Senin, November 25, 2024

Perang Hegemoni Kultural Dalam Dunia Cyber

Aldi Labrador
Aldi Labrador
Penulis Yang Jelek Dan Buruk
- Advertisement -

Jika pada awalnya para penguasa hegemoni mengendalikan dunia dengan tontonan yang berbentuk film atau sinema, lalu berlanjut ke era televisi yang penyebarannya cukup massif, dan di hari ini dunia tontonan bertransformasi menjadi fragmen-fragmen kecil berkat akselerasi dunia digital yang gila-gilaan—utamanya sehabis pandemi Covid-19.

Dunia tontonan menjadi semakin menyatu dengan kenyataan, sesuai ramalan Jean Baudrillard perihal dunia simulasi atau simulakra dalam berbagai tulisannya.

Dengan hadirnya tiga platform besar dalam dunia digital yaitu, Tiktok, Instagram, dan Twitter atau X. Platform Tiktok yang benar-benar merepresentasikan dunia tontonan dalam fragmen kecil karena fiturnya yang mengutamakan konten video yang menyebar dan dikonsumsi khalayak secara massal—yang kemudian membentuk simulakra itu sendiri—tiadanya perbedaan antara dunia asli dan dunia tontonan, dan dua hal itu saling mempengaruhi.

Lalu, platform Instagram yang sepertinya lebih lengkap dibanding Tiktok. Instagram menyediakan fitur postingan berupa foto maupun video, dan Instagram mempunyai fitur video pendek yang serupa dengan tiktok bernama reels. Dan yang terakhir, ada platform X. X menyediakan fitur tweeting, fitur yang memungkinkan penggunanya untuk mengetik dan memposting foto atau video dengan bebas. Dan bahkan di X ada yang namanya twitwar, ketika satu akun memposting sesuatu dan akun lain merasa tidak setuju mereka berdebat—entah pembahasannya penting untuk perbaikan sosial-politik dan ekonomi bangsa ini atau tidak.

Jika kita melihat dalam kacamata teori Bordieu, tentang konsep “Arena Produksi Kultural”. Platform medsos telah menjadi arena (field) perebutan legitimasi antara para agen pendukung hegemoni dan agen yang kontra akan hegemoni. Hampir semua kejadian yang terjadi di dunia maya memengaruhi pertarungan legitimasi dalam dunia nyata. Dunia digital yang dibentuk oleh sistem globalisasi yang berbasis kapitalis ini kemudian perlahan melahap dirinya sendiri. Sebuah produksi kultural yang tadinya membutuhkan modal ekonomi yang besar, kemudian hanya membutuhkan kuota yang sangat murah dan keahlian para agen untuk mendukung atau melawan hegemoni itu sendiri.

Ini kemudian membenarkan pernyataan Lyotard tentang kematian “metanarasi”—metanarasi adalah konsep tentang hegemoni ideologi yang terpusat pada narasi besar yang kebanyakan bersifat eropa-sentris, contohnya narasi tentang kapitalisme dalam kacamata negara dunia pertama yang  diterapkan secara paksa kepada negara-negara dunia ketiga.

Narasi besar telah terpecah-belah melalui narasi-narasi kecil yang bertebaran di area sosial media, yang sesuai dengan modal paradigma masing-masing agen—modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik, yang terbentuk juga melalui habitus sang agen itu sendiri. Dunia digital juga mengikis struktur generatif—semua orang bisa mengakses pengetahuan secara gratis dalam dunia digital. Tetapi ada kelemahan di sini yaitu, banyaknya pembacaan yang tidak kritis lalu membentuk fenomena baru bernama post-truth.

Arena sosial media memungkinkan perebutan legitimasi secara terang-terangan dan massif. Para agen dalam arena sosial media yang terkadang disebut sebagai influencer, saling melancarkan serangan demi kepentingan mereka masing-masing.

Ada beberapa kekerasan simbolik seperti berita hoax yang dilancarkan para agen yang biasanya mendukung hegemoni yang ada—Para agen yang mendukung hegemoni awalnya mendominasi narasi lewat media massa populer seperti televisi, tetapi karena mereka melihat peluang di arena sosial media, maka mereka memasuki arena sosial media.

Contoh kekerasan simbolik dalam dunia maya adalah ketika kampanye calon presiden di tahun 2024—yang berlatar belakang militer dan keras, terindikasi curang dalam pemilu 2024, dan terindikasi kasus pelanggaran Ham, bisa dimanipulasi oleh para agen pendukung hegemoni dengan konten-konten lucu dan gemoy, katanya.

- Advertisement -

Kemudian para agen kontra hegemoni dalam area sosial media menemukan fakta-fakta bahwa calon presiden tersebut memanglah pelaku pelanggaran Ham lewat narasi-narasi kecil yang kebanyakan hadir di platform X. yang kemudian juga memengaruhi dunia nyata ketika seorang penulis bernama Muhidin Dahlan menulis buku “Kronik Penculikan Aktivis Dan Kekerasan Negara 1998”. Pertarungan legitimasi politik pun berlangsung.

Lalu, perihal indikasi kecurangan salah satu paslon dalam pemilu 2024, para agen kontra hegemoni membuat film bernama Dirty Vote yang diproduksi mandiri oleh mereka, dan didistribusikan lewat channel youtube bernama Dirty Vote. Para agen yang terlibat dalam kontra hegemoni itu pun melancarkan serangannya lewat platform Tiktok dan X.

Di hari ini, perang perebutan legitimasi melawan hegemoni di arena sosial media terus terjadi. Kejadian terakhir yang saya lihat adalah ketika cawapres yang dari capres yang terindikasi curang dalam pemilu, yang sekarang sudah resmi menjadi wapres. Diserang oleh para agen kontra hegemoni, utamanya di platform X. Karena wapres tersebut terduga sebagai pemilik akun bernama “fufufafa” di platform kaskus—unggahan dalam akun fufufafa ini sangatlah bertolak belakang dari imej simbolik yang dibangun oleh wapres tersebut.

Ada kejadian yang lebih menarik tentang bagaimana area sosial media dan kenyataan sudah saling membaur. Di tanggal 22 agustus 2024, ada aksi demonstrasi yang diinisiasi oleh akun @matanajwa dalam platform X, akun tersebut mengunggah postingan foto yang berisi  teks berjudul “Peringatan Darurat” terpasang di atas lambang Garuda Pancasila, simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan background berwarna biru gelap. Ditambah dengan suara sistem yang menambah kesan suram dalam unggahan tersebut.

Yang ternyata semua itu diawali dari unggahan akun @Kafir_introver di X pada 21 Agustus 2024. Pengunggah tersebut mengungkapkan kecemasannya atas krisis sosial-politik yang sedang terjadi di Indonesia. Beberapa akun mengomentari, sembari mengikuti poin-poin dari pengunggah, membalas dengan nada bercanda.

Salah satu di antaranya, akun @BudiBukanIntel, kemudian mengunggah foto ilustrasi Garuda dengan latar belakang biru dengan teks “Peringatan Darurat”—yang masuk dalam kategori meme: meme dalam konteks internet adalah potongan gambar, video, atau teks yang disebarkan secara luas di internet dengan tujuan menghibur atau menyampaikan pesan tertentu. Dalam buku “racun tikus” karya Afrizal Malna, meme dianggap sebagai karya sastra digital berupa puisi.

Dari unggahan sepele macam meme yang diunggah oleh akun @BudiBukanIntel, yang kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh akun—yang merupakan agen kontra hegemoni—@matanajwa dan disebarluaskan oleh semua agen kontra hegemoni di berbagai platform sosial media seperti Instagram dan Tiktok. Lalu di tanggal 22 agustus terjadilah demonstrasi besar-besaran di Jakarta yang menyebar ke kota-kota lainnya di Indonesia.

Beberapa tulisan diatas menunjukan bahwa pernyataan pembauran area realitas dan area digital adalah benar adanya. Para agen dalam area realitas dan area digital saling berlomba-lomba untuk memenangkan legitimasi kekuasannya. Yang melahirkan kombinasi mutlak antara ruang virtual dan ruang kenyataan. Dan opini ini termasuk kedalam peperangan simbolik terhadap hegemoni yang berkuasa.

Aldi Labrador
Aldi Labrador
Penulis Yang Jelek Dan Buruk
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.