Senin, Desember 9, 2024

Reforma Agraria

Mega Ayu Lestari
Mega Ayu Lestari
A passionate amateur naturalist who has a big crush in social, art, and environmental issues.
- Advertisement -

Tahun ini, berbagai sudut hingga selasar rumah turut diramaikan oleh hiruk pikuk pemilihan kandidat, partai pengusung, serta narasi politik di dalamnya. Dan tepat pada tanggal 10 Desember lalu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) genap berusia 70 tahun sejak disahkan oleh Sidang Umum PBB tahun 1948.

Pemikiran tentang HAM di Indonesia mulai hadir pada tahun 1908, bersamaan dengan munculnya kesadaran akan pembentukan suatu negara bangsa (Sumardjono, 2009).

Pada waktu itu, Komnas HAM bersama sejumlah mitra, organisasi, perguruan tinggi maupun lembaga pemerintah di tingkat nasional, regional, dan internasional, ikut memperingati Hari HAM di Royal Kuningan Hotel, Jakarta Selatan, dengan mengadakan sesi pleno dan tiga diskusi panel.

Salah satu tema diskusi panel yang dibahas adalah tantangan dan harapan reforma agraria yang berkeadilan. Agenda yang telah tercantum dalam konstitusi ini, rupanya belum mencakup mekanisme pengelolaan konflik dan pendekatan-pendekatan berbasis HAM sebagai resolusi konflik agraria. Ditambah persoalan ketimpangan struktur penguasaan tanah, yang kian menyuburkan konflik agraria di tengah proyek strategis nasional.

Berdasarkan catatan Komnas HAM dan Gunawan Wiradi (2009), konflik agraria adalah situasi di mana terjadi pertentangan dalam pengelolaan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria; baik Bumi, air, dan ruang angkasa. Dalam Pasal 1 Ayat 4, 5, dan 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa Bumi termasuk pula bagian di bawahnya, serta yang berada di bawah air. Sementara dalam pengertian air, termasuk perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

Untuk itu, reforma agraria sejatinya hadir untuk memutus warisan kolonial. Salah satunya UU Agraria pada tahun 1870, di mana penguasaan wilayah dan perluasan sistem produksi saat itu hanya berlandaskan kepentingan kapitalis yang bersifat eksploitatif, tanpa memandang hak-hak dasar masyarakat setempat.

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945)

Ada pun 12 prinsip reforma agraria berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 4. Beberapa di antaranya berbunyi “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria; dan memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan.”

Prinsip diatas penting untuk dipertanyakan kembali relevansinya, dengan apa yang dijalankan dalam program reforma agraria saat ini. Target redistribusi lahan seluas 9 juta hektar, seperti yang termaktub dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2015-2019, seharusnya diiringi dengan seperangkat penunjang. Seperangkat itu adalah jaminan hukum atas hak yang diberikan, akses terhadap kredit dan jasa advokasi, akses terhadap informasi dan teknologi, pendidikan dan latihan, serta akses terhadap sejumlah sarana produksi dan bantuan pemasaran (Wiradi, 2002).

Penting untuk dicatat bahwa sepanjang Januari-Desember 2018, pengaduan hak atas kesejahteraan terkait konflik agraria berjumlah paling banyak; yakni 1.062 berkas pengaduan. Adapun hak atas tanah, hak untuk hidup, dan hak masyarakat adat yang ikut terdampak dari tingginya konflik agraria. Kemudian di tahun 2017, terdapat 269 konflik agraria yang ditangani oleh Komnas HAM.

- Advertisement -

Prof. Notonagoro pun menjelaskan, modal awal dari setiap anggota masyarakat tidak sama. Misalnya status, kekuasaan, pemilikan aset, lingkungan sosial, pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena itu, prinsip keadilan korektif perlu dijalankan dalam pemberian akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah, agar keseimbangan relatif dapat tercapai di mana perhatian khusus akan diberikan kepada mereka yang dirugikan dari berlakunya suatu kebijakan, atau mereka yang memiliki keterbatasan modal (Sumardjono, 2009).

Dengan kata lain, koordinasi lintas sektoral dan penguatan kelembagaan Komnas HAM sendiri perlu diwujudkan guna memastikan langkah reforma agraria yang berkeadilan.

Disamping itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, dalam pemaparannya mengungkapkan, pemanfaatan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) harus dijalankan berdasarkan sistem klaster, di mana lahan dikelola secara berkelompok dengan satu jenis komoditas unggulan tertentu, sehingga usaha tani dapat berdaya saing dan mencukupi kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat.

Khusus untuk perkebunan sawit rakyat, sejak dua tahun lalu pemerintah telah meluncurkan program Peremajaan Sawit Rakyat di beberapa daerah, untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah kebun sawit rakyat.

Dengan demikian, negara ini masih perlu memastikan bahwa nilai-nilai HAM dijunjung dalam setiap pelaksanaan program reforma agraria. Salah satunya seperti pelibatan pemuda dan perempuan, untuk memahami dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakukan, sehingga mereka dapat mempersiapkan sejumlah kemungkinan atau metode alternatif untuk mengelola wilayah mereka.

Pun pada bulan Juni tahun ini, Komnas HAM telah menginjak usia ke-26, bersamaan dengan 26 tahun kasus Marsinah yang masih dipenuhi tanda tanya. Artinya, banyak kasus yang menanti untuk diungkap. Namun teriring doa dan harapan yang terus disematkan, untuk seluruh pihak maupun penyintas yang berjuang dalam hal kemanusiaan.

Sumber:

Sumardjono, Maria S. W. (2009). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Kompas.

Wiradi, Gunawan. (2009). Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria. Yogyakarta: STPN Press.

_. (2003). Naskah Akademik Usulan Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Mega Ayu Lestari
Mega Ayu Lestari
A passionate amateur naturalist who has a big crush in social, art, and environmental issues.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.