnya ditunggu-tunggu. Apalagi bisa ditemukan fakta bahwa sebenarnya pelakunya bukan PKI melainkan pihak lain.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan fakta baru tadi, tim riset harus melakukan wawancara mendalam dan tuntas dengan saksi hidup yang mengalami langsung peristiwa berdarah tersebut. Tim juga harus meminta pendapat dan opini dari para pakar yang mengetahui sejarah pemberontakan PKI.

Jika ada adegan atau peristiwa yang dianggap tidak sesuai dengan fakta, harus direvisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, pembuatan film versi terbaru ini harus dikerjakan oleh sutradara dan produser yang independen pula.

Hal paling penting yang harus diperhatikan adalah, film versi baru ini harus berkeadilan. Artinya, jangan sampai mendiskreditkan anak cucu tokoh PKI, tapi juga jangan menghapus kepedihan anak cucu para jenderal yang menjadi korban keganasan pelaku.

Bagaimanapun, peristiwa kelam ini harus diketahui oleh generasi penerus sebagai pembelajaran dan antisipasi supaya kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

Kita tidak boleh melupakan sejarah. Tapi kita juga berhak mendapatkan informasi yang benar mengenai sejarah tersebut.

Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang
Penulis, mantan wartawan, alumnus FE Unila.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.