Ribuan purnawirawan jenderal dari unsur TNI dan Polri mendeklarasikan dukungan kepada pasangan nomer urut 01 Jokowi-Amin. Deklarasi ini dilakukan di JI Expo Kemayoran pada Minggu 10 Februari 2019. Sederet nama mantan pimpinan TNI dan Polri turut hadir dalam deklarasi tersebut.
Diantaranya adalah Jenderal TNI (Purn) TNI Fachrul Razi, Letjen TNI (Purn) Suaidi Marasabessy, Jenderal TNI (Purn) Subagyo HS, Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh dan lain-lain.
Sementara dari jajaran purnawirawan Polri diantaranya adalah Jenderal Pol (Purn) Roesmanhadi, Jenderal Pol (Purn) Da’I Bachtiar, Jenderal Pol (Purn) Bimantoro dan lain-lain.
Sebelumnya ratusan purnawirawan jenderal juga menyatakan dukungannya kepada pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Deklarasi tersebut dilakukan seusai bedah buku Prabowo di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Sabtu, 22 September 2018.
Mereka diantaranya adalaj Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, Marsekal TNI (Purn) Imam Sufa’at dan lain-lain.
Besarnya dukungan purnawirawan jenderal baik kepada pasangan nomor urut 01 maupun 02, mengambarkan bahwa purnawiran jenderal memiliki tempat dan segmentasi dalam pilpres 2019. Hal ini sekaligus mengambarkan bahwa meskipun statusnya sudah purnawirawan dan menjadi warga sipil biasa, keberadaan purnawirawan jenderal tersebut tetap strategis.
Latar belakang para jenderal purnawirawan sebagai pimpinan TNI, diyakini masih memiliki kekuatan-kekuatan secara internal serta memiliki jaringan yang kuat sampai pada tingkat bawah. Sehingga mereka dianggap mampu mengerakkan kekuatan dan jaringannya (baik secara internal maupun secara eksternal) untuk kepentingan politik tertentu. Oleh sebab itu wajar jika kandidat capres-cawapres dan tim suksesnya juga menyasar segmen ini untuk menjadi mesin pendulang suara pada pilpres 2019.
Nuansa Batin Militerisme
“Berebut” suara purnawirawan jenderal tersebut memberikan sinyalemen bahwa keberadaan tokoh dengan latar belakang militer masih dirindukan oleh masyarakat. Meskipun disadari bahwa latar belakang militer bukan faktor tunggal dan dominan yang mempengaruhi persepsi politik masyarakat. Hal tersebut sekaligus mengambarkan nuansa batin masyarakat yang lekat dan dekat dengan istilah militerisme pada tradisi masa lalu.
Sebut saja pada era kerajaan, dimana para raja selalu bergelar Senopati Ing Ngalengko yang artinya adalah panglima perang. Para raja yang mempunyai gelar ini antara lain adalah Raja Mulawarman di Kerajaan Kutai, Raja Sanjaya serta Raja Hayam Wuruk yang dengan gelar ini telah berhasil menyatukan nusantara di bawah Kerajaan Majapahit, serta banyak raja-raja lain yang mengunakan gelar yang sama.
Pada zaman kolonial, dimana bangsa Indonesia menjadi jajahan Hindia Belanda, pemerintahan atau kekuasaan di pimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang artinya adalah panglima.
Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno sebutan yang digunakan untuk presiden adalah Panglima Perang. Pada zaman Pemerintahan Presiden Soeharto, sebutan yang digunakan presiden sekaligus panglima tertinggi ABRI/TNI. Dan sebutan ini juga tetap digunakan baik pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Presiden KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden SBY dan Presiden Jokowi.
Pada sisi lain, dukungan para purnawirawan jenderal tersebut juga berpotensi mengembalikan diskursus politik lama, yakni dikotomi sipil-militer. Diskursus yang dalam beberapa waktu sebelumnya telah membelah dua entitas politik nasional.
Diskursus yang terus mengemuka ini sekaligus mengambarkan nuansa batin masyarakat Indonesia tentang ketakutan-ketakutan kembalinya militer dalam ranah kehidupan sosial dan politik. Ketakutan ini memang sangat beralasan, mengingat ABRI (TNI pada masa orba) ditempatkan dalam jaring kekuasaan yang sedemikian mengurita sampai pada tingkat masyarakat bawah. Trauma politik ini sekaligus menjadi luka lama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Era sekarang ketakutan tersebut nampaknya sudah tidak relevan. Apalagi amanat pasal 30 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara (ayat 3). Amanat konstitusi yang kemudian diperkuat dan diterjemahkan dalam UU No 34/2004 tentang TNI.
Celah keterlibatan TNI dalam ikut mengelola – untuk tidak menyebut perbantuan – dalam kamtibmas, sampai saat ini hanya ada dalam UU No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS). Itupun harus melalui prosedur dan mekanisme yang mengacu pada otoritas pemerintahan sipil.
Dimana mekanisme perbantuan atau keterlibatan TNI dalam melakukan penanganan konflik sosial dilakukan melalui mekanisme dan prosedur sebagai berikut ; (a) Setelah penetapan status konflik dalam keadaan darurat, sebagaimana yang di atur dalam pasal 14 – 28 UU PKS, (b) Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila Konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan dan (c) Mekanisme perbatuan kepada TNI diajukan oleh Presiden atau Gubernur atau Bupati/Walikota, dengan mempertimbangkan skala dan status konflik, serta tetap harus berkoordinasi dengan Polri.
Fakta bahwa era kepemimpinan Presiden SBY (yang berlatar belakang militer) dalam dua periode ini, tidak menjadikan TNI sebagai “anak emas” sekaligus tidak memberikan prioritas kebijakan dan perhatian penuh pemerintah adalah sebuah bukti bahwa dikotomi sipil-militer sudah tidak relevan lagi.
Memutus Jalur Komando
Dalam era demokrasi seperti saat ini, yang perlu diwaspadai adalah digunakannya jalur-jalur komando TNI sebagai mesin politik untuk memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu.
Potensi ini mungkin dilakukan oleh para pimpinan TNI aktif, maupun para purnawirawan dengan memanfaatkan hubungan emosional dan atas nama senior-yunior. Karena bagaimanapun sisa-sisa kekuatan dan pengaruh para pimpinan tertinggi TNI yang saat ini sudah menjadi purnawirawan masih mungkin dilakukan untuk diarahkan pada tujuan politik tertentu.
Meskipun dalam beberapa kesempatan Panglima TNI terus memberikan amanat mengenai netralitas TNI dalam Pemilu 2019, namun dirasakan kurangg lengkap. Panglima TNI harus berani menginstruksikan dan menegaskan tidak adanya ikatan formal dan komando antara purnawirawan dengan anggota TNI aktif di semua kesatuan.
Penegasan ini penting untuk menjaga soliditas dan netralitas TNI. Hal ini cukup beralasan, mengingat fakta sejarah era orde lama menyebutkan bahwa konflik antara Bambang Supeno yang didukung Soekarno dan AH.Nasution telah membuat TNI terbelah.
Terkahir, di tengah kompleksitas persoalan bangsa, yang dibutuhkan Bangsa Indonesia adalah seorang negarawan yang hadir dalam sosok Kepemimpinan Nasional. Dalam kerangka kehidupan kenegarawan, seorang pemimpin nasional di Indonesia akan dihadapkan kepada permasalahan yang sangat kompleks., yang pada dasarnya tidak akan terlepas dari Tujuan Nasional sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945.