Tidak jarang seseorang mengalami dorongan untuk tidak masuk kerja setelah bangun tidur, yang kerap dipicu oleh bayangan mengenai lingkungan kerja yang kurang kondusif. Meskipun kebutuhan finansial tetap menjadi pertimbangan utama, keinginan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dapat muncul sebagai respons terhadap tekanan tersebut. Fenomena ini bukan hanya persoalan individual, melainkan mencerminkan tren yang lebih luas di dunia kerja.
Berdasarkan laporan State of the Global Workplace 2024 yang dirilis oleh Gallup, sebanyak 52% responden asal Indonesia secara aktif mencari pekerjaan baru. Persentase ini menempatkan Indonesia pada peringkat keempat tertinggi di kawasan Asia Tenggara dalam hal intensi berpindah kerja. Temuan ini menunjukkan adanya tingkat ketidakpuasan yang cukup signifikan di kalangan tenaga kerja Indonesia. Beberapa faktor yang diduga berkontribusi terhadap kondisi ini antara lain ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, beban kerja yang berlebihan, budaya kerja yang tidak sehat, serta terbatasnya peluang pengembangan karier.
Keinginan untuk mengundurkan diri dari suatu tempat kerja umumnya didasari oleh alasan dan latar belakang tertentu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alhimni (2024) menunjukkan bahwa salah satu alasan paling umum di balik keputusan karyawan untuk berpindah kerja adalah kondisi lingkungan kerja. Lingkungan kerja mencakup berbagai aspek dalam perusahaan, termasuk hubungan dengan atasan, rekan kerja, serta kondisi organisasi secara keseluruhan.
Salah satu istilah yang relevan dalam konteks ini adalah burnout, yaitu kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental akibat stres berkepanjangan di lingkungan kerja, yang dapat disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan maupun lingkungan yang tidak mendukung.
Selain itu, terdapat pula istilah toxic work culture, yaitu budaya kerja yang tidak sehat, menimbulkan stres, dan menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman. Berbagai istilah tersebut merepresentasikan kualitas lingkungan kerja yang kurang ideal dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu, banyak perusahaan mulai mengembangkan program employee well-being guna menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, meningkatkan rasa keterikatan, serta mendorong karyawan untuk bekerja secara optimal.
Sebelum pembahasan dilanjutkan, penting untuk memahami konsep employee well-being. Secara sederhana, employee well-being dapat diartikan sebagai bentuk kesejahteraan yang dialami oleh karyawan.
Menurut Zheng et al. (2015), employee well-being mencakup tiga dimensi utama, yaitu: (1) life well-being, yang meliputi aspek perawatan diri dan keluarga; (2) workplace well-being, yang mencakup elemen-elemen yang berhubungan langsung dengan pekerjaan seperti tunjangan dan perlindungan ketenagakerjaan; serta (3) psychological well-being, yang mencakup pertumbuhan pribadi dan aktualisasi diri.
Berbagai faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dapat memengaruhi tingkat employee well-being, di antaranya tingkat otonomi dan fleksibilitas kerja, durasi hari kerja, frekuensi kerja shift, serta kualitas interaksi antara atasan dan rekan kerja. Faktor-faktor tersebut secara keseluruhan memainkan peran penting dalam menciptakan pengalaman kerja yang sehat dan produktif bagi karyawan.
Salah satu faktor internal yang terbukti memberikan dampak positif terhadap employee well-being adalah perceived organizational support atau dukungan organisasi yang dirasakan, yang juga berkaitan dengan motivasi intrinsik.
Penelitian yang dilakukan oleh Alifiyah (2023) menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan pendekatan well-being dapat terlihat dari tingginya tingkat employee well-being, yaitu sebesar 98,9%, pada 182 dosen di perguruan tinggi berbasis agama di Kota Bandung. Dalam penelitian tersebut, perceived organizational support memberikan kontribusi sebesar 27,4% terhadap tingkat employee well-being para dosen.
Dukungan organisasi yang dirasakan mencakup perlakuan institusi terhadap dosen sebagai aset berharga, serta berbagai upaya institusi dalam mengembangkan potensi dan mempertahankan tenaga pendidik. Tindakan-tindakan tersebut terbukti berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dosen, baik dalam dimensi subjective well-being, workplace well-being, maupun psychological well-being.
Alasan pentingnya penerapan employee well-being didukung oleh temuan dari Institute for Health and Productivity Studies, yang menyatakan bahwa karyawan dengan kondisi fisik, emosional, dan mental yang baik cenderung mampu memberikan kinerja yang lebih optimal di tempat kerja dibandingkan dengan karyawan yang kesejahteraannya rendah.
Selain itu, karyawan yang sehat dan bahagia tidak hanya memiliki kualitas hidup yang lebih baik, tetapi juga menunjukkan peningkatan produktivitas kerja serta kontribusi yang lebih besar terhadap komunitas mereka. Hal ini diperkuat oleh studi berjudul Participatory Action Research in Corrections: The HITEC 2 Program, yang dilakukan oleh Pusat Promosi Kesehatan di Tempat Kerja New England bekerja sama dengan Departemen Pemasyarakatan Connecticut.
Studi tersebut menjadi salah satu contoh keberhasilan penerapan pendekatan employee well-being melalui program kolaboratif peningkatan kesehatan berbasis kontrol karyawan (Health Improvement Through Employee Control/HITEC). Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petugas pemasyarakatan-populasi yang memiliki tingkat risiko tinggi terhadap gangguan kesehatan mental dan penyakit kronis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiatif peningkatan kesehatan yang dirancang oleh karyawan menghasilkan tingkat partisipasi yang lebih tinggi dan hasil kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan inisiatif yang sepenuhnya dirancang oleh pihak administrasi.
Meskipun telah terdapat berbagai contoh penerapan employee well-being yang berhasil, perusahaan tetap menghadapi sejumlah tantangan yang cukup umum. Beberapa di antaranya meliputi kebutuhan alokasi dana yang lebih besar, perlunya pengawasan yang konsisten untuk mengukur efektivitas program, serta hambatan kultural seperti budaya kerja yang kurang sehat, misalnya kecenderungan untuk mengutamakan lembur dan jam kerja yang panjang.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa penerapan employee well-being tidak dapat dilakukan secara instan atau tanpa strategi yang terencana. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasan yang matang agar program atau kebijakan yang diterapkan benar-benar mampu mencapai tujuan utamanya, yakni meningkatkan kesejahteraan karyawan secara menyeluruh.