Pada sebuah kesempatan luang saya menengok instagram. Ada sebuah postingan dari sebuah sekolah alternatif yang saya follow akun instagramnya. Salam, sanggar anak alam. Admin akun salam memposting sebuah buku karya segenap warga salam. Mulai anak-anak, fasilitator, orang tua.
Cover bukunya bagus, kekinian. Strategi marketingnya tidak ketinggalan zaman. Membuka pre order. Captionnya tertulis, sekiranya seperti ini, daripada baca buku parenting yang rumit-rumit mending baca buku ini.
Saya tercenung. Lebih tepatnya merasa tertohok. Saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan formal. Tak ada gerakan literasi yang berarti. Paling mentok hanya siswa disuruh baca buku dan menyalin isi buku. Salam, yang alternatif dan tidak meminta belas kasihan kepada pemerintah berkarya, dibukukan pula.
Suatu ketika saya pernah didelegasikan oleh lembaga pendidikan tempat saya bekerja. Mengikuti diklat kepenulisan. Dalam dunia pendidikan formal jenis tulisan yang didiklatkan tersebut adalah best practice.
Secara arti pengalaman terbaik. Isi tulisnnya adalah pengalaman dari seorang guru dalam menyelesaikan masalah yang dialami saat pembelajaran. Misal, rata – rata nilai matematika di sebuah kelas 60. Guru melakukan evaluasi selanjutnya menjadi tindakan. Upaya tersebut dapat meningkatkan nilai rata – rata siswa dari 60 menjadi 80. Pengalaman semacm itu yang ditulis.
Awalnya saya berprasangka baik. Lumayan guru diberi pelatihan menulis. Prasangka itu berubah tidak berselang lama setelah pengisi acara memberitahukan bahwa itu sangat penting digunakan untuk kenaikan pangkat.
Saya guru honorer, tak peduli dengan pangkat – pangkat yang artifisial itu. Mayoritas peserta adalah PNS. kenikan pangkat adalah sesuatu yang penting bagi mereka.
Maksud saya seperti ini, semangat berliterasi, yang untuk siswa sekadar formalitas dan untuk guru dasarnya sekadar kenaikan pangkat. Berkarya dengan dasar semacam itu saya kira akan sulit menghasilkan karya yang berkualitas.
Tidak pernah ada inisiatif, misalnya seperti salam, memberi sumbangsih pemikiran kepada masyarakat tentang parenting. Sebenarnya tidak hanya parenting, banyak tema – tema lain yang bisa disumbangkan ke masyarakat. Tidak harus formal berbentuk penelitian. Bisa berupa esai, catatan – catatan tentang berbagai persoalan.
Dengan iklim literasi semacam itu, di sisi lain, pemerintah mendesak lembaga pendidikan getol dalam menyelenggarakan gerakan literasi. Pertanyaannya, apakah dengan iklim literasi tidak sehat semacam itu akan terselenggara gerakan literasi yang sehat ?
Literasi adalah kebutuhan seorang pembelajar modern. Secara khusus literasi di sini berkaitan dengan buku dan kepenulisan. Bukankah semenjak TK – S3 pembelajaran terpusat pada tulisan. Baik untuk sumber belajar, atau media belajar ?
Mirisnya, yang seringkali terjadi, proses yang berkaitan dengan buku, kepenulisan yang sudah pasti berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis tidak disukai oleh banyak siswa, atau mahasiswa.
Buku seringkali menjadi momok. Dan tugas yang berkaitan dengan membuat karya tulis dibenci.
Kalau guru menyuruh siswa membaca instruksi itu hanya berlalu lalang, keluar masuk telinga saja. Tak sepenuhnya dipraktikkan. Saat mengerjakan karya tulis muaranya hanya download, edit dan print. Hal – hal semacam itu, di tengah iklim literasi yang tidak sehat akan semakin memperparah iklim literasi yang ada.
Cita – cita besar tentang literasi menjadi sebatas wacana. Yang hasilnya semakin utopis. Jauh dari kata berhasil itu sendiri.
Guru sebagai fasilitator sudah seyogyanya memiliki kemampuan yang mumpuni dalam hal tersebut. Guru menjadi pelopor literasi. Yang selanjutnya ditularkan kepada siswanya. Dengan cara yang menyenangkan tentunya. Bukan cara yang menakutkan.