Selasa, Oktober 8, 2024

Pendidikan Karakter: Nasihat Dedi Mulyadi Kepada Jokowi

Atih Ardiansyah
Atih Ardiansyah
Direktur Eksekutif Rafe'i Ali Institute (RAI), dosen FISIP UNMA Banten

Korupsi itu tidak memandang strata pendidikan. Beberapa oknum koruptor bahkan telah mengenyam pendidikan tinggi. Mengapa tingkat pendidikan tidak memiliki imbas terhadap perilaku koruptif? Karena selama ini, penguatan pendidikan karakter belum menjadi perhatian pemerintah. Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo saat menutup pelatihan akbar guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) se-Jakarta, Rabu (20/9).

Menurut Presiden Jokowi, guru-guru PAUD merupakan kunci pembangunan. Di tangan merekalah, generasi yang berada pada usia emas, 1-12 tahun, dididik bukan hanya kecerdasannya, tetapi juga diimbangi dengan budi pekerti dan nilai-nilai karakter yang baik. 

Tetapi bagi Dedi Mulyadi, keberadaan PAUD justru telah merenggut periode emas anak-anak. Keberadaan PAUD telah membuat orang tua menyerahkan tanggung jawabnya kepada guru-guru dan melalaikan tanggung jawabnya. Makanya, kata Dedi Mulyadi, PAUD sebaiknya dibubarkan saja.

 Dedi Mulyadi memang memiliki buah pikir yang unik, eksentrik, dan kadang nyeleneh. Tetapi bila dicermati secara mendalam, pemikiran nan kontroversial itu layak untuk direnungkan oleh kita semua, terutama oleh Presiden Jokowi.

Pertama, lembaga PAUD dinilai Dedi Mulyadi telah membangkrutkan perekonomian masyarakat. Sebagai contoh, uang jajan anak Rp 10 ribu/hari, sementara uang jajan orang tua yang menunggui bisa lebih besar dari itu. Dedi Mulyadi menilainya sebagai bentuk konsumerisme yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat, terutama masyarakat Sunda.

Kedua, PAUD telah menyalahi hakikat pendidikan karakter. Kata Dedi Mulyadi, ada pemikiran yang kurang tepat dalam benak para orang tua. Saat anak-anak berusia 3-5 tahun, para orang tua sibuk mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah, sementara pendidikan di rumah, di keluarga, sangat minim diberikan. Padahal, pendidikan karakter itu sangat krusial dilakukan di rumah, melalui contoh baik dari orang tua.

Ketiga, PAUD telah menyelingkuhi kearifan masyarakat Indonesia. Dalam buku Kang Dedi Menyapa, Kumpulan Pemikiran (2013: 22-23), Dedi Mulyadi menulis: 

Ada kritik saya terhadap model pendidikan hari ini. Lihat Nabi Muhammad yang Allah cintai dan muliakan itu, yang para malaikat bershalawat kepadanya, untuk mendapat satu ayat Nabi harus menunggu sampai umurnya 40 tahun dulu. Sementara anak-anak kita yang masih di play group sudah harus bisa baca-tulis, bisa komputer. Apa yang terjadi? Molohok we budakna teh.

Indonesia ini mengadopsi pola Barat seenaknya saja. “Play” itu artinya bermain, group itu adalah kelompok. Kelompok bermain. Orang-orang kelas menengah itu mengadopsi dari negara-negara maju. Kenapa? Mereka tidak punya tetangga dan saudara, anak-anaknya tidak ada yang mengurus, tidak punya sahabat. Individual. Karena tidak punya sahabat, maka dibuatlah ruang bermain.

Di urang, di lembur rek nyieun bangunan, playgroup, kumaha? Apan budak euceu mah geus boga babaturanna, geus aya kelompokna. Kelompok ngojay, kelompok maling bonteng, eta teh playgroup. (Di kita, di kampung mau bikin Play Group bagaimana? Kan anak ibu sudah punya banyak teman, sudah ada kelompoknya. Kelompok berenang di sungai, kelompok maling bonteng, itu sama saja dengan Play Group).

Kalau di kampung sudah ada play group seperti itu maka ada degradasi pemikiran, membuat mundur bangsa ini yang sebetulnya sudah maju.

Kecenderungan manusia itu memang berkelompok. Sekarang dibuat kelompok berdasarkan hobi, ada juga kelompok politik. Jadi anak kita dari dulu sudah punya kelompok, kelompok bermain play group. Ada yang pekerjaannya main bola, dam-daman, halma, bancakan, kecor, sorodot gaplok, gampuh. Ini kelompok, tidak boleh diintervensi, biarkan secara alami.

Saya katakan, berbicara PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) maka bukan berarti kemudian sekolah PAUD. Itu hanya untuk anak-anak yang orang tuanya tidak pernah ada di rumah. Agar diurus oleh orang-orang yang sudah digaji, anaknya lalu dititip ke guru PAUD. Yang di kota lahannya memang terbatas, sedangkan di desa tanahnya luas, ada sawah, burung-burung berbunyi merdu, dan lain-lain.

Pendidikan karakter itu, menurut Dedi Mulyadi, menuntut adanya peran orang tua dalam mengawal tumbuh-kembang anak yang akan menjadi generasi penerus. Bagi masyarakt desa, pesan Dedi Mulyadi di atas secara tersirat menagih kedekatan manusia dengan alam (hutan, sawah, sungai, permainan tradisional). 

Nah, Pak Jokowi, bagaimana dengan ide genuine dari Dedi Mulyadi ini? 

Atih Ardiansyah
Atih Ardiansyah
Direktur Eksekutif Rafe'i Ali Institute (RAI), dosen FISIP UNMA Banten
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.