Sabtu, April 27, 2024

Perempuan-Perempuan yang Konsisten

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Masyarakat biasa, pernah ngadem di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, tapi sekarang berdomisili di Tulungagung.

Malam itu, 10/03/2019 saya menyempatkan bertemu dengan teman sepermainan. Ya karena esoknya saya harus kembali ke kota pelajar, untuk mengais ilmu. Kami bertemu di warung kopi, di salah satu sudut desa.

Ditemani secangkir kopi susu, kami berdua membicarakan soal asmara. Ia berada di fase kebimbangan, antara lanjut dan berhenti dengan pasangannya. Berbagai kemungkinan asmaranya, satu per satu ia utarakan tanpa ada privasi.

Hingga akhirnya pembicaraan sampai pada penyudutan perempuan. Ia mengatakan bahwa sumber dari kegalauan yang dialaminya dimusababkan oleh perempuan. Tidak berhenti disitu, ia juga menjelaskan tentang ‘tidak konsistennya’ perempuan. Perempuan itu plin plan. Oleh karena itu, kepala keluarga, pemimpin, raja, dan jabatan penting lainnya sudah pas jika dipegang oleh pria.

Sontak saya tidak sepakat saat mendengar ucapannya. Namun saya harus hati-hati menjelaskan kenapa saya tidak sepakat? Karena teman saya ini masih awam dengan istilah gender, maskulin, feminis, ketidakadilan gender, dan semacamnya. Berbeda dengan kalangan akademis yang sudah akrab dan menjadi makanan tiap hari istilah-istilah semacam itu.

Saya memulai menolak anggapannya perlahan, dengan mengingatkan kembali kisah cinta klasik, Laila Majnun. Laila itu perempuan, tapi memiliki keteguhan hati untuk setia pada Majnun. Meski sudah segenap upaya dilakukan oleh ayahnya untuk memisahkan hubungan keduanya, tapi tidak berhasil.

Bahwa raganya berpisah itu iya, namun rindu, kasih, dan cintanya masih terjalin rapi. Justru cintanya semakin erat setelah raganya tidak saling jumpa. Bahkan ketika Laila sudah dipersunting dan sah dimiliki oleh pria lain, Laila tetap menjaga kesuciannya untuk Majnun.

Ini menjadi bukti bahwa perempuan juga memiliki keteguhan, prinsip, sekaligus konsisten terhadap pilihannya. Selain cerita Laila Majnun, ada juga sufi perempuan. Namanya Rabi’ah Al-Adawiyah. Sufi yang namanya sampai hari ini masih akrab di telinga umat muslim karena kebesarannya ini, meninggal di usia delapan puluh tahun. Tanpa pasangan (suami), dan tanpa keturunan. Namun murid-muridnya tersebar di seluruh penjuru dunia.

Rabi’ah ini saya nilai juga konsisten terhadap pilihannya. Rabi’ah menautkan hatinya pada Sang Pencipta. Apapun yang menjadi kehendak-Nya, Rabi’ah jalani secara sukarela. Segala perilaku Rabi’ah tiap harinya, juga ditujukan kepada Maha Pencipta, bukan manusia. Dan itu Rabi’ah lakukan diiringi dengan keteguhan hati, bukan karena pamrih atau perhitungan.

Bahkan ada doanya yang terkenal, namun jarang dimunajatkan oleh manusia hari ini. Rabi’ah pernah berdoa, ‘Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku’. Doa semacam ini juga wujud dari keteguhan dan konsisten hati Rabi’ah pada pilihannya.

Ia mulai manggut-manggut. Saya menganggap bahwa ia sudah menerima penjelasan tersebut. Namun matanya masih menerawang jauh. Ia cukup lama diam, dan melamun. Saya rasa jawaban yang tadi belum memuaskan dan menentramkan dirinya, walaupun pesan yang saya maksud sudah bisa ditangkapnya.

Saya kembali bercerita tentang keteguhan –konsisten- perempuan. Film Siti yang diperankan oleh Sekar Sari saya pilih sebagai contohnya. Film ini menceritakan tentang kisah seorang perempuan yang harus menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya mengalami kecelakaan di laut, hingga mengakibatkan kelumpuhan. Siti harus menghidupi anak, suami, ibu mertua, dan dirinya sendiri. Tidak hanya itu, lilitan hutang untuk kapal nelayan suaminya juga menjadi tanggungannya.

Di siang hari, Siti berjualan kripik jingking di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Penghasilannya yang tidak seberapa membuat Siti harus mencari sumber pengahasilan lain. Akhirnya di malam hari Siti bekerja di tempat karaoke. Sejak itu juga, suaminya tidak mau diajak untuk berbicara dengan Siti. Hubungan keduanya semakin renggang.

Suatu ketika, tempat karaoke ini dirazia oleh polisi setempat. Sedangkan hutangnya  harus dilunasi dalam tempo waktu tiga hari. Namun Siti beruntung, tempat karaoke yang menjadi sumber penghasilan utamanya tidak tutup selamanya. Di tempat karaoke itu juga, Gatot seorang polisi menaruh rasa pada Siti. Gatot ingin menikahi Siti. Siti juga pernah mengungkapkan ketidakbetahannya dengan perilaku suaminya yang terus menerus diam. Namun sebenarnya Siti tidak ingin pisah dengan suaminya. Di akhir cerita, Siti merasa dikecewakan oleh suaminya.

Siti di film itu perempuan. Tapi perilakunya merawat suaminya yang lumpuh, menjadi tulang punggung keluarga, dan setia pada suami serta keluarganya menjadi wujud konsisten seorang perempuan. Bahwa Siti tidak betah pada diamnya si suami, itu iya. Bahwa Gatot ingin menikahi Siti, itu juga iya. Namun saya rasa jika Siti mau selingkuh dan meninggalkan suaminya, bisa dilakukan ketika suaminya saat terkena lumpuh, atau saat Siti didiamkan oleh suaminya.

Ia kembali manggut-manggut. Kali ini tidak disertai lamunan dan tatapan mata yang menerawang jauh. Di akhir pembicaraan, saya mengatakan bahwa secara tidak langsung ucapannya yang seperti itu tadi telah menyindir ibunya sendiri, dan ibu-ibu di dunia ini.

Begitu. Mungkin teman saya ini menjadi salah satu diantara sekian orang yang masih memandang rendah perempuan. Perempuan masih dipersepsikan dengan serba kurang, sementara pria sebaliknya. Nah persepsi yang seperti itu, kadang tidak didasari pada sifat fanatik, melainkan pada ketidaktahuan memposisikan manusia, atau keterbatasan pengetahuan.

Oleh karena itu, untuk menyatakan ketidaksetujuan, tidak perlu marah berlebihan dan mengumpat kata kotor. Hanya perlu dipatahkan dengan pernyataan-pernyataan dengan tutur bahasa yang sopan. Ya kalau tidak salah, semacam difalsifikasi, seperti katanya Eyang Karl Raimund Popper. Sekian.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Masyarakat biasa, pernah ngadem di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, tapi sekarang berdomisili di Tulungagung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.