Jumat, Maret 29, 2024

Pemilu 2024: Memenangkan Politik Harapan

Toba Sastrawan Manik
Toba Sastrawan Manik
Pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Peminat Pancasila, Politik dan Kewarganegaraan

Saya sepakat dengan tulisan Yudi Latif dalam salah satu bukunya Negara Paripurna bahwa warisan terbaik para pendiri bangsa ini ialah politik harapan (politic of hope) bukan politik ketakutan (politic of fear).

Senada dengan hal tersebut, tulisan ini disengaja untuk mengupas sedikit tentang makna harapan khususnya untuk kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang nampaknya terlalu cepat disambut oleh para politisi. Ironisnya, sambutan tersebut hadir tanpa (baca; belum ada) tawaran dan pertunjukan akan harapan dalam arti gagasan, ide, dan cita-cita kepada publik.

Hampir beberapa kandidat yang digadang-gadang maju Pilpres 2024 nanti dan disokong oleh hasil Lembaga survei, sama sekali belum diketahui apa dan bagaimana ide, gagasan, dan cita-cita yang ditawarkan kepada masyarakat.

Sejauh ini masyarakat hanya dihadapkan pada sebatas upaya promosi atau branding yang masif di dunia digital. Soal rekam jejak dan prestasi, masih debateable dan tidak ada yang menonjol atau signifikan.

Di sisi lain, Publik justru dihadapkan pada kualifikasi-kualifikasi personal ditambah dengan kewenangan dan otoritas partai politik yang pakem dan kuat. Afirmasinya, Kandidat pilpres 2024 bukan (baca: belum) dilahirkan dan dibangun oleh kualitas gagasan, ide, cita-cita atau harapan yang ditawarkan melainkan ditentukan oleh kualitas personal yang dikemas dan kekuatan partai politik yang sangat dominan. Muncul sebuah pertanyaan, Dimana politik harapan akan bersemai? Apa yang sedang diperebutkan dan pertaruhkan di 2024? Gagasan, harapan perubahan atau sekadar pertarungan kekuasaan?.

Absensi atau terlambatnya politik gagasan atau politik harapan yang muncul di ruang publik saat ini, Penulis secara sederhana ini mengetengahkan gagasan tentang harapan. Harapan dalam konteks ini dimaksud dan ditujukan kepada publik atau rakyat sebagai pemilik kedaulatan rakyat atau sebagai subjek pilpres 2024. Sebab, rakyat yang rindu dan penuh harap akan perubahan belum bisa menemukan pertarungan gagasan yang ideal dan pantas di ruang publik. Lantas, bagaimana rakyat harus berharap?

Apa itu harapan? Penulis mencoba mengacu pada definisi harapan yang ditulis oleh Erich Fromm The Revolution of Hope: Humanized Technology (1968) yang diterjemahkan oleh Penerbit IRCiSoD menjadi judul Revolusi Harapan (2019).

Fromm dalam buku tersebut menegaskan bahwa harapan itu ialah unsur penentu dalam semua upaya pembawa perubahan sosial kearah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang lebih besar. Lalu bagaimanakah berharap itu? Fromm menegaskan bahwa jika kita hanya sebatas ingin atau berhasrat maka sebenarnya kita tidak berharap namun kita hanya sebatas bernafsu terhadap sesuatu.

Fromm menambahkan bahwa tindakan masuk dalam kategori tindakan berharap ketika tujuan atau goals yang diiinginkan bukan sesuatu apa pun melainkan kehidupan yang lebih baik, Oleh karena itu, lanjut Fromm, orang yang berharap harus bersifat aktif untuk mewujudkan harapan tersebut, tidak bisa menunggu begitu saja, berharap sang penyelamat akan membawa perubahan dengan sendirinya dan pada waktunya. “Menunggu secara pasif merupakan bentuk ketiadaan harapan yang disamarkan dan impotensi,”(Fromm, 2019: 24).

Pesan penting dari Fromm tentang harapan ialah bahwa manusia harus aktif sekaligus subjek atas harapan. Dalam bahasa sederhana, harapan tersebut harus dijemput dan diwujudkan oleh pemilik harapan. Oleh karena itu, pemilik harapan harus memiliki keinginan, dedikasi, dan keteguhan hati yang kuat untuk mengalkulasi segala kemungkinan, peluang, dan momentum dalam mewujudkan harapan tersebut.

“Berharap berarti siap setiap saat akan apa yang belum lahir dan tidak menjadi putus as ajika itu belum terjadi seumur hidup”(Fromm, 2019: 27). Oleh karena itu, tindakan berharap harus juga ditambah dengan kualitas keimanan dan ketabahan, tegas Fromm.

Kembali ke Pilpres 2024. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh publik? Dimana posisi rakyat saat ini apakah hanya sebatas berhasrat,berkeinginan, bernafsu atau berharap dalam arti holistik? Atau jangan-jangan sebenarnya sudah kehilangan harapan untuk berharap? Sudah takut untuk berharap?

Apakah sekadar berharap atau berhasrat ditentukan oleh kualitas tindakan rakyat. Namun hampir dipastikan bahwa demokrasi memberi ruang dan kesempatan dalam arti kekuasaan sebagai pemegang kedaulatan rakyat, semata mengafirmasikan bahwa rakyat tidak boleh sebatas berhasrat.

Berbeda dengan sistem lain, rakyat hanya diberikan kebebasan untuk berkeinginan atau berhasrat. Hasrat itu kemudian diserahkan dan dititipkan kepada perwakilan. Lebih dari itu, rakyat harus berharap secara totalitas dalam arti rakyat memiliki kualitas-kualitas ide,gagasan, cita-cita sekaligus memiliki kualitas dan intensitas dedikasi,strategi dan cara untuk mewujudkan harapan tersebut.

Pesan pentingnya adalah ditengah para politisi yang ramai dan massif menunjukkan hasrat dan keinginan di tahun 2024, rakyat harus selangkah lebih maju di depan. Rakyat idealnya berani berharap dalam arti sesungguhnya. Rakyat tahu apa yang diinginkan dan tahu harus bagaimana serta memilih gagasan apa yang ditawarkan.

Besar harapan bahwa Pilpres 2024 nanti bernuansa perang harapan dan perang gagasan. Sudah terlalu jauh dan usang jika Pilpres masih sekadar mendebatkan etnisitas, kelompok, SARA tanpa gagasan dan harapan yang bisa dinikmati. Tentu kita tidak berharap juga bahwa yang terjadi hanya obral janji kampanye dan mimpi yang tidak terealisasi.

Lebih menarik dan menantang jika Pilpres 2024 nanti terjadi kontestasi ide, gagasan yang brilian dan cerdas. Tampilan diskusi-diskusi ruang publik yang hangat dan dinamis bukan karena isu SARA melainkan diskusi tentang harapan (politic of hope) bukan politik ketakutan (politic of fear). Hal ini mensyaratkan kecerdasan, netralitas, dan kedewasaan rakyat.

Logika bahwa syarat sebagai peserta pemilu adalah orang dewasa mengandaikan bahwa rakyat tahu dan paham apa yang diinginkan dan harus bagaimana untuk mewujudkannya. Cukuplah debat-debat primordial yang tidak ada faedahnya untuk bangsa ke depan. Rakyat harus moving forward untuk menjemput harapan-harapan kebangsaan. “Hanya ada satu yang pantas menjadi tanah airku yaitu Indonesia. Ia bangkit dan maju karena usaha. Usaha itu adalah aku,”(Moh. Hatta).

Toba Sastrawan Manik
Toba Sastrawan Manik
Pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Peminat Pancasila, Politik dan Kewarganegaraan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.