Pemuda adalah pilar penting dalam pergerakan negara bangsa. Di era pra kemerdekaan, pemuda adalah motor utama pembangunan kesadaran berbangsa dan bernegara. Mereka menjadi aktor-aktor intelektual kritis, organisator progresif, dan orator lantang, yang menentang penjajahan dengan tinta, bambu runcing, dan kokang senjata.
Pemuda selalu menjadi suatu kehadiran yang hampir mutlak dalam kemerdekaan bangsa dan negara. Dan pemuda pun sudah selayaknya hadir untuk membangun dan mengisi kemerdekaan tersebut.
Pemuda harus siap berkolaborasi dengan senior dan generasi pendahulunya. Modal progresif dan energik dari kaum muda harus dipadukan dengan kearifan dan kebijaksanaan para tetua dan senior. Pemuda harus belajar dari sejarah, bahwa progresifitas yang tak terkontrol hanya akan melahirkan “fantasi revolusi”, demikian Bung Hatta menulis, saat mengomentari peristiwa penculikan Sorekarno Hatta ke Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok adalah bukti dan pelajaran berharga bagi pemuda tentang bagaimana sebaiknya idealisme progresif dan semangat revolusioner harus dijalankan, yakni dengan kolaborasi antar generasi.
Oleh karena itu, pemuda pun tidak semestinya menjadi generasi yang ahistoris. Pemuda harus menjadi penerus estafet kebangsaan dalam relasi sejarah negara bangsa Indonesia yang panjang ini.
Mendalami dan memahami arti perjuangan para pendahulu-pendahulu (founding fathers). Meresapi cita-cita yang telah mereka impikan. Untuk kemudian ikut memperjuangkannya di era masing-masing. Di situ lah energi anak muda dan pemuda kita tempatkan. Dalam tataran itu lah semangat anak muda kita hamparkan agar anak muda benar-benar menjadi tumpuan keberlangsungan negara bangsa Indonesia.
Selain peristiwa Rengas Dengklok, petaka yang dialami salah seorang anak bangsa yang masih muda, yang sempat bercokol sebagai salah satu ketua umum partai besar, juga layak dijadikan pelajaran. Karirnya berujung di Sukamiskin. Digadang-gadang, selain noda korupsi yang ditempelkan dijidadnya, seteru antara angkatan muda dan tua dalam partai tersebut layak disebut sebagai salah satu penyebab.
Gagalnya komunikasi lintas generasi akhirnya melahirkan seteru yang menyakitkan bagi angkatan muda potensial partai tersebut. Pelajaran berharga sangat layak kita petik dari kejadian semacam itu.
Komunikasi dan relasi lintas generasi sudah tak perlu lagi dimunculkan dalam bentuk yang sangat konfliktual. Bangsa ini justru akan memgalami kerugian yang cukup besar saat korban-korban berguguran secara sembrono di kancah politik dan membuat generasi muda menjadi semakin apatis.
Kemudian, anak muda dan pemuda harus mampu hadir dengan segala kekiniannya, kekinian dalam segala hal, seperti kompetensi, wawasan, pandangan hidup, dan sikap-sikap politik yang moderat. Semua itu akan menjadi unsur-unsur “nilai tambah” dari politik anak muda di hadapan generasi pendahulu.
Dan biarkan itu semua hadir sebagai landasan kepercayaan generasi terdahulu kepada anak muda. Artinya, anak muda harus membangun basis kelercayaan dengan mekanisme “marit system”, bukan berdasarkan maknisme askriptif-primordial, bukan karena anak siapa atau dari trah politik mana.
Dengan begitu, menjadi anak muda dan pemuda adalah menjadi generasi yang berisi, generasi yang dibahu dan pundaknya layak disandarkan berbagai cita-cita negara bangsa ini. Sehingga pada ujungnya, lahirlah rasa saling percaya antar generasi.
Harapannya, generasi terdahulu bisa dengan tenang dan sportif meninggalkan gelanggang. Dan anak muda masuk ke lapangan yang ditinggalkan dengan rasa terhormat, tidak melulu konfliktual dan baku hantam layaknya hukum rimba.
Jika tidak demikian, relasi antar generasi akan menjadi ahiatoris dan hambar. Pergantian kekuasaan dari yang tua kepada yang muda akan selalu dibinali oleh konflik-konflik yang lemah landasan pengelolaannya. Perseteruan-perseteruan akan selalu hadir dalam rupa yang tak mengenakan.
Hasilnya, gelanggang politik menjadi semacam tontonan saja di mata generasi-generasi muda belia karena bosan dengan intrik-intrik yang tak mendidik. Mereka pelan-pelan alergi dengan panggung politik dan skeptis dengan segala rupa kepemimpinan.
Mengapa? Karena waktu terus berjalan. Negara kita sedang berpacu dengan waktu dan berlomba dengan negara-negara lain yang larinya semakin kencang. Sementara di sisi, sekalipun rezim silih berganti.
Tapi inovasi politik semakin menipis. Konflik-konflik kepentingan muncul dengan cara-cara yang sama. Indonesia seakan tak pernah selesai dengan permainan-permainan elit. Sementara itu, tak terasa, revolusi industri ke empat (4.0) telah di depan mata. Indonesia terlihat gelagapan. Elit-elit tak jua kunjung bersiap diri. Jika tak segera berubah, maka ketertinggalan akan terus menerpa negara bangsa ini.
Oleh karena itu, pemuda harus mulai berubah. Pemuda harus melihat sisi positif dari dunia politik dan memanfaatkannya untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Pemerintah, Partai, DPR, aktor-aktor politik, pun juga harus berubah.
Pemuda harus ikut mendorong mereka semua untuk terus berdadaptasi dan mendobrak aktor-aktor yang prostatus quo. Pemuda harus belajar berkolaborasi dengan aktor-aktor lainya untuk ambil bagian secara aktif di dalam gerak disruptif zaman, lalu memainkan peranan penting di dalamnya.
Strategi dan taktik pemuda harus ditinjau ulang, di-design agar sesuai dengan kebutuhan zaman dan preferensi lintas generasi. Memang sangat tidak mudah. Tapi jika pemuda tak segera bersikap dan mengambil posisi yang sesuai, maka estafet kepemimpinan di semua lini di negeri ini akan bergerak bak bola liar.