Semenjak bergulirnya masa reformasi, Indonesia seolah mulai diakrabkan kembali dengan istilah demokrasi. Pertimbangannya waktu itu, demokrasi adalah sistem pengganti terbaik dari represifnya orde baru. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Brenda Dervin dan Sandra Braman bahwa biasanya memang, demokrasi muncul karena adanya chaos.
Demokrasi yang muncul pasca reformasi bukan demokrasi terpimpin, bukan pula demokrasi melalui sistem musyawarah mufakat, akan tetapi demokrasi dalam bentuknya yang mengutamakan kepada pengakuan kebebasan individu.
Proses demokrasi Indonesia pun mulai menitikberatkan pada penyelesaian program pemerintah untuk masyarakat. Di mana dalam demokrasi macam itu, pemerintah dianggap sebagai perwakilan dari aparat publik administrasi, dan masyarakat menjadi jaringan tersruktur pasar interaksi antara orang-orang swasta (Jurgen Habermas, Three Normative Models Of Democracy,1994:1).
Jika kita perhatikan melalui pemikiran Roberto M Unger, demokrasi dalam tubuh Indonesia saat ini masuk dalam kategori Institutional Fethisism atau artinya bukan Structure Fethisism. Hal ini dapat terlihat dari adanya konsepsi identifikasi kelembagaan, seperti demokrasi perwakilan, ekonomi pasar, dan masyarakat sipil yang bebas.
Pemerintahan Indonesia setelah era orde baru memang berusaha mengkoneksikan kembali antara penguasa dan rakyatnya. Oleh sebab itu pemerintah, secara fetisisme institusi, mencoba mewujudkan adanya hubungan internal yang mengembangkan pemikiran praktek atau institusi dan pemikiran kita tentang minat atau cita-cita.
Mengacu pada pemahaman di atas, artinya, warga negara, sebagai subjek utama dari demokrasi, diharapkan mampu memiliki vita activa (kegiatan kehidupan yang aktif) dengan tidak mengecualikan vita contemplativa (kegiatan kehidupan kontemplasi). Kondisi tersebut penting guna terwujudnya keberhasilan dari sistem presentasi yang direpresentasikan.
Namun kenyataan pada saat ini ternyata jauh panggang daripada api. Banyak sekali kekecewaan yang dihasilkan, dari mulai Undang-Undang yang tak pro rakyat hingga kekisruhan di DPR. Demokrasi yang semula ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, justru malah sampai pada sistem demokrasi liberal.
Henry B Mayo meringkasnya dengan istilah yang mana sistem demokrasi keterwakilan dengan ciri-ciri sekedar kebijakan umum ditentukan atas dasar suara mayoritas. Akibatnya, tata cara instan meraup banyak pemilih dengan biaya besar itu tidak mewujudkan cita-cita dan minat seperti apa yang dikatakan Roberto M Unger.
Ini pulalah yang ditakutkan oleh Sokrates. Plato, dalam The Republic buku ke VI, menjelaskan bila Sokrates amat pesimis dengan keberlangsungan demokrasi. Sokrates menilai, bahwa ke depan demokrasi hanya akan diurusi oleh kalangan demagog yang minus gagasan tetapi punya harta dan pandai bicara karena demokrasi tidak pernah merevisi keterwakilan yang rasional. Ketidakrasionalan tersebut membuat suara-suara perorangan menjadi mudah digadaikan.
Public Sphere
Idealnya, menurut Habermas, demokrasi yang baik itu harus memberikan kemungkinan pada masyarakat untuk berorientasi. Pertukaran argumen antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya akan meningkatkan kehidupan kolektif, kesadaran keanggotaan dan persamaan antara yang satu dengan lainnya.
Posisi masyarakat didudukan secara sejajar namun sesuai secara intregasi etis komunitas. Hal itu dapat terwujud, hanya apabila, pemerintah mampu memberikan public sphere (ruang publik) sebagai sarana asimilasi wacana politik untuk kepentingan bersama. Membesarkan budaya seperti inilah yang belum secara serius terbentuk di Indonesia.
Namun kemudian pertanyaan muncul, public sphere seperti apa yang ideal diterapkan dalam demokrasi negara republik seperti Indonesia?
Ide ruang publik, yang mungkin amat populer ini, bisa kita temukan dalam secarik pemikiran demokrasi deliberatif a la Jurgen Habermas. Public sphere atau ruang publik menurut Habermas (dalam Yudi Latif : Menyemai Karakter Bangsa, 2009) adalah ruang dimana perseorangan berbaur demi mengobrol secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuat mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif, yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh. Berikut di bawah ini adalah gambar daripada ruang publik tersebut :
Dalam gambar tersebut dapat kita lihat, ruang publik dalam anggapan Habermas berbentuk lebih seimbang dibanding ruang publik dalam masyarakat demokrasi ataupun kuasa masyarakat. Ruang publik Habermas terkesan memang lebih ideal karena ada kesimbangan dimana wacana kritis dapat bertemu tidak hanya dari apa yang disediakan penguasa tetapi juga, disediakan oleh partisipasi masyarakat seperti cafe, club-club, salon, pementasan majalah, jurnal dan kedai kopi.
Merespon apa yang telah diuraikan dalam paragraf-paragraf di atas, pemuda seharusnya mampu untuk mulai menghidupkan kembali public sphere. Hal ini penting karena sejatinya selama ini masyarakat, utamanya pemuda, kita hanya dibatasi oleh pemahaman demokrasi itu adalah pemilihan langsung dan menguras banyak energi dengan komunikasi satu arah (gadget).
Meskipun benar, akan tetapi hak terbesar mereka yang seharusnya diperoleh melalui demokrasi adalah penyampaian ide dan gagasan secara lugas, bukan hanya sekedar representatif. Bagaimana pun bentuk dan sistemnya, entah itu di kafe, warung kopi ataupun ruangan terbuka di alun-alun dan gedung pementasan, nafas-nafas intelektualitas itu perlu dibangkitkan.
Tujuannya tentu, supaya tidak ada lagi keterputusan keingingan antara yang di atas dan di bawah, dalam tanda kutip.
Selain daripada kebutuhan interaktif yang sifatnya politis, ruang publik juga, di zaman yang mulai menguras ketidakpastian (dalam bahasa Giddens, manufactured uncertainty) bisa dipergunakan untuk sarana permenungan kolektif. Di arena ruang publik itu nantinya bisa bermunculan gagasan-gagasan baru yang rasional yang memberikan manfaat. Jika ini terjadi, maka skeptisisme Sokrates akan keberlangsungan demokrasi yang menegasikan rasionalitas bisa gugur.