Kemajuan zaman sangat berkaitan erat dengan perkembangan teknologi komunikasi. Bukan sebuah hal yang baru untuk menyadari bahwa teknologi komunikasi sedikit banyak mempengaruhi peradaban. Bukan sebuah hal yang baru pula, bahwa saat ini hampir seluruh manusia bergantung pada teknologi komunikasi. Kemudahan dan kepraktisan yang tidak dapat dihindari oleh siapa saja.
Berbicara mengenai kemudahan dan kepraktisan, teknologi memang diciptakan untuk memudahkan. Pada dasarnya, teknologi ada untuk membantu. Menurut Nuruddin, teknologi adalah alat bantu.
Secara arti sempit, teknologi memang berarti mesin dalam bahasa sehari-hari. Secara sempit teknologi hanyalah alat keras (hardware) secara luas bisa berarti hardware dan software. Dari pengertian tersebut dapat dimengerti mengapa teknologi begitu digandrungi oleh banyak orang.
Namun, tentu saja teknologi yang bertujuan untuk membantu memiliki dampak negatif dan positifnya. Beberapa orang begitu terbuai dengan fitur-fitur dalam teknologi, yang dalam satu kali klik, semua urusan bisa terselesaikan.
Beberapa yang lain bahkan merasa resah jika satu hari dalam hidupnya terlewati tanpa teknologi komunikasi dan informasi. Saat kita terbiasa dengan kemudahan, kita terkadang menjadi lupa, bahwa hasil adalah buah dari rangkaian proses.
Dahulu, untuk menemukan informasi, seorang mahasiswa perlu membaca literasi dan berkunjung ke perpustakaan. Tetapi saat ini, jika diminta untuk membuat rangkuman, maka dengan mudah, mahasiswa akan menemukannya di google dan menyalin seluruh isinya tanpa rasa ingin membaca seutuhnya.
Tak hanya itu, kabar berita yang ada di media sosial atau media online seringkali menarik perhatian penggunanya. Tetapi, banyak dari mereka yang lantas menyebarkan tanpa membaca seluruhnya.
Dampak positifnya, informasi, inovasi, dan inspirasi seakan mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung. Seseorang bisa sangat berguna bagi orang lainnya melalui tulisannya, videonya, musiknya, gambarnya, atau apa saja karyanya. Muncul istilah-istilah baru seperti influencers, content creator, buzzer, selebgram, paid promote, endorse, dan lain sebagainya. Umumnya, hal-hal tersebut sering dijumpai di Instagram. Walau tak dapat dipungkiri, setiap media sosial memiliki ciri khasnya masing-masing,
Beberapa waktu yang lalu, sebuah akun tanpa nama di twitter mengunggah pricelist endorse beberapa nama influencers dan selebgram Indonesia. Endorse adalah kegiatan promosi untuk menarik konsumen baru. Influencers adalah sebutan bagi mereka yang dinilai dapat mempengaruhi orang lain dengan content nya.
Dan selebgram biasa diberikan kepada mereka yang memiliki banyak followers karena unggahan fotonya. Menariknya, harga untuk sebuah unggahan endorse di instastory bisa mencapai 6 juta rupiah. 15 detik yang begitu menghasilkan rupiah.
Tetapi, dengan 15 detik tersebut, adakah pengaruh yang dirasakan oleh pengguna Instagram selain perasaan ingin membeli? Label “influencers” yang sering disematkan kepada seseorang seringkali menimbulkan rasa penasaran, apakah influence yang telah ia sebarkan? Tentu tidak mudah bagi seorang influencer untuk menimbulkan langkah kilat demi tercapainya perubahan yang lebih baik.
Juga, mungkin saja sebetulnya ia tak pernah melabeli dirinya sebagai “influencers” dan justru label tersebut hadir dari khalayak? Pun begitu, menjadi influencers yang meningkatkan kesadaran akan jauh lebih baik daripada melahirkan individu-individu yang konsumtif. Beli, beli, beli dan beli yang mungkin harus segera kita sudahi. Inovasi, inspirasi, serta informasi yang telah kita dapatkan, tentu bisa kita maksimalkan dengan kreatifitas tanpa batas.
Fenomena lain yang sempat mencuat ialah anggapan bahwa Instagram adalah media sosial yang toxic. Ungkapan yang kini sering digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang berakibat buruk. Instagram dinilai tidak baik untuk kesehatan mental beberapa penggunanya.
Instagram dinilai sebagai media sosial yang paling membangkitkan rasa minder, iri, rendah diri, dan lain sebagainya. Hal tersebut muncul karena Instagram adalah tempat dimana semua orang bebas menunjukkan kemampuan dan gaya hidupnya.
Padahal, fitur mute dan hide sudah diciptakan oleh Instagram. Mute digunakan agar kita tidak melihat unggahan foto / instastory sebuah akun. Sedangkan hide digunakan agar orang lain tidak bisa melihat unggahan kita. Jika 2 hal tersebut masih belum cukup, mungkin Instagram bukanlah media sosial yang toxic.
Namun kita sebagai pengguna yang kurang bisa memilih dan memilah apa-apa saja yang akan mempengaruhi hidup kita. Jika dengan mengikuti beberapa akun membuat kesehatan mentalmu tidak baik, maka berhentilah. Masih banyak akun-akun yang menawarkan hal-hal baik dan patut ditiru.
It takes two to tango. Sebuah ungkapan yang mungkin bisa kita terapkan dalam ber media sosial. Butuh rasa “saling” untuk mencapai tujuan. Tidak perlu menyalahkan media sosial, influencers di dalamnya, atau bahkan, menyalahkan diri sendiri. Jika teknologi dibuat untuk mempermudah, mengapa kita yang menjadikannya susah?