Pasca reformasi, otonomi daerah di Indonesia merupakan langkah konkret dalam menanggapi tuntutan masyarakat terkait pembagian kekuasaan, distribusi pendapatan, dan pemberdayaan. Kebijakan desentralisasi serta pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab bertujuan untuk memperkuat pengelolaan serta administrasi pemerintahan daerah.
Pemikiran Robertus Robert tentang Republikanisme, negara ideal adalah negara yang membangun tatanan politik berdasarkan partisipasi aktif warganya dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks pengelolaan SDA, prinsip ini menuntut adanya perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah, serta keterlibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya secara adil dan berkelanjutan. Namun, realitas yang terjadi adalah adanya sentralisasi berlebihan yang menghambat partisipasi aktif daerah dan rakyat dalam mengelola SDA.
Dengan adanya otonomi, pemerintah daerah memiliki kesempatan untuk lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan meningkatkan efektivitas manajemennya. Melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 Ayat (5) menyatakan bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya. Ini berarti bahwa daerah seharusnya memiliki kapasitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan Kebijakan Fiskal Daerah. Namun, pada praktiknya, otonomi daerah masih terbatas dan sering kali dihambat oleh regulasi dari pemerintah pusat yang mengendalikan sektor-sektor strategis.
Ni’matul huda dalam bukunya “Otonomi Daerah”, Desentralisasi akan dapat terlaksana apabila kewenangan pemerintahan tidak hanya diberikan melalui pemerintah pusat, melainkan diberikan juga kepada pemerintahan yang lebih rendah yang mandiri, seperti pemerintahan daerah provinsi/kabupaten yang bersifat otonomi (teritorial maupun fungsional).
Berkaitan dengan otonomi terbuka peluang untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri demi percepatan kesejahteraan rakyatnya khususnya di daerah. Namun dalam pengelolaan SDA terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang sering kali tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah justru menarik beberapa kewenangan strategis, termasuk sektor pertambangan dan kehutanan, kembali ke pusat. Hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Desentralisasi Kebijakan Fiskal
Hubungan antara pusat dan daerah dalam konteks SDA sering kali bersifat hierarkis, bukan koordinatif. Pemerintah pusat cenderung mempertahankan kontrol penuh terhadap SDA dengan alasan kepentingan nasional, sedangkan daerah merasa dirugikan karena mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengelola potensi alamnya sendiri.
Kasus nyata yang mencerminkan ketegangan ini adalah sengketa antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat terkait pengelolaan reklamasi pantai dan tata ruang. Di bidang pertambangan, kebijakan pemerintah pusat yang memberikan izin eksplorasi kepada perusahaan besar sering kali mengabaikan peraturan daerah yang lebih berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal.
Tumpang tindih ini sering menjadi tarik menarik antara pemerintah pusat dan daerah. Begitupun dalam hal kebijakan fiskal yang diberikan oleh UU untuk daerah dapat mengelola kebijakan keuangannya masing-masing dengan semangat otonom. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi resmi dimulai pada 1 Januari 2001, ditandai dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD).
Sejak saat itu, kedua regulasi tersebut telah mengalami beberapa kali revisi, dengan yang terbaru adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Sebagai akibatnya, pemerintah daerah memperoleh kewenangan dalam berbagai sektor, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiskal, serta keagamaan. (Joko Tri Haryanto, 2017).
Desentralisasi fiskal telah memberikan dampak positif bagi otonomi daerah di Indonesia, meskipun belum memiliki pengaturan khusus dalam undang-undang. Instrumen hukum yang ada saat ini berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, mengembangkan kegiatan ekonomi lokal, serta menjadi dasar dalam penyusunan regulasi terkait desentralisasi fiskal di masa depan. Kebijakan ini memberi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi ekonominya dalam menyelesaikan berbagai tantangan.
Dengan demikian, pemerintah daerah dapat merancang peraturan yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayahnya, sehingga keputusan yang diambil lebih relevan dan mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu, hubungan antara ketimpangan dan tuntutan otonomi bersifat kompleks dan sangat bergantung pada karakteristik masing-masing daerah. (Adissya Mega Christia, 2019).
Desentralisasi fiskal memiliki peran krusial dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, karena menjadi salah satu instrumen bagi pemerintah daerah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Namun, penerapannya masih menghadapi berbagai kendala, seperti pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang belum maksimal, praktik korupsi, pengawasan dari Pemerintah Pusat, serta minimnya partisipasi masyarakat. Saat ini urgent untuk memberikan secara lex specialis untuk mengatur kebijakan desentralisasi kebijakan daerah dalam otonomi daerah yang diharapkan lebih memberikan kepastian hukum.
Perjalanan desentralisasi fiskal di Indonesia masih menghadapi berbagai kelemahan dan kendala, baik dari segi konsep maupun pelaksanaannya. Beragam regulasi yang saling bertentangan turut menghambat efektivitas implementasi desentralisasi di Indonesia. (Hendra Kusuma, 2016). Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan SDA. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan otonomi fiskal yang lebih besar, memperjelas pembagian kewenangan dalam undang-undang, serta memastikan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Kesimpulan
Dualisme dalam pengelolaan SDA antara pemerintah pusat dan daerah mencerminkan dilema dalam implementasi desentralisasi di Indonesia. Di satu sisi, desentralisasi bertujuan untuk memberikan kemandirian kepada daerah, tetapi di sisi lain, pemerintah pusat tetap mempertahankan kendali atas sektor-sektor strategis. Hal ini menghambat tujuan utama otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil.
Sebagai solusi, perlu ada reformulasi kebijakan yang lebih berpihak pada prinsip republikisme, yaitu memberikan ruang lebih besar bagi daerah dan masyarakat dalam pengelolaan SDA. Serta Desentralisasi fiskal yang memungkinkan daerah memperoleh manfaat lebih besar dari SDA mereka dan memberikan kepastian hukum dengan aturan khusus terkait dengan desentralisasi kebijakan fiskal.