Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 8-11 Oktober 2022, di Nusa Dua, Bali, Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia atau Bawaslu RI menjadi tuan rumah sekaligus pelaksana kegiatan Fifth Plenary Assembly of the Global Network on Electoral Justice, yakni forum internasional yang membincang persoalan Keadilan Pemilihan Umum (Pemilu) di berbagai negara dunia yang menganut sistem politik demokrasi.
Kegiatan yang berlangsung selama empat hari tersebut menghadirkan berbagai pakar, pegiat, dan penyelenggara Pemilu dari berbagai negara dan termasuk dari Indonesia. Saya, adalah satu dari sekian pemantau yang diundang Bawaslu menghadiri acara tersebut. Sebagai pemantau, saya melihat acara ini secara teknis keseluruhannya berjalan baik, baik dari sisi akomodasi dan juga pelayanan yang diberikan kepada peserta. Meskipun secara substansi, diskursus soal ide dan gagasan baru dimulai pada tanggal 10 dan 11 Oktober.
Namun, jauh daripada itu, dari sisi gagasan, kegiatan internasional tersebut membincang beberapa soal yang dianggap menjadi isu utama dalam konteks Pemilu hari ini bagi masyarakat dunia. Isu-isu tersebut antara lain dapat dipetakan sebagai berikut: 1) Strategi Pemilu 2022 di masa Pandemi Covid-19, 2) Media Digital dan Disinformasi Proses Pemilu, 3) Transparansi, Keterbukaan Data, dan Kerjasama Sosial, 4) Keadilan Pemilu yang Inklusif Gender, 5) Keadilan Pemilu yang Independen, dan 6) Keadilan Pemilu dalam Dunia Digital.
Jika diturunkan, tema-tema tersebut secara garis besar membincang isu teknis pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu dan tema-tema besar Filsafat Politik seperti freedom, equality, independensi, dan keadilan yang kesemuanya merupakan aspek penting dan utama dalam membangun sistem demokrasi.
GNEJ dan Demokrasi Indonesia
Di tengah gelombang stagnasi (bahkan menurun) demokratisasi di kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara, penyelenggaraan GNEJ (Global Network on Electoral Justice) harusnya menjadi momentum bangsa Indonesia, melalui Bawaslu untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara yang secara konsisten dan konsekuen setia pada nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan.
Poin ini menjadi penting untuk ditegaskan kembali, di tengah situasi di mana dunia sedang dan terus memperhatikan proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia. Meskipun, sebagai sebuah negara, Indonesia relatif dipandang sebagai negara di kawasan Asia yang “mapan” demokrasinya, utamanya bisa dilihat dari bagaimana Pemilu tetap dilaksanakan secara simultan lima tahun sekali.
Namun demikian, Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) Indonesia tetap dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat atau (flawed democracy) meskipun sudah naik 12 peringkat ke peringkat 52 dunia dengan skor 6,71 dari sebelumnya peringkat ke-64.
Meskipun Pemilu merupakan ciri utama negara demokrasi, tetapi tidak setiap negara yang telah melaksanakan Pemilu, sekalipun rutin, dia bisa disebut demokratis. Itulah kenapa kemudian Indonesia masih tetap dikategorikan sebagai negara dengan flawed democracy meskipun telah melaksanakan Pemilu secara rutin. Hal ini karena negara dengan demokrasi ‘cacat’ pada dasarnya telah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta juga menghormati kebebasan sipil dasar.
Akan tetapi, persoalan utama yang dihadapi oleh negara dalam kategori ‘cacat’ tersebut masih merupakan persoalan mendasar yang menyangkut rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik masyarakat yang lemah, dan kinerja pemerintah yang belum optimal.
Oleh karena itu, meskipun peserta GNEJ paham bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pelaksanaan Pemilunya relatif paling bagus dibanding negara Asia lainnya, tetapi perhatian peserta justru tidak tertuju pada hal tersebut. Akan tetapi, para peserta justru lebih memfokuskan perbincangannya pada isu krusial dan besar dalam Pemilu yang kaitannya dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri seperti kesetaraan pemilih, imparsialitas dan independensi penyelenggara, kebebasan, keadilan, dan partisipasi publik dalam pengawasan dan pemilihan.
Trust Sipil sebagai Kunci Kesuksesan Pemilu
Persoalan lain yang dibicarakan dalam forum GNEJ adalah persoalan administratif dan teknis pelaksanaan Pemilu. Tema ini tetap diperbincangkan dalam kerangka Pemilu di masing-masing negara. Akan tetapi, konteks administratif dan teknis penyelenggaraan Pemilu tentu sifatnya kontekstual, menyangkut kondisi dan konstitusi dari setiap negara. Oleh karena itu, secara prinsip mungkin aspek ini hanya bisa sampai pada tukar menukar informasi dan perspektif pelaksanaan Pemilu antar negara, tetapi tidak akan banyak memberikan input substansial bagi tata kelola Pemilu di setiap negara dengan kultur dan konstitusi yang berbeda.
Meski demikian, tukar menukar informasi melalui diskursus komparatif pengamalan ini tetap penting sebagai cakrawala para penyelenggara dalam melihat masalah yang mungkin timbul dalam Pemilu, sehingga ia bisa memiliki gambaran yang luas tentang bagaimana mengatasi masalah dalam konteks masing-masing negara.
Di sisi lain, dalam forum diskusi GNEJ tersebut, Dong Nguyen Huu, seorang International Election Expert dari Vietnam, mengungkapkan bahwa aspek administratif dan teknis Pemilu adalah aspek termudah untuk diselesaikan, karena ini menyangkut dengan manajemen pengelolaan penyelenggaraan Pemilu semata. Ia menyebut bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari itu, yang juga di-mention hampir oleh sebagian besar pembicara dari luar negeri, adalah soal trust dan kebebasan publik terhadap Pemilu dan penyelenggara itu sendiri.
Dalam konteks Filsafat Politik, trust atau kepercayaan publik adalah kunci utama suksesnya Pemilu. Ini berangkat dari alur pikir demokrasi sendiri yang meletakkan rakyat sebagai kedaulatan politik tertinggi. Kedaulatan rakyat itu kemudian diabstraksi atau diejawantahkan melalui pemungutan suara melalui Pemilu. Oleh karena Pemilu merupakan sarana rakyat mengaktualisasi kedaulatan politik tertingginya, maka rakyat menjadi poin penting dan utama yang harus menjadi prinsip penyelenggaraan Pemilu itu sendiri. Dengan demikian, Pemilu tidak lagi kemudian hanya dipahami sebagai rutinitas lima tahunan belaka, tetapi ia harus dimaknai sebagai simbol dan alat partisipasi sipil tertinggi dalam politik.
Konsekuensinya, Pemilu harus ditujukan untuk rakyat tidak hanya dalam aspek pengambilan suara semata, apalagi hanya dimaknai untuk menentukan King atau Raja semata, tetapi lebih sublim dari itu adalah rakyat benar-benar memiliki kesadaran yang utuh dan menyeluruh terhadap Pemilu, baik dari sisi prosesnya dan motifnya. Partisipasi sipil yang lemah tidak boleh hanya dimaknai sipil tidak datang memilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), tetapi datang ke TPS pun tanpa pengetahuan, paksaan, dan tidak tahu motif dan tujuan Pemilu adalah sebuah kejahatan dalam proses demokratisasi.
Persoalan itulah yang sampai hari ini masih membayangi Pemilu di Indonesia. Partisipasi sipil lemah, politik uang yang menguat, politik identitas yang mengakar, dan proses pengawasan yang belum sepenuhnya imparsial dan independen karena masih memiliki relasi yang cukup dekat dengan Partai Politik. Di forum GNEJ tersebut, belum terlihat bagaimana Bawaslu membangun sebuah konsepsi besar pengawasan Pemilu yang basis etisnya adalah keberpihakan pada sipil. Ini misalnya, pemateri atau narasumber di forum itu tidak menghadirkan pihak sipil manapun dari dalam negeri kecuali dari Komisioner Bawaslu saja. Padahal, banyak dari narasumber luar negeri yang me-mention bahwa pihak sipil atau masyarakat madani adalah aspek penting yang harus dikuatkan untuk menumbuhkan trust terhadap Pemilu (termasuk trust pada demokrasi dan produk Pemilu: King dan Anggota Parlemen).
Menegaskan Peran Sipil
Di forum tersebut, saya melihat, tampaknya, dunia mulai mengevaluasi dirinya masing-masing terhadap sistem demokrasi yang sudah dijalankan, dan sejauh mana dia mampu memanusiakan manusia sebagaimana mestinya. Evaluasi itu pertama-tama mulai dilihat dari hilir, yakni tentang bagaimana tata kelola Pemilu dijalankan di masing-masing negara sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai kedaulatan politik tertinggi.
Namun, sayangnya, yang di hilir pun tidak juga diselidiki akarnya secara mendetail, cermat, dan hati-hati tentang apa-apa yang kita khawatirkan dan nilai-nilai utama demokrasi yang tidak bisa hadir dalam kehidupan kita, sebagaimana yang diimpikan.
Meski demikian, saya melihat, ada upaya dari Bawaslu, misalnya dari Komisioner Bawaslu Herwyn J.H. Malonda yang mencoba menawarkan konsep pengawasan media sosial dengan merelasikannya dengan konsep besar Filsafat Politik yakni kebebasan, meskipun tampak di akhir ia masih kesulitan untuk mendudukkan secara pas antara kerangka pengawasan, landasan hukum, dan kebebasan di media sosial yang cenderung berubah cepat dan dinamis.
Aspek lain yang juga ditawarkan yakni konsep besar demokrasi gotong royong yang dikemukakan oleh Komisioner Bawaslu Totok Hariyono, meskipun sesungguhnya ide ini adalah upaya menghidupkan gagasan Bung Karno, tetapi di forum tersebut belum kita temukan feel-nya terkait relasi antara demokrasi, gotong royong, dan musyawarah mufakat yang di-mention sebagai inti demokrasi Indonesia.
Sementara itu, aspek equality ditawarkan oleh Lolly Suhenty, meskipun pembahasannya menyasar pada penguatan diskursus inklusif gender dalam Pemilu. Isu ini memang isu klasik yang perlu diformulasikan secara sungguh-sungguh menyangkut diskursus penghargaan dan penerimaan perempuan sebagai bagian dari entitas manusia secara keseluruhan sebagaimana laki-laki dalam politik dan juga Pemilu.
Meski demikian, agak disayangkan memang, apa yang dipelajari dan dilihat di Brasil oleh Lolly dalam konteks pemantauan Pemilu di sana tidak di-mention sedemikian rupa di forum GNEJ terkait bagaimana isu gender itu berdialektika di Pemilu Brasil. Dalam konteks yang lebih luas, Lolly hanya menyampaikan hasil pemantauannya ke Brasil dengan mengabarkan tentang bagaimana Pemilu di Brasil bisa berlangsung sangat cepat karena berbasis e-voting.
Laporannya menceritakan bahwa rekapitulasi di Brasil bisa beres dalam tempo 5 Jam, dan KPPS yang hanya dibayar makan siang. Brasil dianggap berhasil melaksanakan Pemilu menggunakan e-voting sejak 1996. Dari aspek keamanan, e-voting yang digunakan oleh Brasil, dianggap memiliki tingkat keamanan tinggi karena telah diuji setahun sebelum e-voting dilakukan.
Apa yang dibawa Lolly dari Brasil hanya sedikit memberikan perspektif baru bagi Pemilu kita di Indonesia jika dibandingkan dengan anggaran negara yang digunakannya pergi ke Brasil. Lebih jauh dari pemantauan dan diskusi yang dilakukannya dengan pimpinan Tribunal Superior Eleitoral (TSE) Brasil, partai politik yang sedang berkompetisi, dan asosiasi pengacara di sana, Lolly melupakan aspek terpenting dari Pemilu yakni masyarakat sipil. Oleh-oleh yang sangat penting tersebut, yang ditunggu-tunggu oleh pemantau dan masyarakat sipil dalam negeri itu menyangkut apakah ada dinamika di publik Brasil terkait pro dan kontra penggunaan e-voting? Jika ada, aspek apa yang dipro dan kontrakan? Bagaimana proses pemantauan pemilihan melalui e-voting dilakukan oleh sipil dan pemantau lokal di sana? Bagaimana pengawas Pemilu di sana menempatkan sipil dan pemantau dalam pengawasan Pemilu? Kenapa sipil percaya pada Pemilu dan penyelenggara Pemilu di Brasil? Hal-hal itu menjadi penting, sekali lagi penting, karena rakyat atau sipil adalah merupakan inti kenapa Pemilu harus dilaksanakan.
Dengan demikian, berdasarkan catatan pemantauan saya di atas, ada beberapa aspek penguatan eksistensi sipil dalam pengawasan dan pemantauan yang perlu diberikan perhatian serius oleh Bawaslu. Pertama, Bawaslu harus memiliki desain pengelolaan sipil society yang jelas dan terarah untuk penguatan aspek pengawasan kepemiluan berbasis sipil. Kedua, Bawaslu perlu menegaskan eksistensi lembaga pemantau dan pegiat Pemilu dan demokrasi di Indonesia baik dalam dialektika maupun diskursus kepemiluan dan penguatan demokrasi. Ketiga, Bawaslu perlu mendesain gagasan-gagasan besar pengawasan Pemilu berbasis sipil dengan mulai merelasikan materi ideologi kebangsaan dengan Pemilu.
Dan keempat, ini poin yang amat penting dan krusial, yakni tidak terhubungnya agenda GNEJ Bawaslu dengan agenda besar negara G20. Amat disayangkan, sejak awal saya melihat pelaksanaan GNEJ ini tampak terpisah dan tidak terhubung dengan agenda besar pemerintah dalam agenda G20. Ini secara kasat mata dapat kita lihat pada poster-poster GNEJ yang tidak menampilkan promosi G20 di acara tersebut. Jika demikian, hasil GNEJ kemarin seberapa besar kemungkinannya akan masuk dalam agenda besar dan kebijakan negara yang dijalankan pemerintah ke depan? Tampaknya akan sulit. Nah, empat hal itulah yang tidak saya temukan di forum sebesar GNEJ tersebut.