Jumat, Maret 29, 2024

Kitab Suci Memang Fiksi?

Muhamad Reza Hasan
Muhamad Reza Hasan
Mahasiswa, tidak tinggal di Singapura.

Tahun lalu, dalam sebuah forum diskusi mingguan berjudul “Jokowi-Prabowo Berbalas Pantun”, yang diselengarakan Indonesia Lawyers Club, Rocky Gerung, dengan konsep fiksinya, menggemparkan masyarakat Indonesia.

Hal itu menjadi heboh bukan hanya karena adanya definisi yang dianggap berbeda dengan konsesus masyarakat Indonesia mengenai fiksi, namun juga disebabkan pernyataannya yang menyebut bahwa kitab suci adalah fiksi. Tentu, pernyataannya adalah pernyataan yang bersifat kausalitatif. Dan—lupa— satu lagi, pernyataan tersebut menjadi heboh karena keberpihakan politik yang ngawur.

Kini, sembilan bulan setelah peristiwa tersebut, kontroversinya muncul kembali. Pembicaraan tersebut menjadi ramai kembali, sebab Rocky Gerung dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama atas ucapannya mengenai “kitab suci fiksi”. Apalagi, saat ini Rocky Gerung sudah memiliki fanbase yang jauh lebih banyak lagi—sekaligus, berarti juga, memiliki haters yang tak kalah jauh lebih banyak lagi pula.

Sederhana saja, Rocky ingin mengatakan bahwa fiksi itu tidak buruk. Sebagaimana dikatakan dalam forum tersebut, bahwa politisi membuat kata “fiksi” mengalami peyorasi. Bahkan, kitab suci sekalipun, dalam definisi Rocky adalah fiksi. Dan itu tidak buruk.

Kitab suci berisi konsep mengenai norma-norma, yang mau tidak mau musti kita anggap sebagai sebuah fiksi. Harari mengatakan bahwa manusia hidup dalam dua realitas: fiksi dan fisik. Konsep sebagai sesuatu yang abstrak, memenuhi syarat untuk disebut sebagai fiksi. Hutan, sungai, matahari, kertas yang digunakan untuk mencetak norma-norma dalam kitab suci, adalah fisik.

Kebanyakan masyarakat Indonesia hanya memiliki referensi mengenai definisi fiksi dari toko-toko buku yang membuat sebuah polarisasi antara fiksi dan non-fiksi. Dikotomi tersebut seolah-olah memunculkan anggapan bahwa fiksi adalah lawan daripada fakta. Lebih parah lagi, fiksi seolah-olah lawan dari pada kebenaran, atau boleh dianggap buruk. Padahal, fiksi adalah sebuah kenyataan di mana manusia hidup di dalamnya. Bahkan, lebih dominan daripada realitas fisik.

Negara (sebagai sebuah kesepakatan, bukan tanah, air, gunung, dan lain sebagainya yang dapat kita sentuh) adalah fiksi, yang mana kita hidup di dalamnya. Kita mempercayai suatu wilayah dari Sabang sampai Merauke sebagai sebuah kesatuan, meski dipisahkan oleh lautan dan malah menyatu dengan daratan yang kita percayai sebagai sesuatu yang berbeda dengan kesatuan kita ini.

Kesatuan yang kemudian dikenal sebagai NKRI ini adalah produk imajinasinya Soekarno beserta kamerad, bung, dan ikhwan-akhwat lainnya. Imajinasi tersebut bisa terjadi, bisa juga tidak. Namun karena kita beriman pada fiksi yang demikian itu, maka hadirlah NKRI ini.

Begitu pun kitab suci. Ada redaksi yang berkutat pada persoalan-persoalan mengenai harapan. Sekalipun begitu besar keimanan kita terhadap suatu kitab suci, namun harapan tetap berada di depan kita. Dan, keyakinan menuntun kita menuju pada harapan tersebut.

Kitab suci merumuskan ajaran-ajaran yang masing-masing mengakui bahwa ajaran tersebut akan membawa kita pada sebuah tatanan kehidupan yang tidak berantakan (a-gama). Sebagai sebuah konsep mengenai ajaran-ajaran, maka kitab suci adalah fiksi. Kita bisa menaatinya, namun mustahil bagi kita untuk menyentuh (secara harfiah) ajaran “berbuat baiklah kamu dalam hidup!”. Tak mungkin. Dungu, kata Lord Rocky.

Bagi yang tak percaya pada ketuhanan, maka kitab suci adalah fiksinya manusia. Bagi yang percaya pada ketuhanan, maka kitab suci adalah fiksinya Tuhan. Tak ada yang mengerikan dan membingungkan dari itu semua. Hanya politisi dan pendukungnya saja yang membuatnya menjadi mengerikan dan membingungkan.

Fiksi sangat bergantung sekali kepada keteguhan iman para pemeluknya. Konsep ajaran matematika yang paling dasar sekalipun, itu adalah fiksi. Dan ia sangat bergantung pada keyakinan pemeluknya. “1+1=2” adalah hasil imajinasi penemu konsep tersebut (yang namanya tidak saya ketahui).

Karena konsep tersebut meyakinkan dan dipercaya oleh banyak orang, maka ia bertahan. Tak ada keburukan dari konsep “1+1=2” sekalipun hal itu adalah fiksi, kecuali bagi orang-orang jurusan IPS. Kalau mulai hari ini kita semua sepakat untuk berhenti mempercayai konsep tersebut, dan mulai mempercayai konsep lain dalam matematika, maka ia akan hilang dengan sendirinya. Lagi-lagi, tak ada yang mengerikan dan membingungkan—dalam hal ini, politisi sekalipun saya rasa akan sama-sama sepakat.

Bahkan, bermodal KBBI yang katanya terlalu sederhana saja sebetulnya kita kepalang mampu untuk menerima bahwa kitab suci memang fiksi.  KBBI mendefinisikan fiksi sebagai sebuah rekaan, atau produk imajinasi.

Dan, kitab suci memang imajinasi Tuhan. Tuhan membayangkan suatu tatanan kehidupan yang teratur, atau tidak berantakan. Karenanya, Ia ajarkan manusia tatanan kehidupan tersebut. Dan sekali lagi, tercapai atau tidaknya tatanan kehidupan demikian, bergantung pada bagaimana kita mengimaninya. Tak usah muluk-muluk soal keyakinan, kenyataannya memang sudah banyak keyakinan yang gulung tikar karena defisit pemeluk.

Tuhan mengajarkan kebaikan, maka seharusnya kehidupan yang baik berlangsung di muka bumi. Namun ketika tak ada satu pun manusia yang mempercayai ajaran tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dapat tercapai. Sama halnya ketika Bung-bung tanah air zaman baheula yang membayangkan negara bernama Indonesia ini, jika tak ada yang mengimani imajinasi tersebut, maka tak ada Indonesia. Bahkan, jika saat ini secara serentak kita berhenti mempercayai imajinasi tersebut, maka tak perlu menunggu 2030, Pak Calon Presiden, secepatnya Indonesia akan bubar menyusul Soviet.

Ketika memerintahkan untuk berbuat baik, itu tidak berarti bahwa Tuhan sedang menciptakan perbuatan baik, melainkan, dalam sebuah konsep berbentuk kitab suci, sedang menjarkan manusia untuk berbuat baik sehingga harapan mengenai tatanan kehidupan yang tidak berantakan tersebut dapat tercapai.

Ketika Tuhan mengajarkan konsep mengenai tatanan kehidupan yang tidak berantakan, itu bukan dalam kesadaran bahwa Ia membutuhkannya, tetapi, justru Tuhan melihat bahwa manusia hidup dalam tatanan kehidupan yang berantakan (gama) dan membutuhkan ajaran untuk menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik.

Maka, kalau pun tatanan kehidupan tersebut tidak terjadi, maka bukan berarti Tuhan berbohong, melainkan manusia tidak beriman dengan ajaran tersebut sehingga gagal mewujudkannya. Konsep tersebutlah yang dianggap sebagai sebuah fiksi. Sedangkan tanah, air, gunung, matahari, bulan, pohon, yang semuanya itu merupakan ciptaan Tuhan, termasuk dalam realitas fisik.

Maka kini, tak perlu lagi uring-uringan tak karu-karuan soal narasi kitab suci fiksi.

Bacaan:

Harari, Yuval Noah. 2018. Sapiens. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Terjemahan dari: Sapiens.

Muhamad Reza Hasan
Muhamad Reza Hasan
Mahasiswa, tidak tinggal di Singapura.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.