Hukum dapat dilihat melalui pandangan politis dan akademis. Kedua pandangan tersebut memiliki batasan dan peran masing-masing yang cenderung belum dipahami masyarakat umum di Indonesia.
Hukum selalu menjadi topik panas dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Topik hukum semakin populer ketika berbicara para pemegang kekuasaan, yang memiliki unsur politis di dalamnya. Hal itu karena pemegang kekuasaan dapat mengarahkan bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat. Sementara itu, hukum sendiri sudah sejak dulu menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi. Pengembangan tersebut bahkan menciptakan ilmu hukum sebagai cabang teoritis dari hukum itu sendiri.
Dalam pandangan Penulis, hukum dalam perspektif politis dan akademis memiliki pengaruh dan dinamika yang berbeda dalam masyarakat. Jika keduanya melanggar batasan masing-masing, maka dapat menimbulkan persoalan.
Sebagai contoh, pada tahun 2020 lalu, ada salah satu komunitas Fakultas Hukum UGM yang menerima serangan berupa teror akibat mengadakan diskusi mengenai pemberhentian Presiden dari jabatannya. Pengirim teror tersebut mengaku berasal dari salah satu ormas. Padahal, diskusi tersebut bersifat akademis, bukan politis. Artinya, ada masyarakat yang belum memahami perbedaan antara diskusi politis dan akademis.
Bagaimana Hukum di Lihat Secara Politis?
Politis adalah segala hal yang berkaitan dengan politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik adalah segala bentuk urusan dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintahan, baik terhadap negara sendiri maupun terhadap negara lain. Tindakan tersebut tentunya membentuk suatu power atau kekuasaan. Sebagai contoh, dalam pemilihan umum (pemilu), partai politik yang memperoleh suara terbanyak akan menduduki kursi pemerintahan yang berkuasa.
Kekuasaan yang telah diperoleh tersebut, tentu memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membentuk hukum di masyarakat. Kekuasaan yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Maka dari itu, secara politis pemerintah yang berkuasa akan memengaruhi apa dan bagaimana hukum yang berlaku di masyarakat.
Bagaimana Hukum dalam pandangan akademis?
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum muncul sebagai salah satu kaidah sosial karena adanya konflik atau bentrokan antarkepentingan di masyarakat. Dengan kata lain, hukum diharapkan dapat memberikan kondisi ideal dalam masyarakat agar merasa aman untuk menjalankan kepentingannya masing-masing.
Sebagai contohnya, pabrik yang menghasilkan limbah harus mematuhi Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu tujuannya agar tidak berdampak buruk bagi masyarakat sekitar pabrik. Dalam contoh ini ada kepentingan pabrik untuk melanjutkan produksi dan kepentingan masyarakat sekitar untuk hidup. Tentunya kepentingan keduanya harus diakomodasi dalam hukum yang ada.
Apakah keduanya harus selalu terpisah?
Tentu tidak selamanya pandangan politis dan akademis harus dipisah. Dalam banyak kasus, justru keduanya harus dilihat secara seimbang. Jika diibaratkan sebagai sebuah rumah, keduanya memiliki kamar masing-masing.
Jika salah satu diantaranya masuk ke kamar yang lain tanpa izin dan tidak pada waktu yang tepat, maka akan timbul konflik. Akan tetapi, di luar itu keduanya tetap bertanggungjawab atas keamanan dan kenyamanan seluruh bagian rumah tersebut. Kata “rumah” di sini adalah hukum yang harus dijaga fungsinya demi kepentingan masyarakat. Sementara, kata “kamar” yang dimaksud adalah hukum dalam kamar politis dan kamar akademis.
Contoh sederhananya, dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Naskah Akademik (NA), yang berhak untuk mengajukan rancangan adalah DPR, DPD, dan Presiden. Akan tetapi, dalam prosesnya terdapat kontribusi ahli dan peneliti yang memiliki pandangan akademis.
Dengan demikian, RUU dan NA yang dibentuk memiliki pandangan keilmuan yang objektif, sehingga fungsi hukum itu sendiri tetap terjaga demi kepentingan masyarakat umum. Namun, perlu diingat pula yang memiliki wewenang untuk mengesahkan Undang-Undang adalah Presiden yang jabatannya bersifat politis.
Melalui contoh di atas, baik pandangan politis maupun akademis saling membutuhkan demi menjaga fungsi hukum itu sendiri. Batasan yang dimaksud tidak selalu berarti terpisah, tetapi menjaga porsi keduanya dalam berkontribusi untuk keseimbangan dalam pembentukan dan penegakan hukum itu sendiri. Tentunya dalam konteks ini, bukan hanya pejabat publik, akademisi, atau mahasiswa yang harus memahaminya, tetapi juga masyarakat umum.