Tidak banyak yang mengetahui perkembangan industri otomotif di Iran. Dulu, produksi otomotif “negeri para Mullah” -sebutan Iran- ini pernah menguasai pasar otomotif Timur Tengah. Sebelum sanksi embargo Barat mengubahnya. Bahkan, Iran sempat hilang dari daftar produsen otomotif di pasar Asia.
Kini, industri otomotif Iran mampu bangkit di tengah sanksi embargo yang menimpanya. Selain mampu memenuhi kebutuhan otomotif dalam negerinya. Pangsa pasar otomotif Iran sudah meluas ke Venezuela, Kuba, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Namun, kemampuan industri otomotif Iran belum mampu sejajar dengan negara-negara produsen otomotif utama seperti Inggris, Amerika Serikat, China, dan India. Lantas, bagaimana perjalanan industri otomotif Iran?
Berbicara industri otomotif Iran menarik bila melihatnya dari sisi sejarahnya. Bermula pada awal abad 20-an, Ford, menjadi perusahaan mobil pertama yang masuk ke Iran. Pada saat itu, mobil disebut “kereta kuda rokok” karena kepulan asap knalpotnya sangat tebal bak rokok. Barulah memasuki tahun 1920, mobil buatan Inggris dan Amerika Serikat berlomba-lomba membanjiri pasar otomotif Iran. Peningkatan keran impor tersebut sejalan dengan naiknya tingkat urbanisasi disana.
Sekitar awal dekade 60-an, pemerintah dibawah rezim Shah menggalakkan sektor swasta untuk menggandeng perusahaan-perusahaan asing membangun industri perakitan mobil di Iran.
Dari situlah bermunculan perusahaan-perusahaan otomotif di bawah lisensi Jerman, Inggris, Italia, dan Jepang, diantaranya Iran Khodro (Pabrik Industri Nasional Iran), Saipa Zamiad, Pars Khodro, perusahaan industri Iran Kaveh, Leyland Motors (Shahab Khodro), Morattab Khodro, Grup Industri Timur, dan Grup Otomotif Bahman (Pabrik Otomotif Mazda). Semua pabrik tersebut memproduksi kendaraan dengan jenis beragam, seperti mobil penumpang, minibus, truk, sepeda motor, bus, dan pick up.
Pasca Revolusi Iran, dikenakannya sanksi embargo, industri otomotif Iran mengalami perubahan yang drastis. Sempat terseok-seok di awal. Akhirnya, industri otomotif berkembang dari fase perakitan bergeser ke fase desain dan produksi. Hal ini tak lepas dari peran pemerintah yang melakukan nasionalisasi perusahaan mobil di Iran. Tak mulus begitu saja, stagnasi industri otomotif sempat terjadi karena agresi Irak dibawah rezim Saddam terhadap Iran.
Pasca agresi Irak usai, Iran menetapkan kebijakan baru kemandirian industri otomotif dengan tidak melakukan impor. Prioritas kebijakan ini fokus terhadap kualitas, penghematan bahan bakar, pengurangan emisi, dan penetapan harga yang wajar. Oleh sebab itu, di tengah ketatnya persaingan internasional, mereka justru mampu memperluas pangsa pasar dengan mengekspor ke negara-negara lain.
Dilansir dari Xinhua, salah satu perusahaan mobil Iran, Khodro, mampu mengekspor 40 ribu unit mobil dan turut berkontribusi dalam ekspor otomotif Iran ke 30 negara bagian selama tahun 2011. Selain peningkatan produktivitas, Iran lewat perusahaan ini juga telah memproduksi mesin mobil berbasis gas secara massal.
Tahun 2011, peluncuran Dena, mobil pabrikan Iran yang diproduksi oleh Khodro, menjadi pembuktian kemajuan industri otomotif. Ditargetkan oleh CEO Khodro, Javad Najmeddin, akan meningkatkan produksi menjadi 730 ribu unit kendaraan per tahun pada akhir tahun 2011. Bahkan, pada tahun 2016, volume ekspor akan ditingkatkan lebih dari 600 ribu mobil.
Selain Dena, para peneliti Iran juga telah menciptakan mobil listrik, Quadro, yang didesain dan dikembangkan dari komponen dan sistem-sistem utama motor listrik. Nama komersil Quadro sendiri adalah Yooz. Mobil ini memiliki berat 400 kilogram dengan masa pengisian daya sekitar 3 jam dengan jarak tempuh sejauh 200 km kecepatan 80 km/jam.