Minggu, Oktober 13, 2024

Penyair Melankolis dan Sajak Sebatang Lisong

Andika Pratama Putra
Andika Pratama Putra
Mahasiswa yang berdiri di persimpangan kiri jalan

Menilik beberapa hari ke belakang saya merasa ada kejanggalan dengan kita, generasi muda. Saya melihat banyak sekali puisi tentang cinta dan patah hati di sosial media. Tentu, saya tidak mempermasalahkan itu, toh itu semua kegelisahan dan keresahan hati teman-teman semua yang dituangkan menjadi puisi atau tulisan.

Bahkan sejak dahulu penyair seperti Sapardi juga selalu membuat puisi bernuansa cinta. Tapi, satu kejanggalan yang membuat saya merasa harus menulis ini adalah minimnya apresiasi terhadap tulisan-tulisan yang berbau kemanusiaan, keadilan, perjuangan, ketuhanan dan lain sebagainya ketimbang dengan tulisan-tulisan cinta, galau dan patah hati. Bahkan di toko buku pun lebih laku buku cinta-cintaan dari Wattpad ketimbang buku yang memang benar-benar ditulis dengan keseriusan dan riset mendalam.

Saya merasa ini bukan masalah sekarang, tapi bisa berdampak di kemudian hari terhadap kita generasi-generasi penerus. Sekarang memang masih banyak sastrawan atau penyair senior yang masih terus mengibarkan panji kebenaran, melantunkan ayat keadilan.

Namun, mereka semua sebentar lagi akan disetubuhi oleh tanah dan bergantilah kita yang meneruskan panji serta ayat mereka. Pertanyaannya apakah kita bisa?

Melihat minimnya keinginan penyair atau penulis sekarang menulis sebuah kritik sosial membuat saya gamang, apalagi penikmat juga minim apresiasi terhadap karya-karya tersebut. Rasanya kita seperti menyia-nyiakan kepak sayap W.S Rendra yang sudah ia tulis di puisi-puisinya. Bukan hanya Rendra, tapi seluruh penyair dan penulis yang berjuang demi kemanusiaan.

Sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan hal ini dan menyalahkan kita semua. Hanya, bagi saya hal seperti ini tidak boleh kita biarkan berlarut-larut. Karena, bukankah apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita rasakan, apa yang kita baca akan membentuk jati diri kita?

Kalau setiap hari kita disuguhkan dan lebih tertarik terhadap tulisan berbau cinta, rasa galau, patah hati, kekecewaan dan sebagainya, apakah tidak mungkin kita kelihangan taring dan menjadi ‘Penyair Melankolis’ terus menerus? Apa jadinya sastra, seni & TIM kalau hanya diisi oleh kita-kita penyair jidat salon yang sibuk bersajak tentang anggur dan rembulan? (saya kutip dari puisi W.S Rendra berjudul Sajak Sebatang Lisong). Ternyata, hal-hal seperti ini pun sudah diperkirakan W.S Rendra sejak tahun 70an.

Terakhir, sebagai penutup saya akan kutip sedikit puisi W.S Rendra:

inilah sajakku

pamplet masa darurat.

apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

Semoga kita bisa menjadi generasi penerus sekaligus pelurus. Karena, seperti dikatakan oleh Roem Topatimasang, “Literasi bukan hanya sekadar membaca teks, melainkan diartikan pula sebagai kemampuan membaca keadaan sekitar.”

Bagi teman-teman yang masih tidak tergugah mari ramai-ramai kita baca sebuah puisi karya W.S Rendra, Sajak Sabatang Lisong. Tabik.

Andika Pratama Putra
Andika Pratama Putra
Mahasiswa yang berdiri di persimpangan kiri jalan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.