Jumat, April 26, 2024

Menjadi Subjek di Tengah Budaya Patriarki

Priyanka Nayahi
Priyanka Nayahi
Mahasiswi S1 Kajian Media di Universitas Indonesia. Percaya bahwa perempuan bisa dan harus menjadi subyek agar tak tenggelam dalam narasi-narasi pendukung patriarki.
Komite Perjuangan Pembebasan Perempuan berunjukrasa di depan Gedung Sate, Bandung, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2017 (8/3). ANTARA FOTO/Agus

Hidup dalam sebuah tatanan masyarakat dengan budaya patriarki yang kental di segala lini menyulitkan bagi kesehatan psikis perempuan. Terus-menerus dijadikan objek membuat pemikiran kritis kita menumpul. Pada titik tertentu kita lupa caranya menjadi subjek dan justru mulai melakukan objektifikasi terhadap diri sendiri.

Objektifikasi terhadap diri sendiri ini menjelma dalam berbagai bentuk. Kita mulai membutuhkan make-up agar merasa nyaman berada dalam tubuh sendiri. Kita mulai percaya bahwa pelecehan seksual ada hubungannya dengan panjang rok di bawah kedua lutut. Kita mulai percaya bahwa perempuan diwajibkan untuk membantu lelaki memenuhi hasrat dan fantasi seksualnya. Kita mulai percaya bahwa hanya ada dua tipe perempuan: yang akan dijadikan istri dan yang hanya bisa dijadikan bahan masturbasi.

Berbagai ruang di kehidupan bermasyarakat—baik ruang publik maupun ruang privat—tak pernah menjadi milik perempuan. Ruang publik dipenuhi berbagai bentuk pembungkaman terhadap perempuan; street harassment, catcalling, pelecehan, stereotip, stigma, standar ganda, diskriminasi, dan lain sebagainya. Sementara ruang privat sarat akan dogma dan norma yang selamanya menjaga perempuan agar tetap hadir dan menghamba pada kewajiban-kewajiban yang menurut masyarakat harus ia tunaikan di ranah domestik.

Lalu, di mana ruang bagi perempuan untuk menempatkan dirinya sebagai subjek, dan bukan objek? Meminjam konsep Male Gaze milik Laura Mulvey, kapan perempuan akan “memandang”, bukan hanya “dipandang”? Kapan Male Gaze berubah menjadi Female Gaze?

Jawabannya selalu sederhana: media. Ada dua proses panjang yang menjadi syarat sebelum perempuan mampu merebut ruang-ruang bernarasi melalui media agar suaranya ikut terdengar.

Yang pertama, proses memahami bahwa dunia tempat kita tinggal bukanlah dunia yang ramah bagi perempuan. Kurangnya akses perempuan kepada media dan industri kebudayaan menyebabkan suara perempuan hilang. Hal ini disebutkan oleh Tuchman (1978 dalam Strinati, 2004) sebagai symbolic annihilation—penghapusan simbolis—di mana produksi dan representasi media mengabaikan, mengeksklusikan, memarjinalkan, dan menyepelekan perempuan serta kepentingannya.

Yang kedua, proses timbulnya kesadaran untuk melawan itu. Meminjam logika Helene Cixous (1976) dalam idenya mengenai l’ecriture feminine (feminine writing), perempuan perlu menuliskan dirinya sendiri, perempuan perlu menempatkan dirinya ke dalam “teks” pada sebuah sistem bahasa yang dibuat dan didominasi oleh para pemilik Phallus.

Media kemudian menyediakan instrumen yang penting bagi perempuan untuk bernarasi. Meski perempuan kerap dicerabut secara paksa sebelum sempat menanam bibit narasinya pada media arus utama, kita bisa melihat beberapa contoh narasi perempuan yang kemudian tumbuh dan mengambil ruang-ruang yang banyak dari kita selama ini tak bisa menjangkau.

Kita bisa melihat film-film Nia Dinata, Lola Amaria, Djenar Maesa Ayu, atau Ratna Sarumpaet. Kita bisa membaca buku-buku bernuansa perempuan milik NH Dini, Ayu Utami, Fira Basuki, dan Djenar Maesa Ayu. Walau demikian, kita juga sadar bahwa jumlah tersebut sangat sedikit dibandingkan jumlah narasi laki-laki yang terus menduduki posisi penting pada media arus utama.

Untuk itu, kehadiran media-media alternatif yang bersifat lebih progresif dibutuhkan bagi pergerakan narasi perempuan. Sebagai contoh, kehadiran Jurnal Perempuan memberikan kesempatan bagi para perempuan, aktivis, dan akademisi untuk memproduksi dan mengakses wacana keilmuan mengenai feminisme dan kondisi perempuan di Indonesia.

Contoh lain yang lebih modern dan populis, Magdalene, memberi kesempatan bagi para perempuan muda untuk ikut andil memberi wacana feminis yang sesuai dengan gaya bahasa anak muda di kota-kota besar Indonesia. Di tataran akar rumput, bisa pula kita temui radio komunitas seperti Marsinah FM, yang hadir karena absennya narasi soal isu-isu buruh dan perempuan di media arus utama.

Ketika dibungkam, menjadi bagian kelompok marjinal dan muted, buatlah sebuah ruang aman bagi narasi kita sendiri. Tak ada keharusan menumpang pada media-media progresif jika tak ingin. Ruang aman tersebut dapat menjelma menjadi apa saja. Lukisan, puisi, fiksi, prosa, seni rupa, kerajinan tangan, film dokumenter, sebuah vlog di Youtube, media personal seperti zine, blog pribadi, foto-foto yang diunggah di Instagram.

Meski tidak mampu menjangkau khalayak seluas media massa, kita telah menunjukkan upaya membangun sendiri kontranarasi terhadap logika industri yang patriarkis dan sudah terlalu lama menjadi hegemoni. Jika tidak bisa bersuara di depan khalayak banyak, sasarlah sedikit khalayak yang kita tahu akan tertarik mendengar apa yang perlu kita bicarakan.

Dengan pemahaman bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, pengertian media tak terbatas hanya pada produk dan artefak kebudayaan, internet, dan media konvensional. Sebuah komunitas atau kolektif juga adalah media. Gerakan sosial juga adalah sebuah media. Women’s March yang lalu adalah sebuah media.

Meski tak sedikit khalayak menganggap bahwa gerakan-gerakan perempuan yang mengadopsi karakteristik gerakan terdahulunya yang berasal dari dunia Barat—seperti Women’s March dan One Billion Rising—cenderung lebih berupa cultural expression daripada sebuah political statement, gerakan-gerakan seperti demikian menunjukkan bahwa ada kesadaran dari perempuan untuk menerbitkan ruang aman milik sendiri. Artinya, perempuan bisa bebas bicara dan berekpresi tanpa takut dihakimi oleh pihak-pihak yang biasa membungkamnya.

Kesadaran akan pembentukan ruang aman secara mandiri tersebut juga dimiliki oleh berbagai kolektif perempuan yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, masih ingatkah kamu Lady Fast yang pada April 2016 lalu dibubarkan paksa di Yogyakarta? Penggagas Lady Fast, Kolektif Betina, terdiri dari perempuan-perempuan yang ingin membuat ruang aman bagi perempuan anggotanya.

Lady Fast kemudian membuat format acara seperti diskusi, lokakarya, pameran karya seni, dan pertunjukan musik—yang kita kenal sebagai ruang yang tidak aman bagi perempuan karena banyak oknum seksis yang mengambil kesempatan untuk melakukan pelecehan.

Menanggapi pembungkaman perempuan di ruang publik dan privat, serta kekerasan terhadap perempuan yang tak pernah hilang justru semakin meningkat, kesadaran untuk merebut ruang secara mandiri ini semakin diperlukan hingga akhirnya perempuan mulai belajar menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek, yang aktif dan bukan pasif.

Masih dalam suasana Hari Perempuan Internasional, di mana hak asasi, kodrat, dan nasib kita sebagai seorang perempuan diperingati oleh dunia internasional, mari pupuk dan bagikan kesadaran bahwa setiap individu adalah media. Tiap narasi-narasi kecil sama berharganya dengan narasi-narasi arus utama, dan tiap perempuan punya ruang untuk tumbuh dan berlipat ganda di mana pun ia berada.

Priyanka Nayahi
Priyanka Nayahi
Mahasiswi S1 Kajian Media di Universitas Indonesia. Percaya bahwa perempuan bisa dan harus menjadi subyek agar tak tenggelam dalam narasi-narasi pendukung patriarki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.