Berita tentang perdagangan karbon akhir-akhir ini semakin marak, bukan saja di tingkat nasional, tetapi juga internasional. Berbagai isu dan spekulasi kemudian berkembang, dan hanya sedikit yang sesuai dengan fakta.
Selain itu, apa sebenarnya kehilangan karbon (carbon loss) dan bagaimana penerapannya? Bagaimana cara kerja target pengurangan emisi? Perdagangan karbon adalah salah satu kegiatan yang diimplementasikan dari strategi penetapan harga karbon (carbon pricing)—strategi yang diindonesiakan menjadi nilai ekonomi karbon, yang berarti memberi harga pada kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Jika total emisi 10 ton CO2 bernilai Rp1 juta, maka biaya emisi kumulatif per ton CO2 adalah Rp100 ribu. Apabila ada pihak lain yang ingin melakukan klaim atau membeli hak atas pengurangan emisi tersebut, maka terbentuklah harga, dan penjual biasanya menjual di atas biaya pokok pengurangan emisi sebesar Rp100 ribu tersebut.
Pengetahuan akan biaya pengurangan emisi ini sangat penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan dan mencapai target penurunan emisi nasional.
Kegiatan yang digolongkan sebagai perdagangan karbon antara lain kredit karbon (carbon crediting) dan sistem batas dan perdagangan (cap and trade) atau dikenal dengan perdagangan emisi (emission trading). Kredit karbon adalah proses pemindahan informasi tentang pengurang emisi yang telah diverifikasi untuk tujuan memperoleh kredit karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi 1 ton CO2. Penurunan emisi adalah selisih antara skenario emisi tanpa adanya kegiatan pengurangan emisi (baseline) dengan emisi aktual setelah adanya proyek.
Penerapan kredit karbon di Indonesia sudah dilakukan sejak 2007 melalui proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. CDM memungkinkan pengusaha Indonesia untuk membangun proyek rendah emisi yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara maju.
Kegiatan ini sangat marak hingga tahun 2012, saat berakhirnya periode pertama Protokol Kyoto dan terjadinya kelebihan pasokan kredit karbon yang dilakukan oleh China hingga menyebabkan harga jatuh.
Di Indonesia, banyak jenis kredit karbon lain yang dikembangkan, seperti Standar Karbon Terverifikasi (Verified Carbon Standard/VCS), Standar Emas (Gold Standard), Plan Vivo, serta beberapa lainnya, termasuk kerja sama bilateral Indonesia-Jepang yang bernama Mekanisme Kredit Bersama (Joint Crediting Mechanism/JCM), dan inisiatif baru pemerintah dengan nama Pengurangan Emisi Bersertifikat Indonesia (Indonesia Certified Emission Reduction/ICER).
Dalam hal ini, banyak pihak yang ingin berpartisipasi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dapat terlibat. Sementara itu, sistem batas dan perdagangan atau perdagangan emisi adalah pembatasan emisi gas rumah kaca pada satu entitas tertentu, bisa di tingkat instalasi atau organisasi. Jika Kementerian ESDM gagal menerapkan metode ini dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka sistem batas dan perdagangan akan diterapkan.
Di Indonesia, mekanisme ini diimplementasikan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas di atas 100 MW. Batas emisi diberikan dalam bentuk jumlah emisi CO2 yang diizinkan untuk membangkitkan 1 MWh. Diharapkan akan terjadi transaksi jual beli hak emisi atau kuota emisi antara PLTU yang melebihi batas dengan PLTU yang emisinya berada di bawah batas.
Lebih jauh, akan dibuka pula kemungkinan untuk membeli kredit karbon dari pembangkit energi terbarukan yang pengurangan emisinya sudah tersertifikasi, misalnya oleh Pengurangan Emisi Bersertifikat Indonesia (ICER) atau Standar Karbon Terverifikasi (VCS).
Artinya, selain terjadi jual beli kuota emisi, akan terjadi juga jual beli kredit karbon dari pengembangan energi bersih. PLTU akan menjadi lebih efisien, sementara energi terbarukan akan ikut berkembang.
Sistem batas dan perdagangan diterapkan oleh kurang dari 50 negara di dunia dan menggunakan metode yang sesuai dengan populasi. Pasar terbesar adalah Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (European Union Emission Trading Scheme/EU-ETS) yang diikuti oleh 31 negara. Selain itu, negara-negara seperti China, Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Kazakhstan menerapkannya baik secara nasional maupun di tingkat provinsi.
Mirip dengan Indonesia, Amerika Serikat justru menerapkannya untuk sektor pembangkitan listrik di seluruh negeri. Indonesia juga bukan negara pertama di ASEAN yang mengimplementasikan sistem batas dan perdagangan. Sejak 2016, Thailand telah sukses menerapkannya secara sukarela di sektor industrinya.
Penetapan harga karbon (carbon pricing) tidak hanya mencakup perdagangan karbon. Ada juga metode lain dalam strategi ini, salah satunya adalah pajak karbon. Pajak atau cukai karbon merupakan model yang biasanya diterapkan dalam suatu wilayah hukum tertentu, bisa berupa negara, wilayah, atau sektor tertentu. Semua peserta atau organisasi yang berada dalam wilayah atau sektor tersebut dikenai pajak dengan jumlah dan batasan yang ditentukan oleh pembuat kebijakan.
Penetapan harga karbon juga memungkinkan pemegang otoritas untuk membuat perencanaan yang lebih baik dalam pengurangan emisi, sekaligus membuka peluang pendanaan dari sektor non-pemerintah untuk ikut berpartisipasi.
Banyak pihak yang dapat mendanai kegiatan pengurangan emisi tanpa harus melakukan sendiri kegiatan fisiknya, misalnya membangun pembangkit energi terbarukan atau melestarikan hutan. Mereka cukup melakukan pembayaran atas hasil pengurangan emisi tersebut.
Faktor paling penting dalam penerapan penetapan harga karbon sebagai cara menstabilkan sektor swasta adalah faktor pembiayaan, yang menjadi aspek utama.
Dengan melakukan berbagai pendekatan dan strategi, baik yang berbasis pasar maupun non-pasar, pemerintah Indonesia harus mampu bukan hanya menetapkan target, tetapi juga mengimplementasikan penurunan emisi secara akuntabel, permanen, dan transparan.
Ke depan, juga harus dilakukan integrasi antara berbagai mekanisme dan kegiatan yang dilakukan di tingkat domestik maupun internasional.
Keterhubungan dan integrasi kegiatan emisi berbasis pasar yang dilakukan di dalam negeri, seperti sistem batas dan perdagangan di bawah Kementerian ESDM, serta berbagai mekanisme kredit karbon internasional, dapat terjadi jika standar yang digunakan memiliki tingkat yang setara.
Dengan demikian, perdagangan karbon di era Perjanjian Paris (Paris Agreement) tidak hanya dapat dilakukan di tingkat domestik tetapi juga secara internasional antar negara dan wilayah.
Sebagai regulator, kewajiban pemerintah adalah memastikan bahwa kebijakan terkait emisi diimplementasikan sejalan dengan kebijakan ekonomi. Dan seharusnya Indonesia bisa melakukannya, karena banyak negara lain yang telah berhasil mengimplementasikannya.