Jumat, November 8, 2024

Pendewaan Subjektifitas pada Situasi Awam

Baidhowy Ramadhoni
Baidhowy Ramadhoni
Menulis itu untuk menyampaikan sesuatu _ Sebaiknya itu Positif_
- Advertisement -

Mungkin kita masih ingat pada waktu itu, di suatu forum besar yang dapat diakses dan ditonton oleh jutaan orang. Ada salah seorang yang dianggap tokoh intelektual oleh sebagian orang dengan kepercayaan diri dan ketenangannya menantang semua orang yang ada di forum untuk menjawab pertanyaannya dengan narasi “Kitab suci Fiksi atau bukan? Siapa berani jawab?”

Di forum itu terlihat ada sebagian yang tertawa dan ada yang hanya diam saja mendengar pertanyaan itu, ada juga yang terlihat kagum karena mungkin pertanyaan itu di luar dari biasanya dan ada juga yang terlihat ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan sederhana itu dengan jawaban “fiksi” atau “bukan”, karena masih bingung dengan argumentasi apa yang bisa dikatakan untuk mendukung pilihan jawabannya nanti.

Dengan percaya diri, seseorang yang dianggap tokoh itu melanjutkan dengan argumentasinya dan mengatakan “kalau saya memakai definisi bahwa kitab suci itu membangkitkan imajinasi maka kitab suci itu adalah fiksi karena belum selesai belum tiba itu. Babat tanah jawa itu adalah fiksi itu, anda sebut apa saja itu. Jadi ada fungsi dari fiksi untuk membangkitkan imajinasi, menuntun kita untuk berfikir lebih imajinatif.”

Begitulah argumentasinya untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkannya sendiri. Argumentasi ini menarik untuk dibahas, setidaknya dengan membahas argumentasi seseorang maka kita dapat memahami sebenarnya apa isi dari argumen itu, dapat dipegang atau tidak, atau argumen itu hanya sekedar pikiran subjektif saja yang berlaku untuk dirinya sendiri tapi dipertontonkan kepada publik. Selain itu, kita juga dapat memahami motif sebenarnya dari si pembuat argumen, karena prinsipnya argumen itu ada karena ada situasi atau tesis yang ingin dijelaskan, dibantah atau diklarifikasi.

Sebenarnya, untuk menjawab pertanyaan kitab suci fiksi atau bukan bisa saja cukup dengan menjawab “bukan” karena kitab suci berisi Wahyu Tuhan, berbeda dengan kitab karangan manusia yang dapat dikategorikan menjadi jenis karangan fiksi atau non fiksi. Selesai. Tetapi, menariknya adalah argumentasi selanjutnya, yang jelas sebagai lanjutan untuk menjelaskan maksud dari pertanyaan yang dilontarkan, untuk menegaskan bahwa dia berani mengatakan kitab suci itu fiksi, jika kitab suci itu dapat mengaktifkan atau membangkitkan imajinasi seseorang. Artinya, dia berpandangan bahwa kitab suci itu bisa disebut sebagai kitab suci fiksi karena dapat membangkitkan imajinasi, bukan karena isi kitab sucinya yang ditulis atau dibuat dari hasil imajinasi pembuatnya.

Jelas, isi argumentasi itu aneh dan sangat subjektif jika tidak ingin disebut sebagai argumentasi yang dibuat-buat. Justru kebenaran definisi yang disampaikan itulah yang bersifat imajinatif, ketika terlihat dalam kondisi sadar mengatakan “kalau saya memakai definisi bahwa kitab suci itu membangkitkan imajinasi maka kitab suci itu adalah fiksi”. Mungkin ini definisi pengandaian-pengandaian saja, bukan definisi umum atau definisi dari hasil temuan dan analisa mendalam.

Walakin, bagaimana bisa definisi itu dapat dipakai untuk membenarkan bahwa kitab suci itu adalah fiksi? Dan bagaimana bisa definisi seperti itu dapat terlintas dipikiran seseorang yang ditokohkan banyak orang, dan dianggap sebagai intelektual yang cerdas. Dan, tampaknya sampai detik ini dia tetap kekeh pada definisi yang dibuat itu sebagai hal yang luar biasa.

Hebatnya lagi, argumentasinya ini mendapat pembelaan dari tidak sedikit orang, dengan pembelaan yang beragam. Sampai-sampai ada yang membela argumen itu dengan argumen baru yang tidak kalah aneh, seperti: “kitab suci yang dimaksud itu kitab sucinya agama-agama lain, di luar agamanya orang Islam”. Benar-benar suatu subjektifitas yang dibenarkan dengan subjektifitas baru lagi dan lebih kontroversial.

Kembali lagi ke definisi yang dibuat dengan logika kacau itu. Mengingatkan kita betapa pentingnya untuk mamahami arti penting sebuah kebenaran. Dalam teorinya, ada banyak pengklasifikasian kebenaran, tapi secara umum berdasarkan sifatnya kebenaran bisa dibagi menjadi kebenaran yang bersifat absolut dan yang bersifat relatif.

Kebenaran absolut itu diidentikkan kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan. Sedangkan kebenaran relatif, termasuk di dalamnya kebenaran oleh tangkapan indera, kebenaran ilmiah dengan segala bentuk dan metodenya dan kebenaran rasio melalui pemikiran dan perenungan yang mendalam. Perhatikan, arti dan pengklasifikasian tentang kebenaran ini sudah teruji dan sudah dapat diterima umum dengan kesepakatan para pemikir, ilmuan dan akademisi lainnya.

- Advertisement -

Begitu pula dengan definisi fiksi, fiksi secara umum diartikan sebagai rekaan, khayalan atau rekaan yang muncul dari imajinasi. Imajinasinya siapa? Tentu saja imajinasinya manusia. Manusia memiliki kemampuan imajinasi untuk menciptakan suatu karya, berbeda dengan makhluk-mkhluk lainnya. Sehingga, istilah fiksi atau nonfiksi hanya terbatas pada jenis karya yang dibuat oleh manusia saja. Karya manusia yang fiksi muncul dari imajinasi sedangkan nonfiksi dari hasil penangkapan indera terhadap fakta, pemikiran, dan riset tertentu.

Jadi ketika ada orang mengatakan itu karya fiksi, maka poinnya adalah karya itu pasti buatan manusia dan dibuat berdasarkan imajinasinya. Begitu sederhana. jadi apakah fiksi itu adalah sebuah kebenaran? Tentu saja dia bisa menjadi kebenaran dan masuk dalam kategori kebenaran relatif, yang muncul dari pemikiran & perenungan seseorang, meskipun faktanya tidak/belum teruji.

Pada akhirnya, tidak tepat membuang-buang waktu untuk menyematkan atau menyandingkan istilah fiksi dengan kitab suci, apalagi sampai harus mengotak atik kata untuk menjadikannya pembenaran-pembenaran yang hanya difahami dan dinikmati sendiri. Benar-benar subjektif, dan kekeh dengan subjektifitasnya seakan-akan subjektivitasnya dapat menyelamatkannya.

Tapi, situasi yang terlihat menunjukkan bahwa subjektifitas yang dipertontonkan itu ternyata masih disukai beberapa orang dan dianggap sebagai bentuk kecerdasan dan intelektualitas. Mereka dapat melihat hal itu dari sisi mana, Entahlah. Yang jelas, pembiaran terhadap subjektifitas ini dapat mengganggu pola pikir masyarakat, terutama masyarakat awam.

Bisa-bisa, pola pikir masyarakat yang awam itu dapat diperalat oleh pembenaran-pembenaran subjektif yang tidak terbukti kebenarannya. Apalagi dengan dalih itu adalah kebebasan berpikir, dan kebebasan berpikir itu tidak dapat dipenjarakan. Tentu kita sepakat dengan itu, tapi juga sepakat jika kebebasan berfikir harus difilter dari pemikiran subjektif yang berlebihan, tidak bermanfaat dan berdampak negatif.

Baidhowy Ramadhoni
Baidhowy Ramadhoni
Menulis itu untuk menyampaikan sesuatu _ Sebaiknya itu Positif_
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.