Dalam hitungan beberapa hari lagi kita akan melaksanakan pesta Demokrasi yaitu pemilu serentak. Dalam hal ini, kita telah banyak dipertontonkan sejumlah ketegangan yang tentu menguras energi pikir orang banyak, membentuk fanatisme kelompok dan dukungan. Tentu ini merupakan imbas dari polarisasi politik dalam persaingan dua kandidat terutama pemilihan presiden.
Namun, dari sekian masalah yang muncul, yang paling menakutkan adalah hadirnya potensi delegitimasi institusi pemilu. Dengan membangun opini bertensi tuduhan pemilu curang.
Secara etik prasangka tersebut sangat tidak baik, apabila dilempar ke muka umum, karena hampir bisa dipastikan akan membuat kecemasan publik. Maka secara akal, asumsi yang mereka bangun tak lain ialah pemilihan umum Indonesia yang terselenggara akan penuh dengan praktik kecurangan.
Selain akan membangun persepsi publik yang penuh curiga, tentu juga bermaksud membentuk gerakan massa yang dapat dimanfaatkan untuk menggugat hasil pemilu nantinya.
Maksud serta tujuan dari langkah gerakan itu, pasti untuk mempreteli institusi pemilu yaitu KPU maupun Bawaslu. Perkiraan tersebut bukan tanpa analisa logis. Karena jauh sebelum tuduhan itu muncul dan ramai diperbincangkan dijagat media dan lini masa, upaya delegitimasi tersebut sudah bisa dirasakan sebelumnya melalui serangkaian hoaks dan pernyataan provokatif yang dilontarkan oleh sejumlah elite.
Hoaks adanya isu ribuan DPT ganda, lalu tuduhan adanya mobilisasi warga asing untuk ikut memilih, kemudian hoaks tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos, dan terakhir tuduhan menyakitkan bahwa KPU tidak netral. Ini merupakan gejala tak sehat bila serangan nyinyir itu diarahkan pada institusi penyelenggara.
Dampak yang diharapkan muncul dari serentetan tuduhan itu adalah terbentuknya persepsi publik bahwa institusi pemilu yang ada sudah tidak menjalankan tugasnya secara profesional, dan independen.
Anggapan yang dikembangkan bahwa pemerintah, yang dalam hal ini rezim petahana, telah ikut mencampuri penyelenggara pemilu sehingga posisinya tidak netral lagi. Ini tentu menjadi kondisi yang menakutkan. Selain mengancam sistem tata kelola pemilu yang sudah mapan dan terorganisasi melalui hadirnya institusi-institusi resmi, kondisi ini juga dapat memicu kegaduhan politik yang dapat meluas pada konflik sosial nantinya.
Keinginan yang dipaksakan
Sulit untuk bisa mengatakan bahwa gerakan pengawasan yang viral melalui kalimat tuduhan itu memiliki motif yang semata untuk pengawasan pemilu. Dalam kondisi politik yang berkembang hari ini, dengan munculanya gerakan itu jauh lebih bisa dirasakan sebagai suatu gerakan yang bertendensi politis. Persoalannya, narasi yang dibangun menyinggung terkait kredibilitas kinerja institusi pemilu tidaklah berangkat dari common sense yang ada pada masyarakat.
Melihat kondisi demikian, bangunan narasi kecurangan sekaligus kondisi genting dalam pemilu Indonesia seolah-olah membutuhkan campur tangan dan pertolongan dari kekuatan masyarakat ( people power ), sebenarnya tak lebih dari sekedar keinginan yang dipaksakan kepada publik.
Harusnya seorang kandidat dalam kapasitas calon presiden lebih menunjukkan kualitas kecerdasan dalam bentuk konsep rancangan sebuah proposal kebijakan. Sehingga tawaran itu menjadi sebuah pendidikan politik yang mencerdaskan bagi masyarakat, sekaligus menjadi gambaran dalam rangka menyongsong perbaikan negara lima tahun kedepan.
Dalam kondisi tersebut, wacana itu menunjukkan bahwa isu yang berusaha merendahkan kredibilitas institusi pemilu dan hasil pemilu nanti, padahal itu tak lebih dari wacana sumbang yang diluncurkan dari satu pihak. Meskipun sebenarnya, ia tak mewakili akal sehat dan nalar logis dalam menilai kemurnian penyelenggaraan pemilu. Disatu sisi menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan demokrasi, meskipun tak begitu memiliki efek yang besar karena penggunaannya tak relevan lagi untuk mempengaruhi masyarakat.
Independensi Penyelenggara
Dengan berkembangnya isu yang berupaya mendelegitimasi institusi pemilu maupun hasil yang akan diperoleh nantinya memang harus diantisipasi dan dihancurkan. Namun, berbarengan dengan itu usaha memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu juga mesti diperkuat.
Kenyataan bahwa penyelenggaraan pemilu masih jauh dari kata sempurna menjadi alasan upaya-upaya pengawasan penyelenggaraan harus tetap dilakukan. Sebagai instrumen resmi negara dalam penyelenggaraan pemilu, KPU beserta Bawaslu dituntut keindependenannya. Sebab itu adalah salah satu ukuran kualitas penyelenggaraan pemilu.
Dengan demikian, pemilu yang lepas dari intervensi salah satunya dapat berfungsi meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sekaligus bisa membendung aktivitas protes massa.
Dan apabila independensi penyelenggara pemilu sudah terjaga dari campur tangan kepentingan lain, maka bangunan kepercayaan masyarakat yang sudah kuat terhadap lembaga politik otomatis akan bertambah. Karena bangunan kepercayaan masyarakat yang kuat, maka sistem demokrasi yang dijalankan secara bertahap akan menguat pula.
Menjaga independensi pemilu itu bisa dilakukan dengan cara meminimalisir bentuk pelanggaran dalam pemilu. Contoh tindakan yang lumrah, memastikan tidak adanya politik uang dalam praktek politik praktis, dan juga mengawasi tindakan arogansi politik.
Dan tak kalah penting dalam setiap arena pertarungan politik adalah, bentuk partisipasi masyarakat untuk saling menjaga ketertiban dan kepercayaan satu dengan yang lainnya. Sebab upaya mendelegitimasi menyelenggaraan pemilu dengan tuduhan akan adanya kecurangan merupakan pertunjukan miskinnya inisiatif untuk memenangkan jagoannya. Itu adalah kecurangan akal sehat.