Indonesia lahir dan tumbuh dalam ribuan nafas kehidupan budaya. Keberadaan budaya sudah selayaknya karakter bangsa yang bahkan kehadirannya di Indonesia mendahului agama. Namun, apa jadinya bila anda dalam posisi mereka yang masuk dalam kalangan agama minoritas di negeri sendiri? Dan identitas gender anda pun perempuan ?.
Hidup di negeri sendiri, negeri yang menjunjung Bhinneka tunggal ika dan mendasari setiap langkah dengan Pancasila, hilang ketika masyarakatnya terbunuh oleh privilege para mayoritas. Itulah yang dirasakan oleh para penghayat kepercayaan selama bertahun-tahun, terlebih ketika mereka adalah seorang perempuan penghayat.
Berdasar kepada laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan dalam isu spesifik nomor 36.2 (prasyarat pencatatan pernikahan), dalam banyak kasus para perempuan penghayat diwajibkan untuk menjadi anggota suatu organisasi kepercayaan atau kebatinan yang terdaftar di data pemerintah.
Padahal, tidak semua agama leluhur mengenal bentuk organisasi keagamaan yang dimaksudkan negara, juga tidak semua penghayat menjadi bagian dari organisasi yang terdaftar. Konsekuensi yang akan diterima jika mereka tidak mengindahkan ketentuan tersebut, akan berimbas pada nama anak mereka yang akan terstigma seumur hidup sebagai anak haram dan bukan hasil dari pernikahan yang sah. Mengapa regulasi seakan lancip bagi mereka yang hanya ingin mendapatkan hak sebagai warga negara?
Penghayat kepercayaan, sebagai bagian dari agama lokal dengan basis lokalitas juga kesukuan, hidup jauh sebelum Indonesia resmi mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun justru dianggap tiada, bahkan sikap diskriminatif yang dilayangkan kepada mereka seolah-olah lupa untuk disertakan dalam sejarah kejahatan kemanusiaan di Indonesia.
Sebut saja bagaimana pemaksaan busana keagamaan, pelecehan seksual kepada para perempuan penghayat, hingga perampasan hak beragama-berkeyakinan yang berujung penghilangan nyawa, sudah sering dialami oleh para penghayat dari tahun ke tahun.
Sungguh, masyarakat Indonesia sudah miskin dari rasa kemanusiaan. Manusia hari ini dengan mudah merasa superior, hanya dengan parameter identitas mayoritas yang dimilikinya. Ditambah dengan para pemimpin negara yang silih berganti mempolitisasi agama melalui peraturan-peraturan berbau kuasa.
Salah satu fenomena yang terjadi adalah pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga para penghayat. Revisi demi revisi regulasi kian dilakukan oleh pemerintah. Hingga pada November 2017, kolom tersebut resmi boleh untuk diisi dengan kata “kepercayaan”, melalui putusan MK No 97/PUUVIX/2016.
Dinyatakan bahwa kata “agama” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) sebagaimana yang telah diubah UU Nomor 24 tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”, dan pasal 61 ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nyatanya, kehadiran putusan MK tidak serta-merta menghilangkan kekhawatiran dan trauma di benak para penghayat kepercayaan. Publikasi identitas para penghayat kepercayaan, membuka babak baru diskriminasi yang lebih gamblang.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, yakni perihal sulitnya melakukan pencatatan pernikahan. Sejatinya, agama leluhur cenderung berlainan dalam hal fungsional dengan agama mainstream Indonesia. Walaupun keduanya sama-sama memiliki konsep kegaiban, namun syarat kitab suci dan nabi sama sekali tidak dikenal oleh kelompok penghayat kebanyakan.
Puan Hayati: Sebuah Langkah untuk Pemberdayaan
Merasa semakin diinjak di tanah sendiri, hingga disalahkan hanya terlahir sebagai perempuan—sebagaimana faktor kekerasan terhadap perempuan yang menimpa perempuan non-penghayat, menjadikan perempuan penghayat mencoba untuk bangkit dari keterpurukan hak.
Sebagai organisasi di bawah Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI), Puan Hayati pada masa awal perintisan, menyatukan suara untuk sesama perempuan penghayat kepercayaan. Salah satunya dibuktikan dengan bagaimana Puan Hayati melakukan penguatan internalisasi antar perempuan penghayat dengan tujuan agar para perempuan penghayat merasa memiliki kawan dan wadah untuk berkarya juga berdaya.
Negara terlalu lamban untuk mendengar teriakan para perempuan yang mengalami berbagai perilaku tidak manusiawi hanya karena mereka perempuan, apalagi ketika mereka adalah perempuan penghayat kepercayaan.
Oleh karenanya, ketika memasuki usia hampir 3 tahun, Puan Hayati bergerak dalam visi keperempuanan juga kemanusiaan secara umum. Merespon bagaimana kelompok radikal dari lingkup agama maupun kesukuan muncul, dengan prinsip menggoyahkan keutuhan dan karakter bangsa Indonesia.
Puan Hayati juga merasa terpanggil untuk merawat nilai budaya dan spiritual luhur. Begitupun dengan kita, sebagai manusia berakal yang diberi amanah oleh Tuhan untuk tetap menyebarkan kebaikan serta kedamaian di bumi, maka berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya hak setiap jiwa saudara kita tanpa memandang identitas keyakinan, suku, aliran keagamaan, termasuk gender.