Jumat, April 26, 2024

Pemilu 2024 dan Konsolidasi Masyarakat Sipil (Bagian 1)

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Di berbagai negara yang menganut sistem demokrasi, posisi masyarakat sipil tumbuh didalam berbagai konflik kepentingan dari berbagai aktor-aktor yang bersaing. Kita mengetahuinya karena sejarah masyarakat sipil di Indonesia mengalami berbagai pergolakan, baik internal maupun eksternal.

Untuk konteks Indonesia, masyarakat sipil banyak mengambil peran dalam bentuk partisipasi agenda pembangunan. Namun, dalam prosesnya kerap mengalami marjinalisasi dan dieksploitasi dari arena pembangunan. Ini terlihat dari pola kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter dan despotik dalam menghadapi, mengatur, mengendalikan dan menundukan keberadaan masyarakat sipil.

Dalam stuktur politik Orde Baru Soeharto, penundukan dan peminggiran masyarakat sipil dilakukan sebagai sebuah upaya melemahkan dan pada tingkat tertentu menghentikan “gairah politik” dari masyarakat sipil. Kita mengenal dengan istilah “massa mengambang” (floating mass); sebagian besar warga negara sebagai subjek “terdampak kebijakan” sengaja diekslusi oleh elit dalam proses penyusunan dan pembuatan kebijakan (Haryanto, Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017).

Terutama soal-soal yang menyangkut tuntutan kesejahteraan, partisipasi dalam arena politik serta akses mereka memperoleh jaminan sosial dasar dari negara. Karena itu, dibawah rengkuhan Soeharto, masyarakat sipil mengalami banyak sekali upaya pelemahan.

Upaya pasifikasi terhadap masyarakat sipil ini jelas memiliki motif politik, yakni agar kepentingan rezim Soeharto dan kroni-kroninya berjalan mulus, alih-alih tanpa ada penolakan. Karena itu, upaya yang dilakukan ialah mengendalikan kekuatan masyarakat sipil dan melemahkan kekuatan mereka.

Namun, krisis moneter tahun 1997 dan berbagai persoalan lain dalam negeri seperti menguatnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme mendesak kekuatan masyarakat sipil untuk tampil menggeser dan melengserkan Soeharto dari kekuasaan. Indonesia memasuki gelombang demokratisasi melalui perlawanan yang solid dari kekuatan masyarakat sipil.

Akan tetapi sebagaimana diperlihatkan pasca reformasi, kekuatan masyarakat sipil mulai terbelah dan terpecah-pecah kedalam berbagai kepentingan (Hadiz, 2005). Arena masyarakat sipil sebagai sebuah entitas yang mandiri belum berhasil membangun kekuatan dalam menghadapi berbagai corak politik yang terjadi, baik dalam arena masyarakat sipil sendiri maupun diluar dari arena mereka.

Kondisi yang tidak stabil namun dipenuhi pertarungan ini jelas dimanfaatkan oleh aktor-aktor dominan untuk mengekor dan mencari keuntungan dari pecahnya masyarakat sipil. Akibat selanjutnya ialah tidak ada agenda perlawanan dari aktor civil society yang betul-betul serius membongkar logika dibalik berbagai persoalan kemiskinan, kerusakan lingkungan, korupsi, ketimpangan ekonomi, membengkaknya utang luar negeri, penyerobotan hutan tanpa izin, perampasan tanah masyarakat adat, politik uang dan berbagai persoalan lain.

Karena itu ditengah kemunduran masyarakat sipil ini, minimal harus punya gerakkan alternatif membangun gerakkan yang terorganisir menandingi kekuatan aktor dominan. Momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 adalah tepat bagi keberlangsungan konsolidasi masyarakat sipil.

Mungkinkah? 

Pemilu 2024 sudah sangat dekat. Berbagai manuver politik dan pengenalan figur sudah mulai ramai di media sosial, disetiap bahu jalan dan ruang-ruang publij. Ini mengingatkan bahwa Pemilu 2024 akan menghadirkan berbagai corak politik yang beragam dan penuh dengan segala macam taktik. Taktik yang paling laku ialah politik identitas.

Disinilah masyarakat sipil harus mampu mengambil sikap menolak segala bentuk politik identitas itu. Sebab, politik jenis ini mengakibatkan kita mudah terpecah dan saling memusuhi. Masyarakat sipil sebagai sebuah entitas yang mandiri, otonom dan memiliki karakter keswasembadaan harus bisa menunjukan sikap menentang politik identitas.

Hal ini tidaklah mudah, sebab seperti saya katakan tadi, corak kepentingan yang beragam dalam masyarakat sipil membuatnya sulit untuk melakukan konsolidasi secara utuh, murni dan permanen. Sebab, didalam masyarakat sipil yang beragam itu terdapat berbagai macam aktor yang punya kepentingan yang dibawa dan dibelanya. Kepentingan itu sulit disatukan. Namun, bukan berarti keberlangsungan konsolidasi masyarakat sipil telah tertutup dan tidak punya harapan.

Bagi saya, upaya membangun konsolidasi harus tetap diupayakan melalui kanal-kanal lain, seperti organisasi kepemudaan ditingkat RT/RW dan Desa. Namun, apakah ini bisa dilakukan? Menurut saya, ini mungkin apabila kita memiliki satu agenda bersama memajukan agenda demokratisasi. Pesimisme justru membuat kita mudah dipecah oleh aktor-aktor yang punya kepentingan.

Pada akhirnya, masyarakat sipil merupakan aktor utama dalam menentukan keberlangsungan Pemilu 2024. Bukan berarti ini menegasikan peran aktor-aktor lain, tetapi posisi masyarakat sipil menurut saya patut disorot. Saya tetap menaruh harapan besar pada proses konsolidasi masyarakat sipil.

Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah? Atau jangan-jangan posisi masyarakat sipil mudah terserap kedalam kepentingan oligarki? Apa jalan keluar dan tawaran gerakkan sekaligus konsep agar proses konsolidasi itu berjalan utuh, tanpa didikte oleh kepentingan aktor lain diluar dari masyarakat sipil? Saya kira, ini akan menjadi tantangan masyarakat sipil.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.