Kamis, Maret 28, 2024

Pengaruh Burnout Syndrome terhadap Kualitas Belajar Siswa

Nora Almas
Nora Almas
Airlangga University's Student

Dewasa ini, dunia kerja dan pendidikan menjadi semakin padat dengan berbagai aktivitas. Terutama di masa pandemi ini, hampir semua aktivitas dilakukan melalui alat komunikasi digital. Dalam dunia pendidikan misalnya.

Pengajar dan pelajar diharuskan untuk menatap layar ponsel selama kegiatan belajar mengajar secara daring. Aktivitas ini menuntut tenaga kerja dan pelajar untuk tetap bugar dan sehat secara mental dan fisik. Padahal seperti yang diketahui, layar ponsel dan alat komunikasi digital sejenis lainnya memiliki tingkat radiasi yang cukup tinggi. Membayangkan aktivitas ini dilakukan secara berulang, terus menerus, dan dalam waktu yang cukup lama, tidak mengherankan jika mereka mulai menunjukkan gejala burnout (Ruci Pawicara, 2020).

Herbert J Freudenberger merupakan peneliti yang pertama kali mengemukakan istilah Burnout. Menurut Herbert dalam (Freudenberger, 1989), Burnout adalah suatu bentuk kelelahan baik secara fisik maupun psikis yang merupakan efek samping seseorang bekerja terlalu intens, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama.

Gejala burnout muncul sebagai respons terhadap stress berkepanjangan yang diderita oleh seseorang. Biasanya, hal ini dialami oleh tenaga kerja dan pelajar yang menghadapi aktivitas yang sama setiap harinya. Ditambah dengan keberadaan pekerjaan dan tugas yang berat dan monoton membuat gejala ini semakin kuat menyerang pihak terkait.

Burnout Syndrome yang diakibatkan oleh stress yang menumpuk memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kualitas belajar siswa. Rata-rata siswa yang mengalami burnout merupakan siswa aktif organisasi, mahasiswa semester akhir yang sedang menjalankan skripsi, dan mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Burnout dalam bidang akademik dapat menyebabkan pola pikir dan kecenderungan berperilaku pelajar berubah menjadi negatif dan dapat merugikan penderita (Fitri Arlinkasari, 2017). Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk terjadi. Siswa senantiasa dituntut untuk mempertahankan nilai akademik yang baik di samping tetap aktif mengikuti kegiatan non-akademik dari sekolah.

Guru kerap memberikan bermacam-macam tugas yang cukup banyak sekaligus berat dalam kurun waktu berdekatan. Siswa yang belum terbiasa dengan jadwal kegiatan yang padat pun kewalahan. Terutama siswa yang aktif mengikuti organisasi, lomba, dan lain sebagainya. Secara perlahan nilai akademik pun ikut jatuh. Namun hal ini bukanlah masalah yang cukup besar dibandingkan rasa stress yang dialami oleh siswa tersebut. Selain menurunkan kualitas belajar siswa, burnout berpotensi menyebabkan perilaku menyimpang lainnya (Bamba, 2016).

Diantaranya bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas, bullying sebagai pelampiasan stress, hingga yang paling parah yakni bunuh diri. Ketika burnout sudah menunjukkan gejala stress kronis yang parah, tetapi tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin burnout menyebabkan timbulnya gejala fisik (Scott, 2020). Gejala tersebut dapat meliputi sakit kepala, masalah pencernaan, dan lain sebagainya.

Pengamatan dengan metode analisis studi kasus mempertemukan penulis dengan beberapa kasus diakibatkan burnout akademik, diantaranya yang paling menarik untuk diangkat, yakni kasus mahasiswa bunuh diri. Melansir dari sebuah laman berita online, mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa abadi, julukan bagi mahasiswa yang menjalani kuliah melebihi waktu kuliah pada umumnya, di Samarinda, Kalimantan Timur yang diduga mengalami depresi karena tak kunjung lulus lantaran skripsinya sering ditolak dosen.

Kemungkinan stress berkepanjangan ini juga menjadi faktor penghambat mahasiswa tersebut dalam menyelesaikan skripsi dikarenakan terjadinya penurunan kualitas kinerja otak dalam berpikir. Selain kasus ini, terdapat pula kasus di mana mahasiswa yang merasa salah jurusan memutuskan drop out karena tidak sanggup mengikuti arus pembelajaran di jurusan tersebut. Perasaan tertinggal inilah yang menyebabkan mahasiswa mengalami burnout akademik sehingga lebih memilih untuk pindah jurusan atau bahkan berhenti kuliah.

Beberapa situs yang membahas mengenai cara mengatasi stress (seperti halodoc.com, hellosehat.com, dsb) menyarankan “waktu refreshing” sebagai solusi dalam mengatasi gejala burnout syndrome. Oleh karenanya, penulis menyimpulkan bahwa memanfaatkan keberadaan hari libur dengan baik dapat menjadi solusi yang cukup tepat untuk menekan perkembangan isu burnout pada mahasiswa penderita burnout. Merupakan hal baik jika tenaga pendidik tidak memberikan tugas untuk dikerjakan mandiri di rumah selama masa liburan berlangsung. Dengan demikian, kasus burnout dan dampak yang diakibatkan olehnya dapat diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA

Ruci Pawicara, M. C. (2020). Analisis Pembelajaran Daring Terhadap Kejenuhan Belajar Mahasiswa Tadris Biologi IAN Jember di Tengah Pandemi Covid-19. ALVEOLI : Jurnal Pendidikan Biologi Vol. 1, 29-38.

Freudenberger, H. J. (1989). Burnout: Past, present, and future concerns. Loss, Grief & Care, 3(1-2), 1-10.

Fitri Arlinkasari, S. Z. (2017). Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, 81-102.

Bamba, M. (2016). Stress Management and Job Performance in the Industries Sector of Mali. Journal of Service Science and Management, Vol 9, 189-194.

Nora Almas
Nora Almas
Airlangga University's Student
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.