Menjelang pemilihan presiden di Amerika Serikat pada November mendatang, Donald Trump sudah mulai melancarkan berbagai cara untuk mendapatkan simpati masyarakat Amerika Serikat. Pada awal tahun 2020 ini misalnya, Trump menyuarakan keberpihakannya terhadap para aktivis anti aborsi di Amerika yang tengah sibuk mendebat kembali kebijakan aborsi yang sudah berlaku hampir setengah abad lampau.
Tindakan Trump ini berhasil membuat para kelompok anti aborsi tersebut untuk memberikan suaranya pada Trump di pemilihan berikutnya, “Kami mendukung Trump sebab ia memilih pro-life (anti aborsi), itu adalah fokus utama kami. Jika lawannya tidak pro-life, maka kami akan memberikan suarauntuk Donald Trump”, ucap Marci, seorang Ibu dari New Hampshire dalam wawancaranya dengan BBC pada bulan Januari 2020.
BBC juga merilis bagaimana ditahun 2016 lalu 81% dari evangelical voters, kelompok yang mendukung aborsi sebagai isu politik terbesar di negara paman Sam itu, mendukung Trump untuk menjadi presiden, beberapa media daring lain seperti New York Times,Time, dan Washington Post juga melaporkan mengenai hal serupa. Namun peraturan negara terhadap rahim perempuan tidak berawal dari isu politik. Bila kita tilik lagi ke belakang, Amerika memiliki riwayat yang panjang terkait pro dan kontra dalam kebijakan aborsi.
Pada 1973, Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan praktek aborsi di negara itu,dan memberi kebebasan pada perempuan untuk memilih keputusan atas tubuh mereka,walau sebelumnya aborsi hanya diperbolehkan dengan satu alasan, yaitu alasan therapeutik atau alasan medis, selebihnya tidak. Namun setelah putusan Mahkamah Agungitu, aborsi kemudian dibenarkan dengan berbagai alasan, sebagaimana banyak negara lain seperti Perancis, Italia, Belanda, Tunisia, Turki, dan Singapura.
Setelah keputusan Mahkamah Agung itu praktik pengguguran janin yang juga diduga menjadi penyebab kematian perempuan justru menekan angka kematian perempuan di negara adidaya itu, sebab dengan adanya pelegalan ini perempuan justru mendapatkan penanganan aborsi yang aman.
Heather D. Boonstra (2006) dari Guttmacher Institute dalam penelitiannya Abortion in Women’s Lives mencatat pada awalnya aborsi menjadi ilegal di Amerika karena hal ini menjadi penyebab kematian banyak perempuan. Itulah mengapa, menurut Boonstra di banyak negara berkembang aborsi menjadi praktik yang terlarang.
Tak hanya di tingkatkematian, bahkan pelarangan negara terhadap perempuan dalam hal ini, menggurkan kandungan, juga berdampak pada kesehatan mental. Dalam jurnal Abortion andMental Health: Evaluating the Evidence, Brenda Major (2009) juga mencatat bahwa selama tiga dekade terakhir ini aborsi dianggap memiliki efek buruk terhadap kesehatan mental perempuan. Bahkan ada anggapan umum bahwa aborsi yang dilegalisasi dapat meningkatkan resiko kematian perempuan.
Kenyataannya, berdasarkan penelitian tersebut sudah 46 tahun legalisasi aborsi semenjak kasus Roe v. Wade membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan dan kesehatan perempuan. Boonstra menemukan bahwa tindakan aborsi di Amerika dilakukan dengan cara yang aman, sehingga cidera dan tingkat kematian akibat aborsi semakin jarang.
Major dalam penelitiannya juga menegaskan bahwa mental perempuan yang melakukan aborsi sama sehatnya dengan mereka yang tidak melakukannya. Semenjak kasus itu pula, aborsi yang dilakukan pada usia kandungan lebih dari tiga bulan berkurang drastis, sembilan dari sepuluh perempuan melakukan aborsi pada waktu yang dianjurkan, tiga bulan pertama kehamilan. Legalisasi aborsi ini juga berdampak dengan meningkatnya penggunaan alat kontrasepsi yang merupakan faktor penting untuk pengendalian kehamilan.
Kebijakan pro dan kontra terhadap aborsi memang kerap terjadi di Amerika. Negara berpenduduk 328 juta jiwa itu, di tahun 1840 di bawah pimpinan Martin Van Buren secara resmi melegalkan aborsi, lalu di awal abad ke-20 aborsi menjadi ilegal, kemudian dengan banyaknya kasus termasuk kasus Roe v. Wade, aborsi kembali menjadi legal, dan hari ini, lewat pidato Donald Trump yang dikutip BBC, “Kami berada di sini dengan alasan yang sederhana: untuk membela hak setiap anak,baik yang sudah lahir ataupun yang belum untuk memenuhi potensi yang diberikan Tuhan padanya”, menyatakan posisi Trump yang pro-life dan membuat legalisasi aborsi kembali dipertanyakan.
New York Times, John Irving dalam The Long, Cruel History of the Anti-Abortion Crusade di tahun 2019 melaporkan bahwa mereka yang melawan aborsi tidak benar-benar peduli dengan apa yang terjadi pada anak-anak yang keberadaannya tidak diinginkan itu, dan mereka juga tidak pernah peduli terhadap kondisi siIbu.
Hal ini dikuatkan oleh temuan Marshall Medoff (2013) dalam jurnalnya Pro-Choice Versus Pro-Life: The Relationship Between State Abortion Policy and ChildWell-Being in the United States, bahwa mereka yang menegakkan hukum untuk melarang aborsi, adalah orang yang sama yang juga mengabaikan kebutuhan dan kesejahteraan bagi anak-anak tersebut.
— Bersambung