Senin, Mei 6, 2024

Peran Republikanisme dalam Menjaga Toleransi dan Hak Warga Negara

Yoga P. Nugroho
Yoga P. Nugroho
Peminat isu demokrasi dan pembangunan modal insani.

“Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”.

Salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu menjelaskan dengan gamblang, bahwa Indonesia adalah negara republik.

Paska reformasi, dengan silih berganti Indonesia menerima berbagai paham dan pemikiran politik dari luar–baik paham yang sudah pernah eksis maupun paham baru–seperti liberalisme, sosialisme, sampai dengan khilafah-isme dan paham politik agama transnasional lainnya. Beberapa bentuk ekstrim dari paham tersebut berpotensi mengganggu harmoni bangsa dan keutuhan negara.

Akibat derasnya dinamika paham-pemikiran tersebut, pada akhirnya memaksa kita untuk melihat kembali kepada Pancasila. Terlepas dengan pro dan kontranya, Pancasila pun akhirnya dijadikan ideologi resmi negara dengan pembentukan badan khusus, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berfungsi sebagai lembaga pembinaan ideologi negara.

Diskursus tentang Pancasila menjadi marak, terlebih Pancasila dapat digunakan sebagai antitesis untuk melawan penyebaran paham-pemikiran dari luar. Ruang publik pun ramai kembali dengan diskusi dan dialog mengenai Pancasila, baik dari sisi doktrinal, substansi, dan usaha merelevansikannya dengan isu-isu kontemporer.

Namun ada yang tertinggal dari diskursus tersebut, yaitu Republikanisme.

Republikanisme dan Pancasila

Konsep republikanisme diperkenalkan oleh Cicero (106—43 SM) dengan istilah res publica atau republik. Paham ini memisahkan dengan tegas antara ruang dan kepentingan umum (res publica) dengan ruang dan kepentingan pribadi (res privata).

Republikanisme adalah salah satu pemikiran politik mengenai pemerintahan berbentuk republik (Robertus Robet, Republikanisme dan Keindonesiaan, 2007). Sedangkan pengertian republik sendiri adalah sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan prinsip kepentingan bersama dari rakyatnya (Cicero, dari Buku Republicanism and the Future of Democracy, 2019).

Republikanisme terkesan dikesampingkan dari perbincangan bangsa, kemungkinan karena dalam perdebatan penentuan bentuk pemerintahan oleh para pendiri bangsa konsep ini hanya dijadikan pembeda untuk menolak usulan pemerintahan berbentuk kerajaan, yang menjadi simbol nilai lama (feodalisme) di Nusantara dan bentuk pemerintahan dari negara penjajah kita, Belanda dan Jepang (kolonialisme). Padahal, republik memiliki hubungan yang erat dengan Pancasila sebagai dasar negara dan efektif untuk mengimplementasikan nilai dari sila-silanya.

Republik menitikberatkan perhatiannya pada kepentingan umum atau kepentingan bersama rakyatnya, sehingga seharusnya negara republik memandang setara warga negaranya sebagai manusia merdeka, dengan perlakuan yang adil dan beradab, tanpa melihat perbedaan identitas suku, ras, agama, dan kelas sosial.

Jika konsep republik ini dipahami dengan baik oleh aparatur dan warga negara, akan terbentuk suatu persatuan Indonesia yang kokoh, karena kebutuhan akan kepentingan umum diberikan dengan sebaik-baiknya dan kepentingan pribadi warga negara dipahami dan dilindungi dengan sepenuhnya oleh negara.

Pengertian republik (Cambridge Dictionary) mengamanatkan agar pemerintahan diatur oleh perwakilan (anggota legislatif) dan pemimpin (kepala eksekutif) yang dipilih oleh rakyat, yang sesuai dengan sila ke-4, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Urusan-urusan dalam kepentingan umum diatur dalam pembentukan undang-undang oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat, dan pelaksanaan undang-undang oleh pemimpin yang juga dipilih oleh rakyat. Diharapkan, para penerima mandat rakyat tersebut dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mendorong dan mencapai suatu keadilan sosial.

Apabila republikanisme dapat menjadi etika politik bernegara yang bukan hanya dipahami dan dipraktikkan oleh aparatur negara tetapi juga oleh warga negara, maka republikanisme akan menjadi kompatriot, partner pelengkap Pancasila yang menjadi ideologi negara.

Perbincangan antar warga negara dapat diarahkan pada isu-isu publik yang utama, dibandingkan perdebatan provokatif atas isu-isu privat yang berpotensi mengganggu harmoni antar elemen bangsa. Aparatur negara juga dapat mencegah dirinya dari melakukan intervensi yang tidak perlu atas kepentingan pribadi warganya, sehingga dapat lebih efektif dalam usahanya melayani kepentingan umum.

Peran Warga Negara

Republikanisme membutuhkan pemahaman, kesadaran, lalu partisipasi aktif dari rakyatnya. Warga negara menggunakan secara aktif haknya untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (UUD 1945 Pasal 28C Ayat 2).

Warga negara mengisi republik dengan masukan-masukan substantif atas kepentingan umum dengan pendapat, kritik, saran, maupun partisipasi politik praktis yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh aparatur negara.

Pada hal kepentingan pribadi, warga negara juga harus memiliki kesadaran atas pluralnya kebutuhan pemenuhan kepentingan pribadi tiap golongan dan individu dalam masyarakat. Sehingga, toleransi atas perbedaan kebutuhan tersebut dapat diutamakan dalam interaksi antar warga negara. Bahkan dalam bentuk lanjutan atas toleransi tersebut, warga negara dapat bahu-membahu dalam usaha melindungi urusan privatnya dari intervensi aparatur negara, maupun dari golongan yang intoleran.

Kendala antara yang Umum dan Pribadi

Berbeda dengan beberapa negara dengan bentuk pemerintahan republik lainnya, persoalan agama di Indonesia tidak dapat sepenuhnya ditempatkan dalam kepentingan pribadi atau ruang privat.

Karakteristik masyarakat Indonesia yang relijius dan prinsip beberapa agama yang diakui secara resmi oleh negara, menjadikannya tidak mudah untuk memisahkannya sama sekali dari kehidupan publik. Maka di Indonesia, kadang sebagian urusan agama (ibadah) menjadi urusan publik juga.

Negara jadi perlu mengatur urusan ibadah tertentu dari ajaran agama, mengakomodasinya dalam undang-undang dan turunan kebijakannya, agar warga negara dapat menjalankan dan terlindungi urusan agamanya masing-masing.

Sebagai lembaga negara, Kementerian Agama menjadi urusan publik, walaupun yang diurusi adalah kepentingan yang sangat pribadi, yaitu agama–di mana seharusnya dijaga dari intervensi negara—dan beberapa bentuk ibadahnya. Misalnya, pemerintah harus membuat peraturan dan mengatur pelaksanaan urusan haji dan umroh umat Islam, mendirikan fasilitas pendidikan agama (madrasah, universitas Islam) yang dibiayai dan dijalankan oleh negara, dan mengelola zakat.

Dengan digunakannya republikanisme sebagai etika hidup bernegara, rakyat dapat terhindar dari tirani dan penindasan yang dapat timbul dari upaya banyak-banyakan jumlah suara perwakilan mayoritas (agama, suku) atau pengaruh kuasa elite kelas sosial yang minoritas (kekuatan ekonomi).

Kesadaran warga dan aparatur negara atas apa yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, dapat mendorong pemahaman bersama akan pentingnya keaktifan warga negara pada hak politiknya demi kemajuan negara, dan toleransi dalam kehidupan pribadi antar warga negara, sehingga diharapkan akan menjaga kelanggengan harmoni bangsa dan keutuhan negara.

Yoga P. Nugroho
Yoga P. Nugroho
Peminat isu demokrasi dan pembangunan modal insani.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.