Senin, Oktober 14, 2024

Perempuan di Mata Media

Rustiningsih Dian Puspitasari
Rustiningsih Dian Puspitasari
Mass and Digital Communication Student Presiden BEM FISIP UAJY 2020, Pimpinan Redaksi Teras Pers FISIP UAJY 2019, Koordinator Jurnalistik Mata Kita Yogyakarta 2018, Student Pers of Kumparan 2017

Tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan masih mendapatkan perlakuan tidak adil dalam pemberitaan di media. Fenomena bias gender masih umum dilakukan media-media di Indonesia. Tak jarang, mereka juga memanfaatkan titik tertentu pada perempuan untuk dijadikan komoditas dan bahan penggiringan opini publik.

Sampai sejauh ini, kita bisa melihat bagaimana ketidakadilan itu semakin dapat kita rasakan ketika media sedang memberitakan kasus kekerasan seksual. Media cenderung menempatkan perempuan sebagai korban yang tersakiti dan tidak berhak mendapatkan perlindungan. Media seolah tidak mampu memberikan rasa aman bagi perempuan.

Beberapa tindakan media yang tidak adil kepada perempuan diantaranya adalah dengan menyebutkan nama korban secara terang-terangan. Padahal, dalam Kode Etik Jurnalistik, wartawan harus bisa menjamin kerahasiaan data-data pribadi korban. Bahkan, wartawan harus menyamarkan nama korban dengan inisial, bukan menyebutkan secara gamblang.

Media juga acapkali menggunakan kata-kata sifat yang sebenarnya tidak penting untuk dicantumkan. Contohnya saja “perempuan cantik”, “wanita seksi”, dan lain sebagainya. Hal tersebut justru menimbulkan persepsi publik bahwa korban kekerasan seksual adalah mereka yang berparas cantik dan bertubuh seksi. Nyatanya, kekerasan seksual dapat menjerat siapa saja.

Selain itu, media juga sering menyertakan foto korban tanpa disensor terlebih dahulu. Ironisnya, ditemukan juga beberapa berita yang menyantumkan media sosial milik korban. Hal tersebut justru semakin menekan posisi korban kekerasan seksual yang didominasi oleh perempuan.

Praktik Seksisme dan Diskriminasi Media

Ada beberapa judul pemberitaan seksis dan diskriminatif yang penulis temukan. Rata-rata, judul pemberitaan menggunakan kalimat “gadis berparas ayu”, “bintang cantik”, “curhat pilu cewek”, “ABG digilir”, “digagahi”, dan lain sebagainya.

Judul pemberitaan seperti itu semakin menunjukkan betapa seksisnya media massa di Indonesia. Secara tidak langsung, media mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan komersial. Bahkan, media juga turut andil dalam membingkai perempuan sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya.

Tidak bisa dipungkiri, cukup sulit bagi media untuk memberitakan tentang kasus kekerasan seksual yang menempatkan perempuan menjadi korban. Perlu adanya jurnalisme empati dan jurnalisme berperspektif gender yang harus dipraktikkan oleh media dalam memberitakan kasus tersebut.

Hingga saat ini, media masih tidak bisa memberikan jaminan perlindungan dan ruang aman bagi kaum perempuan, terlebih mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka terpaksa harus menerima kenyataan pahit bahwa secara tidak langsung mereka sedang memikul beban ganda. Selain mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat sekitar, korban kekerasan seksual juga masih dibayang-bayangi oleh ketidakadilan pemberitaan di media massa.

Tindak Pelanggaran

Sampai saat ini, masih banyak wartawan dan media yang masih seksis dan diskriminatif terhadap perempuan. Padahal, media memiliki power yang cukup besar untuk menggiring opini publik. Apabila wartawan menyebutkan identitas korban secara terang-terangan, secara tidak langsung media tersebut sudah merusak nama baik korban, bahkan masa depan korban.

Tindakan tersebut tentu melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila…”. Apapun status korban, baik orang biasa maupun public figure, wartawan harus tetap melindungi identitas korban.

Aliansi Jurnalis Independen (2012) mengklaim bahwa media memiliki tanggung jawab atas perlindungan korban kekerasan seksual. Seharusnya, berita-berita mengenai kejahatan seksual diorientasikan pada upaya penyelamatan korban untuk mengurangi jumlah kasus dan memberikan upaya pencegahan tindak kejahatan seksual lain.

Pentingnya Jurnalisme Perspektif Gender

Senada dengan yang diungkapkan Latief dan Azis (2019, h. 167) bahwa persoalan media massa yang tidak sensitif gender memang cukup miris. Media massa masih memberi tempat bagi praktik legitimasi bias gender, masih sedikit kaum perempuan yang menjadi pekerja media, kepentingan ekonomi politik yang membuat media tidak sensitif terhadap gender, regulasi media tidak sensitif gender, penggunaan bahasa media yang seksis, serta persoalan media massa yang memiliki sensitivitas gender untuk menentukan isu perempuan.

Oleh karena itu, dengan meningkatkan praktik jurnalisme berperspektif gender, maka media tersebut mampu menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan. Isu-isu yang dibuat oleh jurnalisme berperspektif gender tidak hanya memotret perempuan sebagai korban dan peran kelas kedua, melainkan memberi ruang bagi eksistensi perempuan yang memiliki persamaan hak dan kewajiban dalam segala hal.

Dikutip dalam Latief dan Azis (2019, h. 173), ada beberapa tahapan untuk menciptakan jurnalisme berperspektif gender, diantaranya:

Aspek kognitif mengenai kesadaran gender seorang jurnalis (individual maupun kolektif) sehingga mampu melahirkan visi, misi, serta kebijakan redaksional berperspektif gender

Institusi media massa yang membentuk pola kerja berperspektif gender. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menunjukkan eksistensi diri, baik dalam struktur organisasi, rekruitmen, promosi, jabatan, serta penugasan dalam peliputan

Teknik jurnalistik yang berkaitan dengan penulisan dan reportase dalam kebijakan redaksional media harus berperspektif gender

Dengan meningkatkan sensitivitas gender dalam pemberitaan yang dilakukan media. Maka, media tersebut dapat meminimalisir tindak diskriminasi terhadap perempuan, mendukung kesetaraan gender, serta memihak dan memberdayakan perempuan.

Sumber:

Aliansi Jurnalis Independen. (2012). Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual. Diakses pada 3 Februari 2021, https://aji.or.id/read/alert-id/48/etika-perlindungan-privasi-dalam-peliputan-kejahat/

Latief, Rahmawati & Azis, Faradhillah. (2019). Penerapan Jurnalisme Berperspektif Gender dalam Berita Prostitusi Online Vanessa Angel di Detik.com. Jurnalisa, 5(2), 166-180

Rustiningsih Dian Puspitasari
Rustiningsih Dian Puspitasari
Mass and Digital Communication Student Presiden BEM FISIP UAJY 2020, Pimpinan Redaksi Teras Pers FISIP UAJY 2019, Koordinator Jurnalistik Mata Kita Yogyakarta 2018, Student Pers of Kumparan 2017
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.