Era dilematis bahkan trilematis seperti saat ini pemerintah akan selalu dihadapkan dengan kompleksitas tinggi dan perubahan masyarakat yang sangat cepat, sayangnya produk kebijakan publik seringkali kalah cepat alias basi. Beberapa cenderung reaktif menyikapi perubahan yang terjadi.
Alhasil kebijakan publik menjadi produk tak bermutu. Regulasi yang diharapkan mengatur kehidupan orang banyak justru cepat ditinggalkan dan tidak dipatuhi. Lebih kongkrit lagi mari kita lihat dalam keseharian masyarakat. Tak semua yang kita harapkan dalam sebuah regulasi yang berfungsi fits all akan berlaku mutlak bagi manusia, contoh saja hal-hal sederhana seperti kepatuhan aturan berlalu lintas: memakai helm dan sabuk pengaman, banyak yang abai.
Bukti tambahan hasil operasi zebra terakhir saja menemukan ribuan pelanggar lalu lintas, padahal aturan dibuat untuk keselamatan mereka namun mereka justru mengabaikan variabel paling penting tersebut. Jelas perilaku mereka tak rasional seperti yang diregulasi oleh produk kebijakan publik.
Perilaku masyarakat kini seharusnya tidaklah mudah untuk diprediksi seperti aturan homo economicus atau manusia rasional semata sebagai variabel paling utama dalam formulasi kebijakan publik. Ketika mereka akan menghitung segala kemungkinan dan akan memutuskan yang paling menguntungkan bagi mereka untuk dilakukan akan tetapi selalu terdapat aspek-aspek lain yang mempengaruhi perilaku manusia yang sama sekali tak rasional.
Sebenarnya perilaku irasional tersebut sudah puluhan tahun diteliti oleh para ekonom beraliran behavioral seperti Herbert Simon, Daniel Kahneman, Cas Susstein, Dan Ariely, hingga Richard Thaler. Tentu mereka banyak berkontribusi pada kebijakan publik seperti kebijakan perpajakan, asuransi kesehatan, dan pensiun dengan melakukan rekayasa minimal pada perilaku publik guna meningkatkan outcome kebijakan publik.
Aspek perilaku sudah seharusnya menjadi perhatian para pembuat dan analis kebijakan publik agar tak kaku dalam memproses sebuah kebijakan publik mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasinya sendiri. Dalam dunia akademis memang muncul pergeseran dari analisis makro ke mikro (perilaku) dalam sektor publik yang memang membawa manfaat lebih (Grimmelikhuijsen dkk, 2016) akan tetapi secara praktik belum tersebar secara baik.
Mulai saat ini mungkin kita tidak harus selalu menggunakan variabel regulasi formal dengan biaya besar untuk mengatur masyarakat akan tetapi melakukan inovasi kebijakan publik yang lebih mengena pada perilaku nyata manusia seperti intervensi psikologis dalam kehidupan orang banyak. Kita tidak berbicara soal intervensi perilaku manusia yang kurang humanis akan tetapi membuka jalan baru kesadaran bersama para pembuat kebijakan untuk membuat alternaitf mikro berbiaya rendah tanpa menambahkan kerugian pada publik dengan desain selembut mungkin yaitu salah satunya menggunakan konsep nudge ala Richard Thaler (2008; 2013).
Barang tersebut bukanklah hal baru akan tetapi dalam konteks Indonesia maka pertama kita harus mempersiapkan ini sebagai pengetahuan bersama seluruh pembuat kebijakan dan analis kebijakan publik, dan yang kedua dilakukan di seluruh level pemerintahan dari nasional hingga pemerintahan desa. Bayangkan jika alternatf-alternatif nudge bisa dikembangkan dari tingkat pemerintahan yang paling mini yaitu pemerintahan desa, tentu dampak besar akan terjadi misalkan dimulai dari hal-hal kecil ditemukan cara-cara baru merubah perilaku membuang sampah sembarangan, MCK sembarangan, mencegah anak anti sosial, meningkatkan akses vaksin, dan lain sebagainya yang menjadi problem sehari-hari masyarakat masa kini.
Tak semua harus membutuhkan regulasi mahal akan tetapi the devil awalys in the detail sehingga kebijakan publik harus mulai beralih kepada kepentingan analisis mikro ke arah perilaku kongkrit sehingga lubang-lubang akibat kebijakan publik yang terlalu makro tidak lagi dieksploitasi oleh para pemburu rente. Kebijakan publik juga tak harus selamanya kaku dengan perdebatan politik yang sulit dipecahkan jika menyangkut prioritas regulasi mana yang harus dibuat dan pendanaan macam apa yang akan digunakan untuk membiayai.
Titik tumpu pada ide para birokrat di semua level bersama masyarakat yang saling mendekat untuk berkolaborasi mencapai tujuan bersama dapat menjadi jawaban responsif daripada menunggu kapan jadinya regulasi yang tidak jelas ujungnya. Ingat bahwa sumber daya tak terbatas adalah masyarakat, mereka dapat melakukan apa saja jika bersatu sehingga pemerintah seharusnya sudah semakin dasar bahwa mereka tidak dapat bekerja sendiri. Bukalah peluang koproduksi, kokreasi, kodesain dalam kebijakan publik.
Karakter kebijakan publik baik untuk mengatur, mendistribusi atau redistribusi sumber daya memang secara formal adalalah kewajiban negara, akan tetapi watak penyelenggara negara dan publik yang sebagian besar bertindak informal dan misbehaving tentu seharusnya dapat diutilisasi untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik bukan sebaliknya seperti saat ini ketika relasi ekonomi politik di belakang layar dipertahankan semakin merusak tatanan pemerintahan seperti contoh nyata korupsi di berbagai sektor.
Dalam konteks Indonesia memang diskresi kebijakan publik memang diperbolehkan, dan para inovator di sektor publik juga dilindungi akan tetapi sejauh mana level kelenturan kebijakan publik masa kini yang harus segera dibereskan agar tidak timbul persoalan hukum yang memang sangat strict. Apalagi di abad disrupsi seperti saat ini, input informasi yang overload telah membuat perilaku publik sulit untuk rasional seperti konsumsi berita hoax menjadi semacam kegiatan otomatis untuk saling berbagi tanpa cek dan ricek.
Pencapaian kebijakan publik pemerintah akan lebih gampang untuk dicaci padahal publik juga tidak bekerja optimal. Kebijakan publik harus mulai mengeksploitasi aspek perilaku manusia sesuai dengan perkembangan perilaku publik hari-hari ini yang seringkali tidak dapat diprediksi secara rasional.