Tiga pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden telah resmi mendaftar ke KPU RI untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres) tahun 2024. Ketiga paslon tersebut yaitu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang mendaftar pada Kamis, (19/10/2023), diusung oleh Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang terdiri dari Partai Nasdem, PKB dan PKS.
Pada hari yang sama KPU juga menerima pendaftaran pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung oleh PDI Perjuangan, PPP, Hanura dan Perindo. Berikutnya pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, PSI, Gelora, Garuda dan Partai Prima yang mendaftar pada hari Rabu (25/10/2023).
Tak bisa dipungkiri isu pencapresan paling menyedot perhatian publik menjelang Pemilu Serentak 2024. Setiap hari kita disuguhi berita yang menyajikan aktifitas bakal calon Presiden dan bakal calon wakil Presiden. Bahkan, wacana tentang koalisi partai politik dan kandidasi calon presiden dan wakil presiden sudah marak menjadi perbincangan sejak awal tahun 2022.
Seperti pada Pemilu tahun 2019, munculnya kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden dibarengi dengan menjamurnya relawan pendukung masing-masing paslon. Hal ini terlihat dari maraknya spanduk dan baliho di ruang publik serta riuhnya konten di media sosial. Keberadaan relawan memang memberikan nilai positif bagi sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih ditengah masyarakat.
Namun, yang perlu diantisipasi adalah dampak segregasi atau keterbelahan masyarakat karena puja puji terhadap paslon yang didukung sering dibarengi dengan mendiskreditkan kandidat lainnya. Terlepas dari semua itu, fenomena kemunculan relawan pendukung capres bisa dimaknai sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam demokrasi elektoral.
Sejumlah pihak menyebut Pemilu 2019 menyisakan residu polarisasi dan keterbelahan masyarakat yang berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Maka sungguh tepat bila KPU mengusung slogan “Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa”. Pesan ini menjadi motivasi dan peringatan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan memilih anggota parlemen merupakan arena kompetisi yang berpotensi memicu konflik ditengah masyarakat. Untuk mencegahnya harus dibarengi dengan komitmen kebangsaan yang kuat agar tidak menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa.
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa Pemilu maupun Pilkada adalah arena konflik yang sah dan legal untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Maka, penyelenggara Pemilu adalah manajer konflik yang harus menghindarkan diri untuk jadi bagian dari konflik. Kemampuan mengelola konflik yang muncul dalam pemilu menjadi syarat mutlak bagi penyelenggara pemilu di semua tingkatan.
Penyelenggara Pemilu merupakan profesi yang sangat mulia dengan tugas dan wewenang yang sangat luas serta berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, integritas dan kredibilitas penyelenggara Pemilu perlu dijaga oleh rambu berupa kode etik. Komitmen untuk menjaga integrasi bangsa harus dibuktikan dengan profesionalitas, kejujuran dan imparsialitas dalam menjalankan tugas.
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah peran peserta pemilu, baik paslon capres dan cawapres, partai politik serta relawan pendukung dalam menciptakan pemilu yang aman dan damai. Perbedaan pilihan dan orientasi politik akan lebih baik dilakukan dengan menyebarluaskan gagasan dan program dari kandidat yang didukung, bukan malah menghujat dan mencerca lawan politik di media sosial.
Gelaran pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali hendaknya menjadi ajang kontestasi yang sehat dan elegan. Elit politik harus mampu menjadi teladan dan mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang benar. Masyarakat diberikan informasi dan pendidikan politik yang memadai sehingga dapat menjadi pemilih yang cerdas dan rasional.
Sejarah mencatat bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah disematkan oleh para pendiri bangsa sebagai bukti keberagaman Indonesia sejak merdeka. Dalam keberagaman tersimpan kerentanan dan kerawanan sosial yang perlu dipagari dengan semangat toleransi antar anak bangsa. Perbedaan aspirasi warga negara disalurkan melalui pemilu yang demokratis dan beradab.
Pilihan sistem demokrasi dalam pengelolan negara ini dimanifestasikan melalui pemilu untuk memilih wakil rakyat dan melakukan suksesi kepemimpinan nasional. Karenanya, kesediaan untuk menerima kekalahan dalam kontestasi merupakan cermin nasionalisme sejati dibanding kengototan meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara yang mempertaruhkan kesatuan bangsa.
Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa menegaskan bahwa kewajiban dan tanggungjawab setiap warga negara adalah menjaga keutuhan bangsa. Sedangkan pemilu untuk menyalurkan aspirasi politik secara periodik –lima tahun sekali — tentu tidak boleh mengorbankan pilar utama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bangsa Indonesia telah menorehkan prestasi kematangan demokrasi dalam pemilu seretak 2019, meskipun diwarnai polarisasi masyarakat dalam dua kutub dukungan capres dan cawapres. Memasuki kontestasi pemilu 2024 seyogyanya kita dapat mengambil hikmah dari pemilu sebelumnya agar kita tidak terjebak dalam fanatisme dukungan yang membabi buta.
Dalam demokrasi, berbeda pilihan itu wajar dan lumrah. Terlebih kita sudah diajarkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sejak dibangku sekolah. Tekad memperjuangkan paslon yang didukung meraih kemenangan tidak lantas mengorbankan persaudaraan dan persatuan antar warga. Harapan kita pemilu melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang menjadi perekat, bukan penyekat antar masyarakat. Pemilu sebagai sarana, menjaga integrasi bangsa lebih utama dari segalanya.