Di era media sosial seperti sekarang, membentuk opini publik di dunia maya telah menjadi fenomena yang cukup serius. Ini bisa kita lihat misalnya, melalui perang tagar yang seringkali menjadi cara-cara yang cukup jitu dalam menggiring para pengguna media sosial untuk fokus pada satu opini.
Inilah satu kenyataan aktual yang harus kita hadapi bersama-sama. Sebab siapapun dapat berpartisipasi secara aktif sebagai pengguna media sosial. Terlepas dari dampak baik dan buruknya, fakta membuktikan bahwa ada hal-hal yang terasa mengganjal terkait perang tagar ini.
Misalnya, prestasi, jika ini dianggap sebuah pencapaian, dapat dengan mudah diukur melalui seberapa banyak sebuah statemen di sukai dan disebarluaskan. Tanda pagar seakan menjadi azimat yang ampuh, sebab jika sebuah pesan dapat disebarkan secara luas, lama-kelamaan ia akan dipersepsikan sebagai opini yang lalu membentuk kebenaran.
Dua Kubu Saling Serang
Jika ini dikaitkan dengan perang antara kubu Presiden dan oposisi, maka harus diakui bahwa para penentang Presiden telah banyak memanen pundi-pundi popularitas melalui tanda pagar. Sebagai contoh, banyak serangan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap kontroversial, pada akhirnya digiring ke tagar ganti presiden.
Tujuannya jelas, hashtag #2019GantiPresiden dimaksudkan agar Jokowi tidak terpilih lagi di pemilu tahun depan. Tak hanya itu, hashtag tersebut juga dibuatkan lagu dan yang paling fenomenal, adanya produksi kaus secara besar-besaran yang dijual di mana-mana.
Lembaga Drone Emprit, sebagai pengukur dan penganalisis media sosial, menyebutkan bahwa respons pendukung gerakan ini sudah mencapai angka 37 ribu cuitan. Para pendukung kubu Jokowi pun tak kehilangan akal, mereka mengimbanginya dengan buat tagar #2019Tetap Presiden, #DiaSibukKerja, dan belakangan ini muncul #2019NantiPresiden.
Bagi Presiden, tagar ini harus dianggap sebagai urusan yang penting dan perlu ditanggapi. Sialnya, ketika Presiden berpidato di hadapan pendukungnya di Bogor, Jawa Barat, presiden hanya bisa diganti oleh rakyat, bukan kaus #2019GantiPresiden. Bukannya malah menjadi penyeimbang, justru pidato itu melambungkan popularitas tagar kubu penentang hingga tiga kali lipat.
Paling tidak, menjelang pemilihan umum tahun mendatang, urusan tanda pagar ini menjadi viral dan rame diperbincangkan, mulai dari pengguna media sosial yang aktif, sampai lapisan masyarakat secara luas. Perang tagar yang semula berada di lingkup media sosial mulai meluas hingga ke dunia nyata, kampanye jenis ini membuat para pendukung Presiden cukup bingung, meski masih diiringii dengan sikap optimis.
Kita menjadi tahu bahwa ada semacam pendangkalan di perang tagar ini. Pertarungan politik, baik oleh kubu pemerintah maupun penentangnya, dilakukan melalui perangkat yang tidak alami dan cenderung dibuat-buat. Ini menjadi jenis kampanye signifikan yang mungkin tak pernah terpikirkan lima tahun yang lalu.
Fenomena tagar ini membuktikan bahwa ternyata para politikus penentang Presiden telah mengambil jalan pintas. Bukannya mengkritik kebijakan pemerintah dengan argumentasi yang kuat dan logis, justru mereka menyederhanakan masalah melalui tanda pagar. Misalnya, ketika pemerintah menyerukan agar DPR merevisi Undang-Undang Antiterorisme, banyak partai penentang pemerintah tampak tidak peduli dan masa bodo.
Dalam menyikapi masifnya kampanye tagar oleh kubu penentang, pemerintah juga mengambil jalan serupa, yakni memerangi hampir semua tagar dengan tagar pula, yang tampaknya juga dilandasi oleh suatu keinginan yang kuat untuk berupaya memelihara popularitas kekuasaannya.
Dan yang lebih terasa ganjil, pemerintah tampaknya agak emosional yang terlihat tatkala memanfaatkan aparat negara untuk memenangi pertarungan, seperti dalam kejadian razia yang dilakukan oleh Satpol PP. Ini bisa dilihat misalnya, adanya sejumlah pejabat daerah yang diketahui memerintahkan Satpol PP merazia penjual kaus #2019GantiPresiden, yang berlanjut pelarangan hashtag itu dengan alasan mengganggu ketertiban.
Di Jakarta, kita juga masih sangat ingat bagaimana seorang ibu-ibu yang memakai kaus tagar pro-Presiden dibully habis-habisan oleh para penentang Presiden pada hari bebas kendaraan. Beberapa rentetan fenomena perang tagar ini, baik yang terjadi di media sosial maupun yang di dunia nyata, menunjukkan sikap berpolitik kita yang tidak sehat, bahkan mengalami pendangkalan serius.
Jalan Tengah
Perang tagar ini memang sulit dihindari, mengingat penggunaan media sosial yang begitu masif. Maka sudah seharusnya disikapi secara bijak dan hati-hati, khususnya bagi kedua belah pihak, yakni antara yang pro-Presiden (pemerintah) dan kubu penentangnya. Juga, para pejabat sepatutnya menahan diri agar tidak memanfaatkan aparat pemerintahan untuk perang politik, artinya mereka harus menyadari posisinya sebagai pemimpin rakyat.
Setiap pejabat harus lebih mengedepankan kualitas kinerjanya. Tidak boleh mencampuradukkan antara bekerja di pemerintahan dengan kerja pemenangan pemilu. Hal-hal semacam ini haruslah dihindari, mengingat pejabat adalah publik figur sekaligus penanggungjawab penuh kinerja di pemerintahan. Mereka tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan demi tujuan-tujuan yang diinginkan.
Situasi politik yang sehat memang harus diciptakan, jangan menunggu datangnya kebisingan-kebisingan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, harus lebih aktif menciptakan suasana politik yang lebih kondusif, yakni sesuatu yang dapat mencerdaskan masyarakat secara luas, bukan dengan cara perang tagar.
Kegaduhan tak harus dilawan dengan kegaduhan pula, maka menjadi penting bagi kita semua untuk mengambil jalan lewat wacana publik yang mencerahkan dan mencerdaskan. Melalui ini kinerja pemerintah akan diuji, sudah berhasilkah atau sebaliknya.