Amien Rais. Sosok aktivis senior yang disebut Bapak Reformasi ini memang dikenal lantang bersuara melawan rezim penguasa. Perannya dalam mengawal demokrasi dan perjalanan bangsa telah tercatat jelas dalam sejarah kelam bangsa ini.
Betapa pun beliau kini mendapatkan caci dan maki sekaligus dari orang-orang yang membencinya—lantaran berbeda pilihan politik, sebagai sosok yang sudah sepuh tak pernah sedikit pun dia goyah dan patah arang dalam menyuarakan pendapat-pendapat bernada kritiknya. Amien Rais merupakan sosok politisi-cum-intelektual yang memiliki pemikiran dan cita-cita besar untuk bangsa ini.
Pemikiran-pemikiran Amien Rais bisa kita temukan di berbagai tulisannya. Di antaranya pemikirannya mengenai konsep implementasi bertauhid dalam perpektif sosial-politik yang luas bisa kita temukan dalam buku bertajuk Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan. Selain itu, dalam perjalanan mengawal kehidupan bangsa dan perjalanan pemerintah Indonesia, dia juga menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah melalui buku Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia! yang diterbitkan 10 tahun pasca-Reformasi. Buku ini berisi kritik dan kekhawatiran terhadap masuknya kepentingan asing ke Indonesia.
Selain itu, mengingat kiprahnya dalam reformasi 1998, terbit buku berisi tulisan-tulisan dan hasil wawancara dengan Amien Rais serta beberapa tulisan tokoh nasional yang menyoroti sosok Amien Rais kala itu. Buku tersebut berjudul Suara Amien Rais, Suara Rakyat.
Di usianya yang makin sepuh, pemikiran-pemikiran bernada satire dan kritik itu ternyata masih menggema. Apalagi, di era Jokowi, Pak Amien merupakan orang yang lantang mengkritik rezim. Terutama dalam hal kebijakan pemerintah yang dinilainya telah melenceng dari falsafah dan moralitas bangsa. Sehingga jargon populis ala Jokowi “Revolusi Mental” dibantahnya melalui konsep “Revolusi Moral” dalam buku Hijrah yang hadir belum lama ini.
Dengan begitu amat menarik rasanya untuk mencoba menelaah dan memahami pemikiran dan kiprah pendiri dan ketua umum pertama DPP PAN sekaligus mantan ketua MPR RI tersebut. PAN merupakan partai yang dibesarkan dan membesarkannya. Selain PAN, tentu saja persyarikatan Muhammadiyah yang menjadi tempat dia digembleng dan ditempa. Keterujiannya sebagai cendekiawan Muslim juga tak boleh diragukan, dia menjadi salah satu yang berperan dalam berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Bahkan ada yang menyatakan “Amien lebih dekat (pemikirannya) dengan Ali Syariati”.
Semangat politik adiluhung
Semangat Amien Rais dalam berpolitik memang sudah seperti desain dari alam semesta. Ketika kuliah, misalnya, dia memilih masuk ke Ilmu Politik di Fakultas Sospol UGM, konon atas keinginan ayahnya. Ditambah ketika mahasiswa, dia aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa (IMM dan HMI) yang makin mematangkan pemikiran dan kiprah politiknya. Tentu saja di dalam realitas organisasi kemahasiswaan juga tak lepas dengan strategi dan kemampuan berpolitik. Begitu pula dengan kiprahnya di persyarikatan Muhammadiyah yang mencapai pucuk pimpinan (periode 1995-2000).
Kiprah politik Amien Rais memang sangat menarik. Gus Dur misalnya pernah berkelakar bahwa, “Amien tidak akan pernah jadi presiden, karena hanya A – (min)”. Atau kelakar lainnya ketika Gus Dur jadi terpilih presiden, “saya ini jadi presiden modal dengkul, itu pun dengkulnya Amien Rais.”
Jika kita kembali ke masa Orde Baru bisa kita pahami kenapa Amien Rais diberi titel Bapak Reformasi. Pada 1993 melalui sidang tanwir Muhammadiyah, Amien Rais menyuarakan gagasannya untuk suksesi kepemimpinan nasional. Dengan bahasa lain mendorong reformasi. Dalam buku Suara Amien Rais Suara Rakyat disebutkan, “sejak sidang tanwir Muhammadiyah di Surabaya pada tahun 1993, Dr H M Amien Rais secara konsisten terus menggulirkan perlunya suksesi.
Ide suksesi tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra yang melibatkan pejabat pemerintah, pengamat politik, cendekiawan, mahasiswa, dan masyarakat luas.” Hingga akhirnya pernyataan-pernyataan keras Amien Rais seolah menjadi bola salju dan bergulir menjadi keresahan masyarakat secara luas.
Di kalangan Muhammadiyah pada waktu itu pun gagasan-gagasan politiknya begitu mudah diterima. Hajriyanto Tohari dalam tulisannya mengatakan, “high politic merupakan bagian integral dari tugas amar makruf nahi mungkar, menjadikan semua aktivitsme politik Amien Rais diterima mulus oleh kalangan elite Muhammadiyah, apalagi generasi mudanya.” Namun, ide politik adiluhungnya itu, menurut Hajriyanto, terbantahkan sendiri dengan pernyataannya yang siap maju menjadi presiden.
Pergeseran ‘moral’ politik
Beberapa waktu belakangan, Amien Rais sempat ramai pula di media massa dan kalangan internal warga Muhammadiyah lantaran mengatakan akan “menjewer” ketua PP Muhammadiyah yang sekarang, Haedar Nashir, jika Muhammadiyah tidak menyatakan sikap politiknya. Hal itu terjadi lantaran beliau menyayangkan sikap PP Muhammadiyah yang menyatakan netral dalam pilpres 2019.
Sikap netral menurut Pak Amien bukanlah sikap politik yang gentleman. Yang Pak Amien inginkan Muhammadiyah bisa mengambil sikap politik yang jelas—alias mendukung salah satu di antara dua capres yang ada.
Sementara bagi Muhammadiyah itu tidak mungkin karena itu bertentangan dengan khittah organisasinya. Sikap ingin “menyeret” Muhammadiyah ke politik praktis inilah yang disayangkan banyak pihak. Di sini kita bisa melihat bagaimana gairah politik seorang Amien Rais mulai bergeser ke politik praktis—sebenarnya sejak pilpres 2014, bahkan ketika dia menyatakan siap mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1998 pun sudah demikian.
Saat ini, Pak Amien masih saja lantang mengkritik rezim penguasa dengan bahasa lugas, keras, dan tajam. Itu jelas-jelas bisa temui dalam buku Hijrah. Dalam buku itu pula bisa kita temukan secara gamblang bagaimana keberpihakannya mendukung Prabowo-Sandi di pilpres 2019. Pemerintahan Indonesia saat ini menurutnya sudah kehilangan kompas moral. Dengan keras dia nyatakan, “Revolusi Mental ala Jokowi yang tidak jelas maknanya, harus segera diganti dengan Revolusi Moral.”(Hijrah hlm 30).
Moralitas, bagi Amien Rais, merupakan suatu hal yang amat fundamental dalam perilaku manusia. Tanpa kompas moral, kata dia, kita jadi manusia bingung, tidak mampu lagi kita membedakan benar dan salah, mana yang moral dan mana yang immoral. “Kehilangan kompas moral itulah musibah yang menimpa rezim Jokowi sekarang. Dan karena rakyat umumnya mengikuti jejak penguasa maka terlalu banyak di antara kita yang ikut-ikutan bingun secara moral,” katanya.
Jika saat ini kita ingin menarik kesimpulan mengenai sosok Amien Rais rasanya belum tepat dan belum waktunya. Sebab, kita masih perlu melihat bagaimana sikap dan kiprahnya ke depan. Bagaimana jika Prabowo-Sandi menang di pilpres nanti? Dan bagaimana jika sebaliknya, Jokowi yang menang kembali dalam pilpres April mendatang? Kita lihat saja.