Sabtu, April 27, 2024

Peradaban Tontonan, Fenomena Artis Masuk Senayan

Ryyan Achmad
Ryyan Achmad
Mahasiswa Hubungan Internasional | Bidang Media & Propaganda DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Malang Raya

 

Mario Vargas-Llosa pernah ngomel-ngomel, pasalnya kepala Negara dari Negara yang ia kagumi kemajuan peradabannya –Perancis- kepincut dengan seorang penyanyi kondang. Carla Bruni, memang begitu cantik dan membuat banyak laki-laki menginginkannya, salah satunya adalah presiden Perancis Nicolas Sarkozy kala itu.

Sebenarnya bukan perkara ini saja penyebab Mario Vargas Llosa ngomel-ngomel. Lebih luas, si peraih Nobel Sastra 2011 ini melihat bahwa hari ini peran orang-orang yang selama peradaban dunia ini dibangun selalu mendapat tempat di masyarakat –akademisi, filosof, politisi, sastrawan, dsb- digusur perannya. Peran mereka digantikan dengan manusia yang lebih banyak ‘ditonton’.

Mario menyebut dunia ini sedang berada di dalam peradaban tontonan. Manusia sedang berada di alam yang banal, yang menjadikan kesenangan sebagai hal yang di atas segalanya. Hiburan menjadi suatu hal  yang mutlak harus menjadi patokan dalam segala hal. Hiburan adalah modalitas yang penting di peradaban tontonan kali ini. Siapa saja yang paling banyak menghibur dan ditonton, dialah yang mendapat tempat.

Dalam percaturan politik juga demikian adanya. Baru saja, di Ukraina, seorang pelawak bernama Volodomyr Zelensky menang telak dalam pemilihan presiden. Lawannya dalam pilpres bukan sesame pelawak, tapi petahana yang telah menjabat sebagai presiden sebelumnya.

Cukup mengejutkan memang, seorang pelawak mampu mengalahkan seorang petahana dengan angka yang cukup telak. Tapi ini menjadi bukti bahwa menjadi seorang penghibur hari ini adalah modal untuk mendapat tempat istimewa dalam peradaban ini.

Di Indonesia pun tidak lepas dari peradaban tontonan, pemilu lalu menyeret sederetan nama artis untuk ikut bertarung. Walaupun ini dimulai sejak 2014 dimana Anang Hermansyah, Rieke Dyah Pitaloka, dan lain-lain sukses melenggang ke Senayan. Namun di 2019, lebih banyak artis yang ikut bertarung di Pemilu dan akan lebih banyak artis yang melenggang ke Senayan.

Pemilu 2019 adalah arena pertarungan 67 artis untuk masuk ke Senayan dan menjadi legislator. Sampai saat ini sudah ada beberapa nama yang dipastikan bakal lolos ke Senayan antara lain: Dessy Ratnasari, Rachel Maryam, Krisdayanti, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang mampu  mengalahkan politisi senior di beberapa dapil. Nama-nama ini akan terus bertambah seiring berjalannya penghitungan resmi dari KPU.

Mencari akar suksesnya artis masuk Senayan

Partai politik, yang merekomendasikan artis untuk menjadi caleg tentu tidak sepenuhnya salah. Sebagai partai politik, jelas tujuannya adalah meraup suara sebanyak-banyaknya untuk partainya agar bisa berpengaruh besar dalam pembuatan kebijakan. Dalam rangka meraih suara sebanyak-banyaknya, partai politik melihat bagaimana selera masyarakat dalam memilih caleg. Dengan kata lain, tindakan partai politik merekomendasi artis untuk menjadi caleg adalah cermin dari kemauan masyarakat itu sendiri.

Yang perlu kita telusuri adalah bagaimana selera masyarakat dalam politik hari ini adalah orang-orang dengan basic non politik? Selera masyarakat hari ini bukan berdasar atas kompetensi politik, melainkan dari seberapa terkenal dia. Bagi penulis, akar mengapa masyarakat Indonesia hari ini berlaku demikian tidak lepas dari bagaimana depolitisasi dan demobilisasi massa itu dilakukan pasca kejatuhan Sukarno.

Jika kita membaca Max Lane, kita akan menemukan bahwa di era orde lama, semua orang berpolitik, sampai-sampai partai poltik menjadi identitas utama mendahului identitas kedaerahan ataupun agama. Ini pasti terjadi, karena pada masa awal kemerdekaan jelas semua orang yang terlibat revolusi versus kolonialisme itu merasa memiliki saham atas berdirinya republic sehingga mereka memiliki visi bagaimana dan kemana Negara akan diarahkan.

Namun masyarakat yang seperti ini pun –yang langsung terkoneksi dengan pembuat kebijakan karena semua orang berpolitik- ini runtuh. Ia runtuh karena beberapa hal: karena jutaan orang dibantai karena tertuduh kader atau partisan PKI; dan strategi massa mengambang yang diluncurkan Orde Baru. Karena Orde Baru beranggapan bahwa politisasi massa menyebabkan pembangunan terhambat karena sibuk bertikai antar partai politik.

Kemudian tercipta apa yang disebut sebagai “massa mengambang” yang mudah diarahkan dalam pilihan poltik. Massa mengambang ini mudah diarahkan karena sengaja dibuat tidak terkoneksi secara langsung oleh perwakilan yang ada di tataran pembuat kebijakan. Bagi massa yang mengambang, bukan menjadi hal yang begitu penting siapa saja yang mewakili dirinya dalam pembuatan kebijakan Negara.

Oleh karena itu, pertimbangan massa mengambang dalam memilih pilihan bukan berdasar hal-hal yang serius semacam: kesamaan ideology, satu mahzhab dalam praktik agama, atau kesamaan dalam pandangan ekonomi politik. Bagi massa mengambang, boleh jadi memilih hanya berdasar pada siapa yang dikenal, siapa yang cantik, atau siapa yang suaranya merdu.

Bagaimana kita bersikap dalam peradaban ini?

Sejujurnya, perlu untuk terus ngomel-ngomel atau menggerutu seperti kakek tua Mario Vargas Llosa itu di tengah peradaban yang seperti ini. Bagi penulis, meyandarkan peradaban pada soal hiburan semata bukanlah sebuah hal yang tepat. Bagaimana mungkin umat manusia akan tetap tahu kebenaran jika orang-orang penyampai kebenaran –sastrawan, filosof, ilmuwan- tidak lagi mendapat tempat untuk didengarkan?

Namun bagi sebagian orang, ini justru peluang untuk bisa berada di puncak peradaban. Kalau anda ingin didengar banyak orang dan berpengaruh dalam Negara, tak perlu lagi stel serius. Tak perlu serius belajar bernegara, membaca buku filsafat ekonomi politik yang bikin kepala panas itu, tak perlu menumbuhkan tradisi berorganisasi yang menguras banyak energy itu, atau tak perlu memiliki ideologi.

Cukuplah dengan kawan-kawan berlatih menyanyi, mempercantik diri, skill dalam berakting, dan lain-lain sampai jadi sukses. Karena di era sekarang, hal tersebut bisa menjadi investasi politik. Karena dalam peradaban tontonan, banyak ditonton masyarakat adalah modalitas peradaban.

Sumber:

Mario Vargas Llosa. 2018. Matinya Seorang Penulis Besar. Jogjakarta: Immortal & Octopus

Max Lane. 2010. Unfinished Nation. Jogjakarta: Djaman Baroe

https://www.idntimes.com/hype/entertainment/danti/infografis-67-caleg-artis-populer-yang-bertarung-di-pemilu/full

(Photo; Partai Nasdem sebagai pengusung artis terbanyak berfoto bersama beberapa caleg artis) (Sumber: Liputan6.com)

Ryyan Achmad
Ryyan Achmad
Mahasiswa Hubungan Internasional | Bidang Media & Propaganda DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Malang Raya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.