Sarung melingkar di badannya, dengan itu, dengan gaya pencerita ulung ia siap menyajikan cerita yang berlarut-larut. Ia memesan kopi. Dengan adukan yang tidak rata, ibu penjual menyajikan secangkir kopi kehadapannya dengan sedikit perasaan jengkel. Sambil membenarkan kain sarungnya ia tetap saja mengutang dan terus-terusan. Dan setelah itu obrolan akan sangat panjang, sampai ia mendapat sebatang rokok, maka obrolan makin menemukan perceritanya yang benar-benar ulung: Warto Kemplung.
Kalian tahu siapa yang saya maksud? Warto Kemplung, tokoh sentral dalam novel Dawuk. Hari-hari dalam novel itu, di warung kopi itu, hari-hari Warto Kemplung. Dan mari kita melihat Warto Kemplung sungguhan bercerita, tetap di warung kopi, hanya saja sekarang, sebab pula di perkotaan, orang menyebutnya kafe.
Di tempat semacam itulah pencerita ulung bertebaran. Ikan sebesar betis, saat di ceritakan ukurannya bertambah: sepaha, sebadan, atau bahkan lebih besar lagi. Siapapun yang menangkap cerita itu, karena tidak punya cukup bukti maka pendengar akan mudah percaya, sekalipun itu bohong.
Saya punya teman, hanya sekedar kenal. Tapi karena kami sering bertemu, maka dengan itu saya sering mendengar ia bercerita. Ia pencerita yang ulung, sangat piawai mengolah kata lewat gerak lidah dan kembang katup bibir yang “ter-irama”. Siapapun yang mendengarnya akan mudah terpukau dan melongo menikmati cerita oleh pencerita ulung itu.
Semakin pendengar menunjukkan ekspresi yang percaya, meyakini ceritanya benar dan apa adanya, pencerit ulung akan meletupkan hentakan-hentakan yang membuat pendengar makin terpukau. Pencerita akan membuat semacam teka-teki kecil: “saat maling sudah keluar rumah suara tembakan terdengar, siapa yang melakukannya? Pemilik rumah terkapar.”
Pendengar akan di buatnya makin penasaran. Ia akan menerka-nerka siapa penembak padahal maling sudah keluar rumah sedangkan tembakan baru terdengar. Dan peristiwa itu hanya terjadi dalam hitungan detik. Tetangga tidak ada yang tahu. Dan ke esokan hari tidak ada kehebohan. Pendengar semakin bingung. Pencerita ulung membuat hentakan-hentakan lain dan menutup cerita: “sampai sekarang misteri kejadian itu belum terungkap, semua tetangga, warga dusun, diam.”
Pencerita ulung membuat cerita fiksi yang, bukan hanya pandai menyelipkan teka-teki, tapi memancing kita menjawabnya tanpa harus membuktikan apakah itu teka-teki yang harus kita pecahkan atau tidak sama sekali: hanya hiburan semata yang jika “tebucu”, kita melihat ada unsur kebohongan maka ia akan mengungkapkan bahwa ia hanya mengarang cerita. Ia mengambil sedikit umpan dari tragedi nyata dan sedikit memberi hentakan, menambah “bumbu atau bahan-bahan lain”. Sayur asem yang biasanya hanya berisi kubis, labu siam, kacang dan sedikit wartel ia sulap jadi berisi ayam, sapi, kerbau, dan bahkan onta.
***
Jika dicermati lebih teliti pencerita yang ulung tidak pernah menyajikan cerita yang apa adanya, faktual, kecuali menambah-nambahkan unsur peristiwa atau menguranginya. Ia menyajikan cerita sesuai kehendaknya: jika ia senang dan mendukung maka ia akan membesar-besarkannya, sebaliknya jika ia tidak sepakat maka ia begitumudah memutar balik menuduh bahwa peristiwa itu bohong, rekayasa.
Dua hal yang bisa di lakukan untuk menyikapinya: (1) menguji argumennya dengan cara menggali setiap letupan yang ia lontarkan, dan (2) membiarkan saja ia bercerita, pura-pura mendengarkan sebagai etika menghormati.
Pencerita hiperbola semacam itu, hanya berhasil, atau lebih tepatnya mudah di percaya jika ia sendiri yang mengalami peristiwa yang ia ceritakan: ia punya data yang memang orisnil. Misal tadi, ia memelihara ikan di kolam dekat rumahnya, ikan itu sebesar paha, dan saat anda mendengarnya bisa jadi, ikan sebesar paha menjadi sebesar badan atau lebih. Pengalam empiris semacam itu sulit untuk dibantah. Walau anda bisa menalar dan menginterupsinya karena tidak sesuai dengan logika yang anda yakini, ia dengan mudah menjawab: “loh, saya yang ngalamin.” Siapa yang berani menginterupsi pengalaman orang lain? Kecuali ia ikut juga mengalami peristiwa yang sama, pada tempat yang sama, dan dengan objek yang tidak dapat di multi tafsirkan: dapat di ukur.
Lain hal dengan objek yang siapapun subjek-nya atau jika dihadapkan/berhadapan dengan subjek yang berbeda maka bisa berbeda pula apa yang ia tangkap.
Tapi saat ia bercerita suatu hal yang tersebar luas dan dapat dia akses informasinya secara luas, ia tak punya pijakan yang kuat. Tak lama ia “bernyanyi” (baca: bercerita) dengan piawai, dengan sedikit data yang ia kutif, lalu membantah instrupsi orang lain, dan ia diam seribu bahasa. Tapi pencerita semacam itu masih akan tetap ada, sampai kapanpun, ketika orang sibuk menelan banyak informasi yang dangkal, minim analisis, dan hanya sekedar infomasi bahwa ada peristiwa.