Melalui berbagai kajian terhadap akar genealogis dan asal muasal kemajuan peradaban Barat dewasa ini, banyak pakar sejarah yang menyatakan bahwa pencapaian yang diraih Barat, tidak akan pernah seperti sekarang ini tanpa ada pengaruh dan kontribusi yang diberikan Islam, khususnya pada masa-masa kejayaannya. Philip K. Hitti misalnya memaparkan bagaimana peran dari orang-orang Islam, khususnya yang ada di Spanyol dalam upaya melahirkan pembaruan di Eropa.
Orang Islam Spanyol mengarang salah satu dari pada bab-bab yang gemilang dalam sejarah intelek pada zaman pertengahan Eropa. Di antara pertengahan abad ke-8 dan permulaan abad ke-13, orang Arab merupakan pemimpin utama dalam budaya dan peradaban seluruh dunia. Kedua bidang ini merupakan perantara untuk memulih, menambah, dan menyebar sains dan falsafah kuno yang telah memungkinkan pembaruan di Eropa Barat.
Sains Islam sebagaimana juga dinyatakan Seyyed Hossein Nasr mempunyai pengaruh besar baik di Barat. Rentang antara abad ke-11 sampai dengan abad ke-13 Masehi, banyak karya-karya besar sains Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, terutama di Spanyol, Sisilia, dan Italia. Beberapa ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina dan al-Razi menjadi nama yang sangat disegani di Barat.
Pengaruh yang diberikan peradaban muslim ini mencakup berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang matematika, al-Khwarizmi dan yang lainnya diajarkan di berbagai universitas Barat selama beberapa abad. Tabel-tabel astronomi yang dirakit di Barat dibuat berdasarkan zijes muslim. Karangan-karangan tentang aljabar yang ditulis kemudian pada abad pertengahan dan masa renaisans sebagian besar berdasar pada karya Khayyam.
Karya-karya al-kimia dan kimia secara persis dipergunakan, karena tidak ada perbendaharaan kata Latin yang sesuai dengan bidang ini. Namun, yang tidak kalah penting bahwa hampir seluruh risalah sains Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berasal dari bahasa Arab.
Proses penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin hanyalah salah satu bentuk dari pengaruh yang diberikan oleh dunia muslim. Setidaknya ada lima model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat, yaitu: pertama, melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh orang-orang Barat.
Kedua, dengan cara kunjungan atau turisme. Pada abad ke-7 M, Cordova adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan kota paling berperadaban di Eropa, dan karena itu orang-orang Eropa berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam.
Ketiga, melalui hubungan perdagangan dan politik resmi utusan yang dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa ke dunia muslim. Keempat, dengan cara menerjemahkan karya-karya ilmiah orang Islam. Monastri-monastri Eropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad ke-12 dan ke-13 M memiliki ruangan penyimpan mansukrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiah orang Islam untuk mereka terjemahkan.
Kelima, melalui pendirian sekolah bagi para penerjemah di Toledo oleh raja-raja Eropa dalam rangka kelancaran proses penerjemahan, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. Tujuannya adalah untuk menggali ilmu Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas daerah kekuasaan muslim tersebut.
Warisan paradigma orang muslim
Sementara itu, ada yang menyatakan bahwa setelah mewarisi paradigma keilmuan dasar dari orang muslim, orang Barat kemudian membekali dirinya dengan ilmu yang dengan segala cara bertransformasi agar siap menyambut revolusi sains. Proses terpenting dari transformasi keilmuan ini adalah institusionalisasi. Orang Eropa membentuk institusi universitas. Aktivitas ini menjadi fondasi sains sejak abad pertengahan hingga sekarang ini.
Di universitas, ilmu dan sains diatur dengan baik. Filsafat natural lebih unggul di Barat karena dapat menyerap karya-karya ilsafat agung ke dalam ilmu. Selain itu, dalam kelembagaan ini diperoleh kebebasan yang dinikmati oleh pengajar dan pelajar di universitas. Di samping penerjemahan dan universitas, faktor lainnya yang memungkinkan majunya tradisi keilmuan di Eropa adalah munculnya golongan ahli Filsafat-teologi.
Mereka berperan utama dalam menyokong Filsafat sebagai lapangan studi yang penting. Pada dasarnya merekalah yang menyelamatkan ilsafat dari kemarahan gereja. Dibandingkan kolega mereka di dunia Islam yang “memusuhi” Filsafat, ahli teologi di Barat mencari kompromi antara Filsafat dan teologi. Bahkan, jika perlu teologi memakai ide-ide Filsafat.
Fakta pertautan Filsafat dan ahli teologi inilah yang menjelaskan paradoks mengapa Filsafat Aristoteles yang tidak disukai Gereja dapat tumbuh di universitas abad pertengahan, padahal saat itu universitas di bawah perlindungan Gereja. Begitu menyokong Filsafat, para ahli teologi ini memberikan fasilitas studi di universitas.
Bahkan, mereka menjadikan Filsafat menjadi syarat bagi pelajar yang ingin meraih gelar teologi dan diharuskan mendapatkan nilai tinggi dalam Filsafat. Maka wajar kemudian apabila para saintis terkenal masa itu pada saat yang sama juga ahli teologi. Sosok seperti Magnus, Robert Grosseteste, Joh Pecham, Theodoric dari Freiberg, Thomas Brandwardine, Nicole Oresme, dan Henry dari Langenstein mewakili fakta ini.
Suasana damai di Eropa menjelang abad ke-17 Masehi sangat mendukung aktivitas keilmuan di sana. Stabilitas sosial dan politik juga berarti stabilitas mental, yang tanpanya kemajuan intelektual tidak akan terwujud. Eropa Barat tidak pernah mengalami teror seperti dialami dunia muslim yang dilakukan bangsa Mongol dan pasukan Salib. Kemakmuran ekonomi juga berkaitan erat dengan suasana damai di Eropa.
Kota-kota di sana pada umumnya lebih makmur dibandingkan dengan kesultanan di dunia muslim. Orang Eropa menemukan dunia melalui lautan dan daratan, bukan hanya sekadar rencana lahirnya ide-ide gemilang dan sumber kemakmuran ekonomi atau misi suci keagamaan dengan semboyan gold, gospel, dan glory, tetapi juga sebuah petualangan untuk mencari ilmu.
Berangkat dari pengaruh besar yang disuntikkan oleh kebudayaan muslim di samping tentu saja proses internal yang berlaku dalam kebudayaan Barat sendiri, telah melahirkan berbagai gerakan revolusi yang berhubungan erat dengan semangat untuk terus melakukan berbagai kajian dan terobosan di bidang ilmu.
Penguasaan yang mumpuni di bidang ilmu inilah yang kemudian diyakini memainkan peranan penting dalam mengantarkan peradaban Barat untuk menjadi superior sebagaimana dahulu juga berlaku pada peradaban muslim.
Demikian juga penguasaan pada bidang ilmu sains inilah sebagaimana dijelaskan Cemil Akdoga, yang menjadi rahasia sejati kemajuan Barat. Ia merupakan kerja abstrak yang berbuah pada kemampuan teknologi. Secara salah kaprah, bangsa-bangsa Islam menurut Akdogan mengidentiikasi peradaban Barat dengan piranti teknologi seperti kendaraan, alat-alat listrik, televisi, radio, telepon, pesawat, senjata nuklir dsb., dan kemudian mencoba mengimitasinya yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.
Kemampuan teknologi Barat adalah aplikasi pengetahuan ilmiah. Tanpa penguasaan landasan ilmiah, hanya memproduksi piranti-piranti teknologi melalui imitasi sangatlah berisiko. Apabila hal ini dipaksakan, maka bangsa-bangsa muslim tidak akan pernah dapat berhasil mengambil alih kepemimpinan ilmiah dari Barat, supremasi Barat dalam teknologi berbasis sains akan terus berlanjut.
Dengan penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang berbasis sains ini, kemajuan Barat berkembang dengan sangat pesat tanpa dapat dibendung lagi. Dewasa ini, bahkan para ilmuwan mereka sering kali mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan ataupun industri-industri, dan juga mendapatkan posisi-posisi tinggi pada hampir setiap cabang pemerintahan. Sebagai misal di Amerika Serikat, mereka memberikan nasihat kepada Presiden dan Kongres, khususnya tentang isu-isu penting yang bersifat ilmiah. Wallahu a’lam bisshawab.