Pada dasarnya media massa memiliki ideologi yakni nilai-nilai dasar yang tertanam dalam media tersebut. Media massa di Indonesia awalnya memiliki ideologi dan tujuan yang sama yakni memberitakan informasi seobjektif mungkin. Keobjektvitasan tersebutlah yang nantinya akan berkembang menjadi hal yang mendukung lancarnya komunikasi serta jaringan yang terdapat dalam media mereka.
Berkat ideologi yang objektif, sebuah media massa dapat memberitakan dan menyajikan informasi yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan ideologi tersebut juga, komunikasi antara media dan audiens tersebut tidak akan terhambat oleh kesalahpahaman. Adapun biasanya kesalahpahaman tersebut terjadi saat berita yang disampaikan tidak akurat dan berat sebelah.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, keobjektivitasan itu berubah menjadi subjektivitas. Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan, subjektivitas atau kurang berimbangnya berita. Hal itu nantinya akan mempersulit komunikasi yang ada dalam media tersebut.
Sebuah media yang menyajikan berita secara memihak dan tidak netral akan dianggap partisan serta tidak cukup kredibel untuk dipercaya. Jika masyarakat tidak memercayai keakuratan informasi di suatu media, maka bagaimana media tersebut akan meraih tujuan-tujuan lainnya seperti meraih profit dan prestise?
Hal tersebutlah yang masih menjadi masalah utama media massa negara kita. Kesubjektivitasan tersebut telah “mengotori” fungsi awal media massa sebagai pengawas negara. Fungsi tersebut tentunya tidak akan terwujud tanpa adanya sifat objektif dari media.
Suatu media yang memihak dan bersifat subjektif takkan mampu menilai dan mengawasi permasalahan yang ada di Indonesia tanpa condong ke salah satu pihak. Keberpihakannya tersebut tak hanya terjadi di beberapa media saja, namun saya rasa sudah mulai merambah ke seluruh media di Indonesia.
Subjektivitas tersebut dipengaruhi banya faktor. Hal tersebut dipengaruhi dan didukung oleh faktor ekonomi, sosial, dan politik. Dahulu ketika ketiga isu tersebut tengah menjadi persoalan krusial pada akhir era Orde Baru di tanah air, ideologi serta nilai-nilai yang ditanamkan pers khususnya media massa berubah dengan sangat signifikan.
Jika sebelum peristiwa reformasi kebebasan pers dikekang oleh pemerintah, maka sejak timbulnya bebagai permasalahan di atas, pers mulai bangkit dan “memberontak” kekuasaan rezim soeharto.
Alhasil, pers yang tadinya bungkam karena dinaungi kepentingan pemerintah yang mendominasi mulai memposisikan dirinya sebagai penyelenggara informasi yang bebas. Kebebasan itulah yang lambat laun akan berubah menjadi ideologi yang mengakar pada semua lapisan pers, khususnya media massa.
Kini saat beragam permasalahan muncul, perkembangan media massa menuju kebebasan informasi yang bertanggungjawab itu mulai regresif. Saat dahulu mayoritas media massa Indonesia dinaungi partai politik, media massa tak perlu pusing-pusing mencari “sumber” produksi demi menghasilkan profit.
Saat ini, ketika hal itu sudah tidak dilakukan, media-media massa Indonesia seperti “kewalahan” dalam mencari sumber dana bagi medianya. Beragam cara pun dilakukan demi mengatasi hal tersebut. Salah satunya ialah dengan mengulang sejarah: menjadi media massa partisan.
Tidak dapat dipungkiri faktor ekonomi telah membuat media massa melakukan politisasi keuntungan tersebut. Orientasi pada profit kini telah “blak-blakkan” ditampilkan media massa dalam setiap produk jurnalistik buatannya.
Untuk meningkatkan keuntungan, selain menambah pasokan pengiklan dalam medianya, media massa saat ini pun tak tanggung-tanggung dalam mencari “donatur”. Mereka berafiliasi dengan partai politik tertentu sehingga hal itu dapat menambah keuntungan mereka.
Akan tetapi, hal perlu digarisbawahi disini ialah, metode partisan tersebut justru semakin membua ideologi media massa yang objektif semakin tercoreng. Saat media massa telah bergabung atau berafiliasi dengan partai politik terentu, maka sangat sulit rasanya mencari informasi yang subjektif, tanpa dihiasi oleh “bau” politik di dalamnya.
Jika diperhatikan, masih dan kian banyaknya media partisan di Indonesia. Mengandalkan orientasi keuntungan serta egoisme mereka masing-masing, mereka mengorbankan keobjektivitasan mereka demi sebuah keuntungan. Padahal dahulu media massa hanya bertujuan memberikan informasi yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Media-media “politik” tersebut menggunakan partai politik untuk melebarkan sayapnya dalam dunia jurnalisme. Selain menambah keuntungan, afiliasi tersebut juga sebagai pemenuhan obsesi kekuatan yang saat ini dimiliki banyak media massa di Indonesia.
Media massa Indonesia saat ini berlomba-lomba menjadi media massa nomor satu di Indonesia. Berbagai cara dilakukan agar citra baik mereka tetap terjaga di mata publik. Alasannya? Karena media-media tersebut bertujuan mencari keuntungan. Hal itu pun kian memunculkan rasa persaingan yang “kental” antara berbagai media massa di Indonesia.
Salah satu persaingan yang paling terlihat ialah persaingan antara media massa televisi di Indonesia. Setiap media berusaha menjadikan medianya paling diperhatikan dan diminati masyarakat. Segmentasinya memang berbeda-beda, akan tetapi semua media tersebut berlomba-lomba menyajikan konten yang menarik bagi masing-masing sasaran audiens mereka.
Dalam meraup keuntungan tersebut, strategi bisnis media tersebut menjadi kunci utama. Media yang paling menarik dari segi konten biasanya akan lebih mudah menjangkau audiensnya. Salah satunya ialah dengan mengorbankan prinsip objektivitas yang dimilikinya. Dalam hal ini pun, terlihat jelas jika perlahan-lahan ideologi objektivitas yang telah dimiliki beberapa media massa Indonesia berubah menjadi ideologi subjektivitas berbasis keuntungan.