Seorang muslim dituntut untuk selalu belajar dan berikhtiar, agar senantiasa dekat dengan Allah, menjalankan yang ma’ruf dan menjauhi kemungkaran. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Nabi Muhammad SAW bersabda yang isinya kurang lebih begini, “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap insan (orang atau individu) muslim.”
Namun kini banyak yang kontradiktif, banyak muslim yang mengaku beragama dan meneladani Nabi Muhammad, ternyata tak sepenuhnya menjalankan teladan Nabi. Mereka sebagai muslim, lebih mengedepankan syahwat berprasangka negatif, daripada harus menelusuri dan memverifikasi suatu informasi. Entah itu benar atau tidak, yang penting adalah pekikan takbir, disertai ujaran kebencian yang cukup rasial.
Sebagaimana contoh, akhir-akhir ini banyak yang memperbincangkan soal represi pemerintah China kepada suku Uyghur. Mereka lebih mengedepankan prasangka, labelisasi dan amarah, tanpa mau melihat situasi politik kekinian di Xiangjiang. Ibarat represi yang dilakukan militer Indonesia kepada Gerakan Aceh Merdeka, atau Organisasi Papua Merdeka. Begitu juga di Xianjiang, represi pemerintah China diakibatkan oleh keinginan kelompok Uyghur untuk memerdekakan diri.
Uyghur dan Keinginan Merdeka
Pasalnya dalam sejarah tercatat pada tahun 1933, orang-orang Uyghur menyatakan independensinya dengan mendirikan negara Turkestan Timur pertama. Setelah itu pada tahun 1944 Pemberontakan Ili menyebabkan Republik Turkestan Timur Kedua terbentuk. Dalam pembentukannya terdapat dugaan bukti langsung keterlibatan Soviet, walau masih bersifat sementara.
Keterlibatan Soviet terlihat dari struktur pemberontak, yang terdiri dari Muslim Turki dengan dukungan penduduk lokal. Negara baru itu pada Uni Soviet untuk perdagangan, senjata, dan “perjanjian rahasia” terkait keberlanjutan Turkestan Timur.
Ketika kelompok Komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong mengalahkan Republik Cina dalam Perang Sipil Tiongkok, Soviet membantu Tentara Pembebasan Rakyat Komunis merebutnya kembali, dan dimasukkan ke dalam Republik Rakyat pada tahun 1949. Kini Xianjiang diberikan otonomi khusus, dengan nama Xianjiang Uyghur Autonomus Region.
Hingga kini kelompok Uyghur masih berusaha melepaskan diri dari China. Ada satu fakta menarik, situasi di Xianjiang lebih kepada persoalan represi terkait aktivitas politik, yang terajut sudah sejak lama. Pertama populasi tersebar muslim di sana ada kelompok Uyghur sebagai mayoritas, lalu ada Kazakh dan Hui.
Memang ada perbedaan perlakuan antara suku Uyghur dengan Han, Hui ataupun Kazakh. Orang Han dan Hui relatif menikmati kebebasan mempraktikkan agama Islam, membangun masjid di mana anak-anak mereka hadir, sementara Uyghur di Xinjiang mengalami kontrol ketat. Karena orang Han, Hui dan Kazakh dalam hal ini mengakui China, serta tidak ada tendensi untuk memerdekakan diri.
Pengawasan ketat pemerintah China ini terkait gerakan separatisme Uyghur, yang memiliki pandangan terkait negara Islam. Pemerintah mencatat sekitar 100 orang China, termasuk Uyghur dan Han terlibat pertempuran di Timur Tengah dengan para jihadist. Dan media nasional di China berpendapat jika ada 300 orang China yang bergabung dengan ISIS.
Relevansi beberapa kelompok Islam Separatis di Uyghur dengan jihadis internasional, bisa dilihat dalam beberapa catatan. Pada tahun 2009 salah satu pemimpi Al-Qaida bernama Abu Yahya Al-Libi, mengunggah sebuah video berisi keprihatinan, kecaman dan agitasi.
Dalam video tersebut ia mengungkapkan jika China disebutkan sebagai penjajah yang atheis, sehingga menghalangi muslim Uyghur untuk merdeka. Al-Libi menyerukan untuk umat Islam bersatu dan nelawan penindasan atas Uyghur. Hubungan kelompok pro negara Islam ini pasca Al-Qaeda tetap terjaga. Dalam beberapa tahun populasi jihadis semakin meningkat, terutama dalam kelompok East Turkestan Islamic Movement (Etim).
Pemerintah China sebagai negara yang berdaulat, tentu sudah memetakan hal tersebut. Sebagaimana Indonesia ketika menghadapi GAM, RMS dan OPM. Tercatat dalam irisan sejarah, mulai dari awal China berdiri, baik ketika dikuasai nasionalis maupun komunis, orang Uyghur ingin melepaskan diri dari China sebagaimana Tibet.
Konflik antar Etnis
Konflik awal di Xianjiang, salah satu pangkalnya ialah migasi orang Han. Migrasi orang-orang Han telah menjadi sumber utama ketegangan etnis dan konflik di wilayah tersebut, hal tersebut menjadi pangkal meningkatnya separatis Uyghur. Mereka beranggapan ini salah satu upaya China untuk menekan, menghilangkan semangat nasionalisme guna kemerdekaan negara Uyghur atau dikenal dengan Turkestan Timur.
Selain itu ketegangan di Xianjiang tidak berhenti disitu saja. Perselisihan terjadi antara muslim Hui dan Uyghur, yang muncul karena pasukan dan pejabat Hui sering mendominasi Uyghur dan menghancurkan pemberontakan Uyghur. Populasi penduduk Hui di Xinjiang meningkat lebih dari 520 persen antara tahun 1940 dari 1982, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 4,4 persen, sementara populasi penduduk Uyghur hanya tumbuh sebesar 1,7 persen.
Peningkatan dramatis dalam populasi Hui menyebabkan ketegangan yang tak terelakkan antara populasi Hui dan Uyghur. Banyak warga sipil Muslim Hui dibunuh oleh pasukan pemberontak Uighur pada tahun 1933 yang dikenal sebagai pembantaian Kizil. Selama kerusuhan 2009 di Xinjiang yang menewaskan sekitar 200 orang, “Bunuh Han, bunuh Hui.” Adalah seruan umum yang tersebar di media sosial di kalangan ekstremis Uighur.
Selain situasi terkait keinginan untuk merdeka, relevansi dengan gerakan Islam. Situasi di Xianjiang tak jauh berbeda dengan Indonesia, masih ada sentimen agama yang berdasarkan situasi rasial. Semisal perbedaan perlakukan orang Jawa dan Madura atau Jawa dengan Papua. Namun, beberapa konflik dibumbui sentimen agama, kontradisksi antar ajaran agama, bahkan satu keyakinan pun dapat memunculkan perselisihan. Kalau dalam Islam ialah perbedaan mazhab, paradigma dan orientasi politik.
Referensi
Beech, Hannah (August 12, 2014). “If China Is Anti-Islam, Why Are These Chinese Muslims Enjoying a Faith Revival”. Time magazine.
Fuller, G. E., & Starr, S. F. (2004). The Xinjiang Problem. Central Asia-Caucasus Institute, Paul H. Nitze School of Advanced International Studies. p. 311.
Hashim, A. S. (2015). The Impact of The Islamic State in Asia. Policy Report, 4-5.
Lars-Erik Nyman (1977). Great Britain and Chinese, Russian and Japanese interests in Sinkiang, 1918-1934. Stockholm: Esselte studium. p. 111.
Zang, X. (2011). Uyghur—Han Earnings Differentials in Ürümchi. The China Journal, (65), 141-155.