Sabtu, April 27, 2024

Karbon Biru untuk Pemimpin Baru

Muhammad Yusuf Awaluddin
Muhammad Yusuf Awaluddin
Pengajar di Departemen Kelautan Univeritas Padjadjaran

Sebentar lagi, warga Indonesia yang memiliki hak pilih akan mengambil bagian dalam sebuah momen penting: pemilihan umum yang akan menentukan arah masa depan negara.

Dalam rentetan acara menuju pergantian kepemimpinan nasional, Komisi Pemilihan Umum mengadakan debat calon presiden dan wakil presiden total sebanyak lima kali. Berbagai tema yang menarik disajikan mulai dari pertahanan dan keamanan, kesejahteraan hingga lingkungan hidup.

Saya coba melihat kembali pemaparan visi misi terkhusus bidang lingkungan hidup. Saat itu yang terjadi adalah debat antara calon wakil presiden. Diskusi hangat memang terjadi di arena debat tersebut. Namun ada satu aspek krusial yang kurang mendapatkan sorotan: karbon biru. Perannya dalam masa depan Indonesia tidak boleh diabaikan mengingat posisi kita sebagai negara kepulauan dengan wilayah pesisir yang luas.

Memang, ketika kita membahas lingkungan hidup, isu perubahan iklim yang sedang berlangsung tidak dapat diabaikan. Perubahan iklim global adalah tantangan mendesak yang kita hadapi saat ini.

Pemanasan global telah memicu pencairan es di kutub bumi. Laporan badan Ilmiah Amerika Serikat dalam bidang kondisi lautan dan atmosfer (NOAA) pada Desember 2023 menyebutkan bahwa musim panas di tahun yang sama merupakan yang terpanas dalam sejarah modern di Kutub Utara. Dengan kenaikan suhu lebih dari 1°C dari rata-rata suhu permukaan antara tahun 1991 dan 2020, efek langsung terlihat pada tutupan es Kutub Utara yang mengalami penurunan drastis. Es yang meleleh ini berkontribusi pada ekspansi massa air laut dan kenaikan permukaan laut, yang berpotensi mengancam kehidupan di wilayah pesisir serta ekosistem laut secara keseluruhan.

Tentunya, wilayah terdampak ada di wilayah pesisir. Wilayah ini menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim, termasuk diantaranya adalah kenaikan permukaan laut tersebut. Bahkan, untuk negara-negara kepulauan, ancaman tersebut lebih besar lagi, bisa menenggelamkan pulau-pulau kecil mereka.

Sebut saja negara-negara kepulauan di Pasifik seperti Fiji, Tuvalu dan Vanuatu adalah beberapa contoh negara yang sangat rentan. Wilayah Indonesia pun sama, pulau-pulau kecil di utara Jakarta misalnya, sangat rentan terhadap ancaman ini. Belum lagi pulau-pulau kecil terdepan Indonesia lainnya yang mengalami ancaman serupa. Naiknya permukaan laut tentunya akan menurunkan ukuran area tanah atau pulau dan menenggelamkannya dalam skala kenaikan permukaan laut yang ekstrim.

Selain itu, kenaikan permukaan air turut tersebut turut mengancam kehidupan dan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan memiliki ribuan pulau,ada di garda terdepan untuk menghadapinya. Oleh karena itu ekosistem pesisir, khususnya yang dapat menyerap karbon, memiliki solusi penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Ekosistem pesisir seperti hutan bakau (mangrove) dan lamun, berperan vital dalam menyerap dan menyimpan karbon. Kedua ekosistem tersebut bertindak sebagai penyimpan dan penyerap karbon, dengan kemampuan unik untuk menyerap karbon dioksida lebih secara efisien.

Dalam temuannya di tahun 2020, para peneliti dari Universitas Tanjungpura menyebutkan dalam 10 tahun hutan mangrove di Teluk Kemuning, Kalimantan Selatan mampu menyimpan karbon sebesar 13,7 juta ton (Dinilhuda dkk., 2020). Jumlah tersebut membuat hutan mangrove menjadi aktor kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Tidak hanya mampu mengurangi emisi karbon di atmosfer, tetapi juga mengurangi dampak dari pemanasan global. Dengan demikian, pelestarian dan pemulihan ekosistem pesisir tidak hanya penting bagi keseimbangan lingkungan, tetapi juga penting dalam membantu mengurangi dampak pemanasan global.

Namun, ekosistem ini menghadapi ancaman yang serius. Kerusakan hutan mangrove, misalnya, akibat penggundulan hutan dan konversi lahan, akibatnya tidak hanya mengurangi kapasitas penyerapan karbon tetapi juga meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam.

Konversi mangrove menjadi tambak, infrastruktur atau perkebunan adalah penyebab utama penurunan ekosistem ini. Belum lagi penebangan atau pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat yang banyak memanfaatkannya dengan tidak bertanggung jawab. Alhasil, ketika ekosistem pesisir tersebut rusak atau bahkan hilang, maka akan turut menghilangkan kemampuan penyerapan karbon serta meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam.

Oleh karena itu, diperlukan upaya konservasi dan restorasi yang serius untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas penyerapan karbon dari ekosistem pesisir ini. Ini termasuk perlindungan dari konversi lahan dan kerusakan, serta inisiatif pemulihan ekosistem. Tidak hanya pemerintah dengan kebijakannya yang mendukung, keterlibatan masyarakat juga kunci suksesnya upaya ini. Upaya penanaman kembali hutan mangrove bisa menjadi inisiasi yang bisa melibatkan berbagai kalangan, termasuk masyarakat industri.

Dalam menghadapi perubahan iklim, perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir bukan hanya kebutuhan lingkungan tetapi juga kebutuhan ekonomi dan sosial. Kita semua memiliki peran untuk mendukung upaya ini, baik sebagai individu, komunitas, maupun pemerintah. Di tahun politik ini, penting bagi kita untuk tetap fokus pada upaya penyelamatan ‘paru-paru biru’ kita demi masa depan bersama.

Harapannya, siapapun yang menjadi pemenang dalam kontestasi nanti, harus ikut serta dengan kebijakan yang mendukung upaya pelestarian dan mitigasi perubahan iklim global.

Muhammad Yusuf Awaluddin
Muhammad Yusuf Awaluddin
Pengajar di Departemen Kelautan Univeritas Padjadjaran
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.