Seperti yang telah kita semua ketahui, bahasa ialah instrumen penting dalam berkomunikasi. Bahasa juga merupakan bagian atau unsur dari sebuah kebudayaan. Bisa dibilang, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat mengekspresikan konsep budaya yang relevan dengan masyarakat itu. Masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya bisa kita sebut sebagai masyarakat bahasa.
Masyarakat bahasa sendiri adalah kelompok yang memiliki kesamaan, terutama kesamaan dalam hal bahasa atau variasi bahasa. Variasi bahasa dipengaruhi oleh berbagai perbedaan atau bahasa kerennya, heterogenitas yang ada di dalam masyarakat. Heterogenitas itu terdiri dari beberapa aspek seperti; kelas sosial, pekerjaan, tingkat pendidikan, usia, agama, ras, dan gender.
Bicara soal bahasa, ternyata bahasa punya kaitan yang erat dengan peran gender yang ada di masyarakat. Robin Lakoff menyebutkan, bahwa ternyata perempuan bisa mengalami diskriminasi bahasa pada dua hal, pertama pada bagaimana cara mereka diajari menggunakan untuk menggunakan bahasa, lalu kedua dalam hal bagaimana pada umumnya bahasa memperlakukan perempuan itu sendiri. Dalam menggunakan bahasa, kaum laki-laki dan kaum perempuan dipersepsi menggunakan cara berbahasa yang berbeda.
Berbagai perbedaan tersebut seringkali menyudutkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih lemah dan subordinat, sedangkan kaum laki-laki ditempatkan dalam posisi yang lebih kuat dan lebih dominan.
Lakoff juga mengatakan, kedua hal yang mendiskriminasi perempuan dalam hal berbahasa tadi, bisa kita lihat pada posisi perempuan yang sering di degradasikan seperti menempatkan perempuan sebagai objek seksual atau pelayan, misalnya.
Dari berbagai studi yang dilakukan oleh peneliti mengenai relasi antara bahasa dan gender, terdapat adanya kesamaan atau kemiripan dari hasil penelitian mereka. Hasil penelitian itu dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok masalah: (1) Masalah penggunaan bahasa atau fungsi bahasa.
Ditemukan bahwa perempuan pada umumnya lebih peka dengan apa yang diucapkannya. (2) Masalah yang berkaitan dengan hubungan keakraban antara masing-masing pembicara. (3) Masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering mendominasi dan menginterupsi dalam pembicaraan.
Hal itu terjadi terutama ketika kekuasaan dan status perlu untuk ditonjolkan. (4) Masalah yang berhubungan dengan status. Ditemukan bahwa perempuan cenderung lebih sering menggunakan bahasa baku jika dibandingkan dengan laki-laki dalam konteks sosial yang sama. Perempuan lebih sering menggunakan bahasa baku tidak lain ialah untuk menaikkan status sosialnya.
Di dalam bahasa Indonesia sendiri, beberapa ungkapan menunjukkan seakan-akan perempuan ditakdirkan menjadi makhluk yang pasif dan seringkali diposisikan sebagai penerima.
Sebaliknya, laki-laki lebih sering diposisikan sebagai makhluk yang aktif. Bahkan, penggunaan kata wanita sendiri sebetulnya sudah merupakan representasi budaya patriarki di Indonesia.
Kata wanita diyakini berasal dari bahasa Sansekerta, dengan kata dasar wan yang memiliki arti nafsu, sedangkan kata wanita memiliki arti yang dinafsui atau sebagai objek seks. Kemudian dalam bahasa Jawa (Jarwa Dosok), kata wanita memiliki arti wani ditata yang artinya berani ditata.
Beberapa kosa kata dalam bahasa Indonesia juga memposisikan perempuan sebagai korban dan disalahkan, sebaliknya, laki-laki sering diabaikan kesalahannya. Misalnya Pekerja Seks Komersial (PSK) yang sering disebut sebagai wanita panggilan, namun kita hampir tidak pernah mendengar istilah pria atau laki-laki pemanggil. Sama halnya ketika keperawanan seorang perempuan sangat sering dipermasalahkan oleh lingkungan sosial daripada keperjakaan laki-laki.
Kita juga lebih sering mendengar istilah perempuan rusak karena pernah melakukan hubungan seksual dan dianggap nakal. Sebaliknya, kita hampir tidak pernah mendengar istilah laki-laki rusak karena melakukan hubungan seksual. Laki-laki yang nakal pun dianggap biasa dan lebih dapat diterima oleh lingkungan sosial daripada perempuan yang nakal.
Di dalam bahasa Indonesia sendiri, kata makian seperti “pelakor” (perebut laki orang) juga menandakan adanya budaya patriarki yang terbentuk. Di dalam hal itu perempuan di tempatkan pada posisi yang rendah, dipojokkan, dan disalahkan karena merebut pasangan perempuan lain. Hal itu tentu saja salah, karena yang menjalani hubungan kan dua-duanya, pihak laki-laki dan pihak perempuan. Jadi, yang seharusnya salah adalah dua-duanya, bukan hanya pihak perempuan saja.
Makian untuk perempuan yang bermakna negatif juga sangat banyak sebutanya, seperti jalang, pelacur, dan gundik yang memiliki arti hampir sama di KBBI, yaitu wanita tunasusila. Sedangkan makian untuk laki-laki dalam padanannya hanya ada satu yang paling terkenal, yaitu gigolo yang memiliki arti laki-laki bayaran.
Dari berbagai contoh itu saja, bisa kita lihat bahwa pada realitasnya, laki-laki dapat disebut sebagai tokoh pembentuk bahasa. Selain dari penempatan perempuan dalam posisi yang inferior hingga selalu disalahkan/disudutkan, makian yang digunakan dalam berbagai bahasa juga seringkali menjadikan perempuan sebagai objek. Namun, hal yang menyedihkan adalah tidak jarang makian yang merendahkan posisi perempuan sering digunakan oleh perempuan itu sendiri untuk memaki perempuan lain.
Penempatan posisi laki-laki dan perempuan dalam hal bahasa ini tidak terlepas dari perbedaan peran sosial keduanya. Lingkungan masyarakat menempatkan perbedaan itu sehingga mengharapkan berbagai pola perilaku yang berbeda pula dari keduanya. Bahasa mencerminkan fakta sosial itu.
Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak mereproduksi budaya patriarkis tersebut, tidak memproduksi bahasa baru yang bersifat patriarkis, serta menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama dalam bahasa.
Sumber:
Fakih, M. (2006). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handayani, C. S., & Novianto, A. (2011). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
Hijriyah, U. (n.d.). Bahasa dan Gender. Media Neliti, 1-7.
Jupriono, D. (2010). Selayang Pandang Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Untag-Sby, 33-38.
Kuntjara, E. (2003). Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: Gunung Mulia.
Lakoff, R. T. (2004). Language and Women’s Place. New York: Oxford University Press.
Wisnu, P. A. (2012). Bahasa dan Gender. Lite, 15-19.