Kamis, April 18, 2024

Pengeras Suara Tak Seharusnya SARA

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan yang  membutuhkan jawaban jujur pembaca; “Pernahkah suatu hari Anda merasa terganggu dengan pengeras suara dari salah satu rumah ibadah tertentu?

Bayi yang sedang tertidur lelap tiba-tiba bangun karena suara tak merdu dari seseorang yang melantunkan shalawat dari musala deket rumah Anda? Apa yang anda lakukan; menggerutu namun tak bisa berbuat apa-apa atau lapor ke Ketua RT karena insiden tersebut?

Baru-baru ini, Meiliana, warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, telah divonis bersalah dan dipenjara oleh hakim Pengadilan Negeri Medan selama satu tahun enam bulan karena persoalan pengeras suara (21/8/2018). Ia dianggap telah melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.

Beberapa tahun sebelumnya, 2015, netizen di jejaring sosial, khususnya, ribut-ribut  pro kontra soal pembatasan suara masjid yang ‘difatwakan’ Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Menurut hemat beliau pengeras suara dari masjid harus dibatasi karena di satu sisi dapat mengganggu warga lain yang tak sepaham dengan mereka.

Jauh sebelumnya, 20 Februari 1982, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menulis sebuah esai di Majalah Tempo yang berjudul ‘Islam Kaset’ dengan Kebisingannya (Gus Dur). Sebuah judul yang agak mengejutkan dan memicu penasaran sekaligus mengundang pro kontra.

Penggalan tulisan Gus Dur yang mengandung pro kontra tersebut, misalnya “Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Al Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih terasa akibatnya: kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk pikuk itu, bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?”

Dari tiga contoh kasus yang dipaparkan di atas, tentu dengan waktu dan tempat yang berbeda pula, menunjukkan bahwa sejarah akan terus berulang mengiringi putaran zamannya. Namun, jika kita merujuk pada Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala, di sana termaktub syarat-syarat penggunaan pengeras suara, antara lain pengguna pengeras suara adalah orang-orang yang terampil dan bukan orang yang mencoba-coba atau masih belajar.

Jelas dan terang benderang aturannya. Hal ini diberlakukan agar tidak ada suara berisik, bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teratur dan tertatanya suatu masjid, langgar, atau musala. Ada yang bertanggungjawab terhadap eksistensi dan operasional suatu tempat ibadah.

Tak dipungkiri, ada juga argumentasi lain yang justru tak seiring dengan kebijakan di atas. Argumentasi tersebut lahir dari sekelompok ulama atau ahli tafsir yang menginginkan syiar Islam terus berlangsung. Menurutnya, dengan media pengeras suara tersebut lantunan ayat suci Al-Qur’an, shalawat, puji-pujian dan sejenisnya bisa terdengar oleh masyarakat sekitar dengan tujuan menambah dan memupuk keimanan juga kesalehan seseorang.

Ada satu petikan Gus Dur, masih dalam tulisan “Islam Kaset dengan Kebisingannya” yang seolah mendukung argumentasi mereka, yaitu; Bacaan Al Quran, tarhim dan sederet pengumuman, muncul dari keinginan menginsafkan kaum musilimin agar berperilaku keagamaan lebih baik. Bukankah shalat subuh adalah kewajiban? Bukankah kalau dibiarkan tidur orang lalu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga? Kalau memang suara lantang yang mengganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan(nahi munkar)?”

Namun, argumentasi skolastik yang dibangun tersebut sangat lemah, ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban salat, kewajiban menegur kesalahan dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang berkeberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama atau harus dipertanyakan keberpihakannya kepada ajaran Islam, artinya ia termasuk muslim yang ragu akan agamanya sendiri.

Satu hal yang luput dari argumentasi model demikian adalah tak melihat ‘illat (ada sebab lain yang sah menurut agama). Kata Gus Dur, memang tidak ada larangan syiar agama dari negara, bahkan diperintahkan oleh agama agar nilai-nilai Islam tersebar dan Islam menjadi jaya di bumi. Namun, ada persoalan lain yang harus diperhatikan juga.

Toleransi, hidup berdampingan dengan yang liyan (the other) secara rukun, damai dan harmonis juga merupakan perintah agama, pula urusan agama. Jadi harus lebih komprehensif melihat dan memperlakukan persoalan, jangan parsial. Islam bukan merupakan agama yang kaku dan keras, ia menghormati dan memahami orang lain, santun dan mulia.

Lantas kenapa persoalan ini muncul kembali di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini? Bukankah toleransi, tepok seliro, bhineka tunggal ika menjadi ruh kita selama ini dalam berbangsa dan bernegara, kenapa harus robek dan terkoyak begitu saja? Kenapa harus ada korban atas nama penistaan agama lagi? Sungguh menjadi sebuah renungan dan pekerjaan rumah bagi kita semua. Pemerintah harus hadir melindungi warga negaranya yang menjadi “korban” kekerasan atas nama agama.

Menurut penulis, kasus di atas harus segera dicarikan solusi terbaiknya. Bertemu, konfirmasi, dialog dan diskusi antarpihak adalah usaha awal merundingkan sebuah perkara dalam rangka mendapatkan titik temu. Pastikan kasus ini tak akan terulang di tahun-tahun mendatang.  Egoisme agama jangan sesekali dijadikan alasan untuk mengangkat harkat dan derajat agama yang sudah tinggi sejak awal. Egoisme individu juga tak elok dibuncahkan secara vulgar di hadapan publik tanpa syarat. Jangan karena alasan menuntut hak pribadi kemudian ia bersembunyi di balik HAM.

Setiap individu, pemeluk agama apapun tak terkecuali, harus arif dan bijak saat memilih teknologi atau peralatan untuk menyi’arkan agamanya di tengah masyarakat yang plural. Suara dari alat pengeras hendaknya ditinjau ulang dan dievaluasi. Apakah sumber sebaran suara sudah memperhatikan rambu-rambu sosial atau belum.

Hal ini demi menjaga kebhinekaan agar terus harmonis dan damai. Pendekatan yang dilakukan harus memenuhi kenyamanan bersama. Memahami yang liyan (the other) pada hakikatnya sedang memahami diri sendiri. Memahami diri sendiri adalah kunci memahami Tuhan. Meniru sifat Tuhan yang rahmaan dan rahiim mengantarkan setiap kita kepada keluhuran ajaran yang kita peluk dan yakini selama ini. Pesan terakhir untuk kita semua adalah; mulai detik ini, hari ini pengeras suara di rumah ibadah segera kembali ditata.

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.