(Studi Kasus Peradilan Adat Nagari di Sumatera Barat)
“Peran adat sudah lama dicabut oleh negara, akibatnya keputusan yang dihasilkan oleh ninik mamak selalu kalah oleh peradilan formal,” (Bachtiar Abna, Akademisi dan Tokoh Adat).
Kasus batas Nagari Saniangbaka dengan Nagari Muaropingai di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2008 adalah contoh kasus untuk melihat bagaimana adat dan lembaga penyelesaian sengketa adat (peradilan adat) berperan dalam penyelesaian konflik tanah.
Konflik batas nagari tersebut bersifat laten dan telah mencuat lama, setidaknya sejak tahun 1970-an sampai dengan sekarang. Dampak negatif Konflik tersebut mengancam harmoni sosial masyarakat yang serius. Konflik-konflik serupa juga ditemukan pada wilayah-wilayah lain di Sumatera Barat. Paling tidak, antara 2004-2008 tercatat 33 kasus sengketa batas wilayah nagari (LBH Padang)
Pendekatan penyelesaian konflik secara formal melalui Peradilan Negara dirasa belum memadai untuk penyelesaian konflik batas nagari ini secara menyeluruh. Hal ini terkait dengan pendekatan yang digunakan melulu pada pembuktian formal (surat dan dokumen). Dalam konteks tersebut, butuh pendekatan alternatif yang mengintegrasikan pendekatan sosiologi dan antropologi untuk memecahkan konflik.
Salah satu aspek penting yang mesti diperhatikan pada kasus batas nagari adalah tentang penguasaan nagari atas tanah (tanah ulayat). Penguasaan nagari atas tanah bersifat informal (berdasarkan adat), yang kadangkala tidak memiliki bukti formal (surat/dokumen) yang lengkap. Oleh sebab itu, pendekatan peradilan adat yang informal dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan penyelesaian konflik berbasis bukti formal (baca; Peradilan Negara).
Konflik Tanah Adat
Konflik agraria hak adat ini adalah konflik menahun dan bersifat struktural. Bila ditelisik lebih dalam, konflik – konflik tersebut muncul akibat melemahnya kemampuan nagari dalam penyelesaian konflik-konflik adat.
Situasi ini muncul dari dampak pemberlakukan kebijakan pemerintahan desa yang sentralistik di masa Orde baru. Kebijakan tersebut telah merobohkan pilar-pilar ketahanan nagari sebagai persekutuan masyarakat hukum adat beserta kapasitasnya dalam penyelesaian konflik adat.
Pada masa itu, Negara memberlakukan sentralisme hukum dan melakukan penyeragaman desa paralel dengan kebijakan sentralisme sistem peradilan. Kebijakan hukum yang menekan ini secara pasti dan perlahan mengurangi kemampuan nagari dalam menyelesaikan konflik-konflik adat.
Sisi lain, sifat fleksibel dan kultural yang terkandung dalam peradilan adat nagari adalah modal sosial dalam membangun harmoni sosial kemasyarakatan. Revitaliasi peradilan adat perlu dipikirkan kembali untuk menyelesaikan aneka persoalan hukum masyarakat adat pada saat ini.
Peradilan Adat : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Berbasis Adat
Mekanisme penyelesaian sengketa adat berlangsung pada tahap atau jenjang yang sesuai dengan susunan masyarakat nagari yang tertuang dalam pepatah “bajanjang naik, batanggo turun” (Qbar, 2002). Pertama. tingkatan kaum oleh kerapatan kaum dan suku oleh kerapatan suku, pada tingkatan ini, pola penyelesaian sengketanya bersifat mediasi atau mendamaikan. Selain itu, pada tingkat kaum yang lebih rendah di bandingkan suku bertaut koordinasi antar tingkatan tersebut dalam penyelesaian suatu sengketa, sehingga apabila dilimpahkannya sengketa pada tingkatan suku, maka kerapatan suku akan lebih mudah memutus sengketa.
Kedua, pada tingkatan nagari, penyelesaian sengketa dilakukan apabila telah ada pelimpahan dari panghulu suku sebagai fungsionaris penyelesaian sengketa suku dan mamak kepala waris sebagai fungsionaris penyelesaian sengketa kaum kepada jenjang yang lebih tinggi, yaitu nagari. Saat ini, penyelesaian sengketa adat terlembaga di Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Berdasarkan pelimpahan perkara tersebut, KAN membentuk majelis yang lepas kaitannya dengan sengketa, yaitu; prinsip independensi anggota majelis atau secara adat anggota majelis harus; pertama, “labo jo rugi,” yaitu majelis tidak punya kepentingan ekonomi dengan kasus/sengketa, kedua, “kasiah jo banci,” yaitu majelis tidak punya hubungan emosional dengan sengketa, ketiga, “takuik jo malu,” yaitu majelis bebas dari perasaan takut dan malu, keempat, “sayang jo ragu,” yaitu bebas dari hubungan keluarga dengan pihak yang bersengketa (Rivai Lubis, 2007).
Pola penyelesaian sengketa pada masing-masing jenjang sosial di nagari mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai, namun bila sengketa tersebut gagal di selesaikan secara damai, maka pada tingkatan tertinggi di nagari, yaitu; majelis penyelesaian sengketa nagari memutus sengketa berdasarkan hukum adat.
Dahulu penyelesaian sengketa adat di nagari berlaku bagi semua sengketa masyarakat di nagari, baik itu yang sekarang disebut dengan sengketa perdata maupun sengketa pidana. Namun, setelah berlakunya unifikasi penyelesaian sengketa melalui satu jalur saja, yaitu; peradilan formal, melalui UU no.14 tahun 1970, maka semua peradilan adat dan model kelembagaan penyelesaian sengketa berbasis adat tidak diakui, (Abdurrahman, 2007).
Keberadaan Peradilan Adat
Kebijakan hukum tentang peradilan menekan keberadaan peradilan adat ini. Hal tersebut mengakibatkan lembaga penyelesaian sengketa adat kehilangan legitimasi formal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di masyarakat.
Di sisi lain, juga terjadi dinamika perubahan dalam tubuh peradilan formal untuk mengakomodasi keberadaan kelembagaan penyelesaian sengketa berbasis adat ini, yaitu melalui kebijakan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat dalam Surat Edaran Kepala Pengadilan Tinggi Sumatera Barat No.W3.DA.HT.04.02-3633.
Kebijakan pada tingkat Pengadilan Tinggi ini mengakomodir kembali lembaga penyelesaian sengketa adat untuk kasus-kasus adat berdimensi perdata, yaitu terkait sengketa gelar adat dan perdata adat (sako pusako).
Kebijakan ini memposisikan KAN sebagai semacam “peradilan pendahuluan” yang putusannya tidak bersifat final dan perkara yang dipersengketakan bisa diajukan kembali Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan Negeri mempertimbangkan putusan yang dilahirkan KAN namun tidak mengikat, sehingga, putusan peradilan adat model KAN ini hanya bersifat rekomendasi dan tidak memiliki daya mengikat yang kuat.
Sengketa-sengketa adat tetap berlangsung dalam model kalah-menang mengikuti karakter peradilan formal (Negara), setidaknya terlihat dalam indikator banyaknya kasus sengketa adat yang diperkarakan pada jenjang peradilan lebih tinggi (Banding dan Kasasi). Pada tahun 2003 saja memperlihatkan bahwa 80 persen dari perkara kasasi di tingkat Mahkamah Agung dari Sumatera Barat adalah sengketa tanah adat.
Fakta-fakta tersebut tentunya berdampak pada kualitas keadilan dalam penyelesaian sengketa adat. Selain itu, kondisi ini juga berdampak pada makin berkurangnya kepercayaan masyarakat nagari (masyarakat adat) terhadap hukum adat dan lembaga penyelesaian sengketa adatnya.
Alternatif Penguatan Peradilan (adat) Nagari
Keberadaan peradilan adat memiliki tantangan dan juga peluang seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam konteks ini, Penguatan peradilan adat adalah dengan memperbesar peluang kelembagaan dan hukum untuk merevitalisasi hukum adat dan model penyelesaian sengketa berbasis adat, , yaitu sebagai berikut;
Pertama; mendorong kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa berbasis adat dengan memperkuat kualitas hakim adat dan kelembagaannya, Penguataan kualitas hakim adat tersebut bisa dilakukan dengan melahirkan program peningkatan kapasitas dan dampingan dari Pengadilan Negeri setempat, Pemerintah Daerah, organisasi adat dan masyarakat sipil serta akademisi.
Kedua, mendorong Peradilan Negara (Pengadilan Tinggi Sumatera Barat) untuk lebih memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa berbasis adat dengan menjadikan putusan penyelesaian sengketa adat di tingkat KAN sebagai hasil kesepakatan damai (daading). Model ini memungkinkan putusan-putusan peradilan adat (KAN) mempunyai kekuatan hukum yang tetap “Incraht van bewij.”
Ketiga, memperkuat keberadaan status hukum peradilan adat melalui UU Desa dengan pengaturannya lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten tentang Nagari. Peraturan Daerah tentang Nagari tersebut adalah Peraturan Daerah yang mengakomodasi nagari sebagai desa adat sehingga memungkinkan adanya pengakuan peradilan adat di tingkat nagari berdasarkan UU Desa tersebut.
Keempat, pada konteks sengketa batas nagari perlu segera mungkin melaksanakan pemetaan wilayah nagari secara partisipatif dan demokratis sebagai bentuk upaya preventif. Pemetaan wilayah nagari tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota setempat. Selain itu, perlu juga membentuk kelembagaan penyelesaian konflik lintas nagari (supra-nagari) dengan menerapkan prinsip-prinsip adat untuk menyelesaikan sengketa batas nagari yang telah mencuat dengan melibatkan para pihak (multistakeholders).
Kelima, Pengaturan tentang pengakuan peradilan adat, pemetaan batas nagari dan lembaga penyelesaian sengketa batas nagari diatas dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang Nagari. Saat ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sedang menyusun Peraturan Daerah Provinsi tentang Nagari sebagai rujukan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat. Harapannya, Peraturan Daerah yang sedang disusun tersebut memasukkan muatan pengaturan tentang Peradilan adat, pemetaan wilayah nagari dan lembaga penyelesaian sengketa batas nagari tersebut.