Jumat, Maret 29, 2024

Perang Pesantren di Era Modernitas

Muhammad Najib Murobbi
Muhammad Najib Murobbi
Alumni Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Ma'had Aly Krapyak Yogyakarta & Pascasarjana Universitas Indonesia

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Sekitar lebih dari satu abad pondok pesantren berdiri di tanah Nusantara. Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren menghadirkan berbagai tradisi yang menjadi ciri khas pendidikan pondok pesantren. Jurnalistik menjadi salah satu ciri khas pondok pesantren. Pada era keemasan jauh sebelum pondok pesantren ada, tradisi tulis menulis atau jurnalistik sudah menjadi ladang dakwah para Ulama Nusantara bahkan Ulama di negara lain. Ulama terkemuka seperti Imam Ghozali (1058 M – 1111 M) dengan karyanya yang begitu fenomenal Ihya U’lumuddin, Bidayatul Hidayah, dan puluhan kitab lainnya. Hadhratus Syeikh K.H Hasyim Asy’ari (1875 M – 1947 M) dengan karyanya Adab al-alim wal Muta’allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa maa Ta’limihi, Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama’ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa’ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ah, dan puluhan karya lainnya. Badi’uzzaman Sa’id Nursi (1878 M – 1960) pada saat di penjara bukan menjadi permasalahan primer untuk terus menulis, menebarkan keadilan hingga sampai pada kitab fenomenal di Turki Risale-I Nur (El Shirazy, 2016). Menurut Zuhairi Misrawi salah seorang intelektual muda NU, tradisi pesantren adalah tradisi jurnalistik karena setiap yang ingin menjadi seorang Ulama haruslah memiliki karya atau tulisan.   

Memasuki era modernitas pondok pesantren lazimnya ikut maju dalam mengembangkan visi dakwahnya melalui pendidikan jurnalistik. Tidak tenggelam dalam alur kehidupan masa lampau, pada masa kolonial kaum sarungan dianggap sebagai orang yang buta akan modernitas, bahkan tertinggal jauh. Argumentasi seperti itulah yang harus di hilangkan pada zaman ini, bukan berarti meninggalkan ciri khas pesantren tradisional tetapi menambahkan visi dakwah jurnalistik dalam tulis menulis. Hal ini sepadan dengan kaidah Ushul Fiqh ” al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik). Jika melihat alur kehidupan modernitas, hampir semuanya terikat dan tarkait dengan jurnalistik tertutama tulis menulis. Sosial media sudah bukan menjadi tempatnya informasi, melainkan seperti sudah menjadi ladang jual beli untuk sebuah kelompok yang ingin menguasai. Haq dan bathil sudah tercampur adukan dalam ranah kehidupan. Dampak terhadap masyarakat tersebarnya rasa kebencian antara satu sama lain dan hilangnya rasa persatuan sesama golongan.

Langkah Komprehensif Pesantren

Pondok pesantren sepatutnya harus berani mengambil langkah dakwah di era serba modernitas. Teknologi yang kian terus maju, tetapi kurangnya rasa kesadaran berpikiran maju bagi beberapa pesantren. Akibatnya media yang kurang memahami betul antara Haq dan Bathil terus maju tanpa disertai dengan nilai-nilai keislaman yang cukup. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang pesat dari waktu ke waktu telah memunculkan realitas baru di tengah masyarakat dunia. Realitas baru tersebut adalah pasar bebas ide (free market of ideas). Semua itu ditunjang dengan teknologi informasi dan komunikasi. Semua orang berlomba memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang apa saja yang menyangkut hidup dan kehidupannya (Syah, 2012).

Perlunya langkah komprehensif bagi pondok pesantren melalui jurnalistik dalam dakwah era modernitas. Menghadapi itu, Sardar dalam bukunya Tantangan Dunia Islam Abad XXI: Menjangkau Informasi, mengemukakan gagasan tentang perlunya strategi umat Islam dalam menghadapi tantangan abad informasi. Menurutnya strategi yang perlu dirumuskan, antara lain: pertama, sesuai dengan asas hikmah dan syura, negara-negara muslim harus mengembangkan lembaga-lembaga riset dan pengembangan. Untuk melepaskan diri dari negara-negara industri, mereka harus melakukan kerjasama dengan sesama negara muslim. Kedua, sesuai dengan asas istislah, negara-negara muslim harus mengembangkan struktur informasi yang relevan bagi konsumen lokal dan nasional. Ketiga, sesuai asas a’dl bagian infrastruktur yang didesentralisasi harus memberikan jasa untuk mengembangkan kemampuan berpartisipasi pada seluruh warga masyarakat muslim. Keempat, berdasarkan prinsip „I’lm – yang didefinisikan sebagai pengetahuan distributive – komunikasi sains dalam umat harus digalakkan. Jurnalisme Islam harus diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan ilmuwan dan cendekiawan Islam. Kelima, sesuai dengan prinsip syura dan ummah, diperlukan kerjasama para peneliti dan cendekiawan lewat jaringan informasi muslim internasional dan jasa informasi referensi Islam. Keenam, para cendekiawan dituntut tampil sebagai penjaga gawang peradaban Islam dan penyedia (pemasok) gagasan (Sardar, 1988).

Dalam gagasannya bukanlah hal yang mudah bagi pesantren untuk mengimplementaskannya. Jika di lihat dari presentase pesantren hanya segelintir yang sudah mengaplikasikan jurnalistik sesuai koridor Islam. Adil, tidak berbau sara, dan untuk kepentingan bersama. Hanya beberapa pondok pesantren modern, seperti halnya Gontor, Ponorogo. Sampai saat ini pun masih kurang pesantren yang memperhatikan pendidikan Juralistik. Justru hal in yang menjadi momentum kaum Barat untuk menghancurkan dan mengadu dombakan dunia Islam. Seperti pada akhir tahun 2016 hingga sekarang, arus media yang begitu cepat dan pesat. Di sinilah peran pesantren  dalam jurnalistik yang mempunyai nilai-nilai Islam dituntut tampil sebagai wahana budaya tanding (counter culture) terhadap dominasi media Barat di era informasi global. Bahkan hal ini termasuk mempertahankan persatuan dengan tujuan membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Untuk kedamaian dan kesatuan bukti cinta persatuan.

Belajar Sejak Santri

“Menulislah agar dipahami, bicaralah supaya didengar dan membacalah untuk mengembangkan diri” begitu salah satu dawuh Presiden ke-4 K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur panggilan akrabnya. Menulis merupakan salah satu pembelajaran dalam jurnalistik. Pentingnya menulis menjadikan setiap insan abadi dalam kehidupanya. Mulai dari membuat sebuah opini, syair, dan hikayat. Serta apa yang mampu menggoreskan pena dalam tiap lembaran-lembaran putih. Tokoh-tokoh intelektual muslim, seperti Cak Nur, Gus Dur, Gus Mus sudah belajar jurnalistik dalam masa santrinya. Hingga sekarang tulisannya menjadi rujukan inspiratif kehidupan bagi semua kalangan. Menulis berdasarkan prinsip-prinsi Islam menjadikan moralitas Islam berkembang baik. Sejatinya santri mampu menerapkan keilmuan Islamnya dengan tulisan-tulisannya. Praktiknya, media (pers) Islam dalam aktivitas jurnalistiknya harus tetap dan senantiasa berpedoman pada landasan etis profetik yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits sehingga eksistensinya benar-benar bisa membawa kedamaian dan rahmat bagi semua.

Daftar Pustaka

Aceng, A. (1993). Media Muslim : Sekarang dan Masa Depan. Jurnal Komunikasi Audentia, 65-66.

Aminuddin Bashir, d. (2009). Kebebasan Media Komunikasi Dalam Perspektif Islam. Jurnal Hadhari, 65.

Limmatus, S. (2014). Etika Jurnalistik Dalam Perspektif Al-Qur’an. ESENSIA, 161.

Sardar, Z. (1988). Tantangan Dunia Islam Abad 21. Bandung: Mizan.

Syah, H. (2012). Peran Jurnalisme Islam di Tengah Hegemoni. Jurnal Komunikasi Islam, 147.

Muhammad Najib Murobbi
Muhammad Najib Murobbi
Alumni Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Ma'had Aly Krapyak Yogyakarta & Pascasarjana Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.